Toto Endargo
Kecombrang.
Nama lain dari kecombrang adalah honje (Sunda), bongot (Bali) kincung (Sumatera Utara) asam celaka (Tanah Karo) patikala (Sulawesi Selatan) ada juga yang menyebutnya sebagai bunga rias dan kumbang sekkala.
Kecombrang bunganya sangat elok, degradasi dari warna merah cerah dan berkombinasi dengan warna putih.
Kecombrang adalah bentuk bunga dari tumbuhan yang bernama burus (etlingera elatior), kecombrang muncul setahun sekali dan akhirnya akan menjadi sebongkah biji-bijian yang berwarna menarik juga.
Kecombrang di Banyumas digunakan sebagai sayuran, selain mengandung air juga terdapat nutrisi berupa: kalium, kalsium, fosfor, magnesium, dan zat besi.
Jadi nama Onje, tepatnya adalah “Honje”, dari Bahasa Sunda, kalau di Jawa namanya kecombrang, nama bunga dari rumpun burus.
Memang budaya Sunda cukup dominan di wilayah Banyumas. Dan ada beberapa nama di wilayah Purbalingga yang menggunakan bahasa Sunda, misal nama Cipaku, Cikarang, Galuh, Bodas Karangjati, hal ini menunjukkan bahwa wilayah Purbalingga dan sekitarnya sejak dahulu sudah terpengaruh budaya Sunda.
Dalam tulisan Babad Jati Tukung ini, ada tiga hal yang dibicarakan.
Pertama bercerita tentang sulitnya mengenal Babad Onje. Sejarah Kadipaten Onje yang berakhir tragis, mengenaskan, sehingga untuk membaca bukunya saja seperti dipersulit, menggunakan banyak syarat, apalagi untuk mementaskannya dalam sebuah pertunjukan, misal kethoprak.
Kedua tentang Jatiragas yang menjadi nama pundhen, kata ragas dalam bahasa Jawa sama dengan murang, gugur daun, atau meranggas. Pohon yang meranggas berarti pohon itu dalam keadaan tidak sehat, berprihatin.
Ketiga tentang Gunung Tukung, kata tukung umumnya untuk unggas, misal ayam. Ayam tukung berarti ayam yang tidak sempurna karena tidak punya ekor bahkan tidak punya brutu. Jadi hemat penulis ketiga hal di atas, kisah, nama pundhen, nama bukit, sama-sama memiliki “roh” keprihatinan yang mendalam, yang diawali dan diakibatkan oleh peristiwa tragis di Kadipaten Onje.
Blater, 17 November 2019
Bersambung ke: Babad Jati Tukung #2