Bahwa Mata Air Surawana yang ada di wilayah Kelurahan Purbalingga Lor, ternyata adalah tempat yang pernah disinggahi oleh Mas Cebolang, seorang tokoh dalam Serat Centhini.
Serat Centhini
Adalah suatu buku berbahasa Jawa. Buku aslinya berhuruf Jawa, terdiri dari 12 jilid, dan terdiri dari 3500 halaman. Ditulis oleh Ki Ngabei Ranggasutrasna, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkurat Ill atau lngkang Sinuhun Pakubuwana V dari Surakarta (Sunan Sugih, 1820 – 1823 M).
Serat Centhini ini dibuat pada hari Sabtu Pahing tanggal 26 Sura, dengan candra sengkala “Paksa Suci Sabda Ji” atau tahun 1742 (tahun Jawa) atau tahun 1814 Masehi. Pada awalnya dinamakan “Suluk Tambang Raras”.
Buku ini lebih dikenal dengan nama Serat Centhini. Centhini adalah nama pengasuh Niken Tambang Raras, istri Seh Amongraga, tokoh-tokoh dalam Serat Centhini. Bagi orang Jawa, Serat Centhini adalah sumber dari berbagai ilmu pengetahuan mengenai kebudayaan Jawa baik lahir maupun batin
Surawana
Diceritakan bahwa Mas Cebolang yang didampingi oleh empat orang santrinya, setelah mengunjungi Ardi Lawet di Penusupan, segera melanjutkan peetualangannya ke wilayah Purbalingga.
Naskah asli dalam bentuk tembang Gambuh adalah sebagai berikut:
Praptèng Nusupan dhusun,
wus pinanggih lan santrinya catur,
tanpa pamit lajêng dènnira lumaris,
saking Purbalingga laju,
tanpa kampir ngidul ngulon
Kèndêl ing lampahipun,
aningali kanang toya mancur,
udakara wêdale saêpring ori,
anjog maring lèpèn agung,
toyanya wêning anyarong,
Kathah dyah ayu-ayu,
samya ngangsu kandhêg andudulu,
marang ingkang rarwan satêpining warih,
wong lima kang siji bagus,
sèlèh klênthing mlongo domblong,
Mas Cêbolang duk dulu,
kathah kênya anom ayu-ayu,
pasang ulat sadaya pinanduk liring,
kang kataman riwe kumyus,
sliranya ge samya (n)dheprok,
Anuding santrinipun,
kinèn tanya arane kang dhusun,
wus umentar kapanggih tatanya aris,
“(m)bakayu apuntênipun
kula kinèn atatakon
Ing riki raning dhusun”
kang tinanya kagyat samya (n)jumbul,
gêragapan sarêng dènnira nauri,
“dhusun manut wastanipun
êtuk toya ingkang katon
Surawana puniku”
wusing tanya ki santri gya wangsul,
Mas Cêbolang linggar anilari liring,
mèsêm-mèsêm nulya laju,
dyah ngangsu nulya wirangrong.
.
Terjemahan bebas dari tembang Gambuh yang menceritakan tentang kehadiran Mas Cebolang di mata air Surawana, Purbalingga Lor.
.
Sesampainya di desa Penusupan, Mas Cebolang bertemu dengan keempat santrinya. Tanpa pamit kepada juru kunci Ardi Lawet, kelimanya segera melanjutkan perjalanan ke Purbalingga, secepatnya, tanpa melakukan persinggahan di manapun.
Sesampainya di wilayah Purbalingga, tiba-tiba perjalanannya berhenti. Melihat ada air deras yang memancar dari sebuah mata air. Air yang memancar besarnya, sebesar Bambu Ori (diameternya sekitar 20 cm). Airnya kemudian mengalir menuju ke sebuah sungai yang besar. Air dari mata air itu sangat cernih berkilauan.
Di tempat mata air itu, banyak wanita cantik yang sedang mengambil air. Para wanita itu segera menghentikan kegiatannya begitu melihat ada yang datang ke tepi perairan.
Yang datang lima orang, yang satu sangat tampan. Para perempuan itu kemudian menaruh klenthing (bejana untuk mengambil air) sambil terheran-heran menatapnya.
Mas Cebolang, melihat banyak wanita muda cantik, segera menebarkan lirikan matanya kepada para gadis itu. Mereka yang terkena lirikan Mas Cebolang, tiba-tiba merasa berkeringat dan jatuh bersimpuh.
Mas Cebolang menunjuk salah satu santrinya, agar bertanya apa nama desa yang ada di situ. Yang mendapat tugas pun segera melaksanakannya. Mendekati salah satu gadis yang cantik dengan sopan. Dia berkata:
“Mbakyu, mohon maaf! Saya diutus untuk bertanya, apa nama dhusun di sini?”
Yang ditanya kaget dan tersentak, segera menjawab sambil gelagapan:
“Nama desa ini seperti juga yang terlihat, seperti nama mata air yang memancar itu, Surawana namanya”
Setelah bertanya dan mendapat jawaban, si santri segera kembali menemui Mas Cebolang. Mas Cebolang pun kembali menebarkan lirikan matanya kepada para wanita cantik itu, sambil tersenyum-senyum.
Kelimanya, kemudian berlalu, dan para wanita itu tertegun, terbengong-bengong mengagumi dan menyesali kepergian Mas Cebolang.
.
Semoga bermanfaat
Salam.
.
Toto Endargo
.
.