Konon Kata Purbalingga dari Nama Adipati Purbadana dan istrinya Nyai Linggasari

Cerita hal kata Purbalingga, yang konon dari nama Adipati Purbadana dan nama istrinya Nyai Linggasari. Cerita ini adalah sambungan dari kisah tentang Tragedi Berakhirnya Tiga Kadipaten: Cipaku, Penisihan dan Purbadana.

Tergulung Banjir

Adapun ceritanya, konon demikian:

Setelah Adipati Penisihan, Nyai Lumbansari, Adipati Purbadana, Nyai Linggasari, bersama para pendampingnya, tewas. Hilang tergulung derasnya air terjun Penisihan, maka berakhirlah kejayaan kedua kadipaten tersebut.

Jenazah Adipati Penisihan dan istrinya, pada akhirnya tidak diketahui entah dimana. Namun masyarakat setempat meyakini bahwa mereka, sampai kini, tetap menjadi penghuni Curug Penisihan, hanya saja di alam yang berbeda.

Sedangkan jenazah Adipati Purbadana dengan istrinya yang bernama Linggasari, terbuncang mengikuti derasnya aliran sungai Klawing.

Namun konon kedua jenazah tersebut tidak terpisahkan, selalu berdekatan sepanjang perjalanan berkilo-kilo meter.

Banjir Klawing

Luapan air sungai Klawing semakin menjadi-jadi saat diketahui, secara bersamaan hujan deras turun di wilayah utara, di pegunungan Kendheng, padahal semua sungai mayoritas bermuara ke Sungai Klawing.

Sungai Tuntunggunung, Laban, langsung ke Sungai Klawing. Lebih dahsyat lagi saat air dari Sungai Gintung bertemu air Sungai Klawing, di wilayah Sindang, sehingga air benar-benar menjadi melimpah, dan badan sungai tak mampu lagi untuk menampungnya.

Sungai Gintung adalah muara bagi puluhan sungai seperti Sungai Tambra, Kuning, Wotan, Kuripan, Muli, Ideng, Arus, Karang, dan juga Sungai Bodas. Sungai-sungai dari wilayah Kecamatan Karangmoncol, Karanganyar, Kertanegara dan Rembang.

Pritganthil

Dikisahkan pada saat itu sekitar tahun 1650, yang menjadi Demang di Timbang, adalah Ki Narasoma. Karena kesalahpahaman dengan Adipati Onje maka Ki Narasoma kini memilih bermukim di wilayah Pritganthil, dekat Sungai Klawing, daripada bertempat tinggal di Timbang.

Ki Narasoma adalah seorang yang “waskita ing panggraita“, artinya seakan-akan selalu tahu apa yang sedang dan akan terjadi, terutama di wilayahnya. Seperti sore hari itu, beliau tahu bahwa banjirnya Sungai Klawing kali ini menjadikan peristiwa memilukan di Curug Penisihan.

Ki Narasoma berdiri, bersedekap di pinggir sungai Klawing, memandang aliran air sungai yang dari utara ke selatan, menerjang lahan di kiri kanan sungai, lalu di wilayah kekuasaannya itu, aliran air membelok ke timur. Saat bersedekap itu sesungguhnya ada yang sedang dilakukan lewat diamnya Ki Narasoma.

Surawana

Pada tahun-tahun itu, atau seabad sebelum berdirinya Kabupaten Purbalingga, wilayah sekitar Pritganthil, mayoritas masih berupa hutan.

Pohon tumbuh subur karena diapit oleh dua sungai (Sungai Gemuruh dan Sungai Gringsing). Dan satu mata air yang gemrojog,  dengan debit air yang cukup besar.

Salah satu orang berpengaruh dan dianggap yang paling berani berada di sekitar hutan dekat mata air itu, dikenal dengan nama Ki Surawana, nama ini mengandung arti “orang yang berani di hutan” (sura = berani; wana = hutan).

Sehingga mata air yang cukup besar itu disebut sebagai Grojogan Surawana. Wilayah hutan yang paling lebat adalah di sekitar grojogan itu, pohon-pohon tumbuh lebat dan besar-besar.

