SWASANA SALIN SWARA
Toto Endargo, S.IP
*
“Hemat penulis Swasana Salin Swara ini belum dibahas secara mendalam apalagi diajarkan dalam pengajaran bahasa.
Semoga tulisan ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi praktisi dan penikmat bahasa, khususnya Bahasa Banyumasan”
***
Unik
Bahasa Banyumas itu ternyata unik.
Walau terasa terlalu gegabah mengatakan sebuah kata sebagai kata asli dari Banyumas, tak apalah setidaknya kata-kata yang akan penulis bicarakan telah terpakai sejak lama di wilayah Banyumas.
Dalam Bahasa Inggris ada istilah “irregular verb” yang umumnya dikatakan sebagai kata kerja tak beraturan.
Perubahan kata kerja dalam suatu kalimat tergantung dari tenses (bentuk kalimat berdasarkan waktu yang digunakan).
Waktu akan menentukan apakah yang dipakai adalah kata kerja bentuk pertama atau dasar (base verb), bentuk kedua (past), atau bentuk ketiga (past participle).
Kata kerja bentuk pertama, bentuk kedua, dan bentuk ketiga tidak sama.
Sekedar contoh “take” bentuk keduanya menjadi “took” dan bentuk ketiganya menjadi “taken”.
Ketiganya mempunyai arti yang sama yaitu: mengambil.
Kata arise (infinitife), arose (preterite) dan arisen (past participle), artinya sama yaitu: terbit.
Jika dalam Bahasa Inggris ada irregular verb maka dalam pelajaran Bahasa Jawa kita mengenal:
Dwi Lingga Salin Swara (dua kata yang berganti bunyi),
contohnya: wira-wiri, kocar-kacir, gonjang-ganjing.
Swasana Salin Swara.
Dalam peristiwa bahasa yang hampir sama dengan kedua hal tersebut adalah bahwa:
Di percakapan Bahasa Banyumas ada kata yang akan berganti bunyinya karena ada situasi yang berubah.
Penulis menyebutnya sebagai Swasana Salin Swara.
Jika dalam Bahasa Inggris perubahan bunyi sangat dipengaruhi olah waktu sedangkan dalam Bahasa Banyumas dipengaruhi oleh situasi, swasana.
Dari pengamatan penulis, peristiwa Swasana Salin Swara ini, obyeknya tetap sama, namun kata-katanya menjadi berubah seiring dengan swasana yang berubah.
Istimewanya yang berubah adalah hanya vokalnya. Hanya vokalnya yang berubah
Berikut ini adalah hal yang mempengaruhi perubahan bunyi vokal dan masuk dalam katagori Swasana Salin Swara antar lain:
1. Perubahan ukuran dari kecil menjadi lebih besar.
a. Indhil-indhil – ondhol-ondhol
b. Mlenthing – mlenthung
c. Njendhil – njendhol
d. Menunung – menonong
e. Mrintis – mruntus
f. Krikil – krakal
2. Perubahan jumlah, dari sedikit menjadi lebih banyak.
a. Secimit – secomot
b. Linthing – lunthung
c. Gemridig – gemrudug
d. Ngglindhing – ngglundhung
e. Mrepet – mrapat
3. Perubahan tempat, dari yang rendah meningkat menjadi lebih tinggi.
a. Thongkrong – thingkring – thingkrang – thungkrang
b. Mencolot – menculat – mencelat
c. Njenthir – njenthar
d. Njengit – njengat
4. Perubahan posisi obyek
a. Mringis – mrenges – mrongos (penampakan gigi)
b. Ngeneh – nganah (jarak)
c. Njengking – njengkang (depan- belakang)
d. Njeplik – njeplak (bukaan)
e. Ceker – cakar ( fungsi)
5. Perubahan bunyi obyek karena pengaruh obyek lain
a. Thithik – thuthuk – thothok
b. Kemricik – kemracak
c. Klethik – klethak
d. Teplik – tepluk
6. Karena sebab-akibat
Garang – garing.
“Kuwe suluhe de-garang neng nduwur pawon, toli mengko gelis garing”
7. Kata yang lain:
a. sengir – sengar,
b. angkat – angkut,
c. kripik – krupuk
e. tampah — tampir
f. neng kana — neng kene
Kata-kata di atas jelas ada dan digunakan dalam percakapan sehari-hari di Banyumas.
Namun karena keterbatasan pengetahuan dalam hal kosa kata maka contoh yang dapat penulis sajikan pun masih terbatas.
Harapan penulis adalah dengan pembahasan yang singkat dari Swasana Salin Swara ini semoga dapat dijadikan sebagai pembuka wawasan bahwa masih ada keunikan dalam budaya tutur Banyumasan yang perlu dikaji, dicermati dan dikembangkan
Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat penuturnya.
Bagi masyarakat Banyumas dialek Banyumasan tentu mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi tutur yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya
Dalam berbahasa selalu tersirat realita perilaku sehari-hari para pemakainya.
Dengan mencermati contoh kata-kata dalam Swasana Salin Swara barangkali kita dapat mengira-ira sifat dan perilaku masyarakat Banyumas.
Cara pembentukan kata dalam contoh di atas adalah begitu praktis, sederhana, lucu dan terbuka.
1. Praktis, tidak membuat kata yang benar-benar baru, mungkin karena obyeknya tetap sama.
Indhil-indhil; bulat kecil; menjadi ondhol-ondhol; bulat besar.
2. Sederhana, mayoritas hanya mengubah bunyi vocal, mirip Dwi Lingga Salin Swara.
Njengit; ketika si ujung naik sedikit, dan menjadi njengat; saat si ujung naik lebih tinggi.
Njeplik; ketika terbuka sedikit dan njeplak: saat terbuka lebar
3. Lucu, funny, menggelikan:
njendhil menjadi njendhol,
njenthir menjadi njenthar.
Jika barang kecil yang jatuh dikatakan, “Tiba teplik”; dan ketika benda yang jatuh lebih besar dikatakan, “Tiba, tepluk!”
4. Terbuka, egaliter, artinya setiap orang dapat dengan mudah membentuk kata “baru”, bahkan dapat secara spontan terbentuk karena rumus pembentukannya yang begitu praktis dan sederhana.
Sepengetahuan penulis Swasana Salin Swara ini belum sempat dibahas secara khusus dan apalagi mendalam oleh para praktisi bahasa, baik Bahasa Jawa maupun oleh pemerhati Bahasa Banyumasan.
Belum juga diberitahukan atau diajarkan dalam pengajaran bahasa. Bahkan dalam bahasa Indonesia pun tidak dikenal hal yang semacam irregular verb ini.
Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan di kalangan praktisi dan penikmat bahasa, khususnya Bahasa Banyumasan.
Bagi guru Bahasa Jawa mungkin dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan untuk para siswanya.
Semoga bermanfaat.
Salam!
Purbalingga, 10 Mei 2013
toto endargo