Grojogan ini, dikenal sebagai tempat yang wingit. Tempat untuk mandi kembang dan semedi. Kata orang, adalah tempat yang ditunggui oleh sesosok manusia, yang berpostur tinggi besar, tingginya sama dengan tinggi pepohonan sekitar.

Pada malam tertentu sering muncul sosok pocong, kuntilanak merah, kemangmang, babi ngepet dll. Terdengar suara-suara aneh dan ganjil seperti; perempuan menangis, tertawa, dan kadang terdengar juga suara orang minta tolong.

Sampai tahun 1980 an, masih ada rumpun bambu, Pohon Benda, Pohon Amplas yang cukup besar dan tinggi, masih dihuni beberapa hewan liar, seperti ular, lingsang dan nggarangan. Namun kini sudah dibangun bak penampungan air, sehingga kesan wingit dan alami sepertinya telah punah.

Air Grojogan Surawana mengalir ke sungai di sebelahnya, Kali Surawana, namun sungai ini, kini lebih dikenal sebagai Sungai Gemuruh. Muara air Sungai Gemuruh mengalir ke Sungai Klawing.

Namun setiap Sungai Klawing banjir, air membesar dan meninggi, maka ada bagian air Sungai Klawing yang seperti meluncur, ke barat, menelan masuk, dan seperti melawan arah aliran air Sungai Gemuruh.

Terdampar

Dikisahkan bahwa jenazah Adipati Purbadana dan istrinya, Linggasari, yang terbawa arus banjir Sungai Klawing, hanyut berpuluh kilometer, akhirnya sampai ke Pritganthil, wilayahnya Ki Demang Narasoma bermukim.

Istimewanya, kedua jenazah itu, seperti tidak terpisahkan, dan jasadnya kemudian, seperti sengaja di alirkan ke muara Sungai Gemuruh, meluncur masuk, jauh ke dalam wilayah hutan Surawana, terdampar di sana.

Setelah air surut ternyata dua jenazah itu ditemukan oleh Ki Surawana, diangkat dan disemayamkan di pinggir sungai. Lalu Ki Surawana memberi tahu Ki Narasoma hal penemuan tersebut.

Atas kewaskitaan Ki Narasoma, akhirnya beliau tahu bahwa kedua jenazah tersebut adalah jenazah Adipati Purbadana dan istrinya Nyai Linggasari. Lalu memerintahkan kepada sekelompok orang untuk mengantarkan kedua jenazah itu ke Kadipaten Purbadana.

Nama Tempat

Daratan tempat kedua jenazah itu disemayamkan, kini menjadi Makam Arsantaka. Dan atas perkenan Ki Narasoma, tempat ditemukannya jasad Ki Purbadana dan Nyi Linggasari, dinamakan gerumbul Purbalingga.

Sedangkan nama Purbadana dan nama Linggasari, kini menjadi nama dua desa yang bersebelahan. Desa Purbadana dan Desa Linggasari , adalah bagian dari Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas.

Gerumbul Purbalingga, kini dikenal dengan nama Pungkuran dan sekitarnya yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Purbalingga, bersama Makam Arsantaka, kini menjadi wilayah Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga.

Pritganthil sekarang adalah bagian utara dari wilayah Kelurahan Purbalingga Wetan, terdapat sebuah makam yang namanya Makam Narasoma. Dahulu ada nama; Jalan Narasoma, kini diganti menjadi Jalan DI Panjaitan.
===

Demikianlah sekedar cerita tutur cinatur tentang nama Purbalingga, yang konon gabungan dari kata PURBA – dana dan LINGGA – sari. Nama seorang adipati dan istrinya.

Untuk menjadi catatan, bahwa cerita ini sekedar dipungut dari cerita masyarakat, diceritakan kembali agar masyarakat yang belum tahu, berkenan untuk menjadi tahu, dengan tanpa harus meyakininya.
.
Semoga bermanfaat
Salam
.
Toto Endargo
.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *