Kini bercerita tentang Pangeran Wali Makhdum Cahyana. Konon Pangeran Wali Makhdum Cahyana ini adalah keturunan Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya, Jawa Timur. Sunan Ampel adalah wali yang sangat dihormati oleh para pejabat kerajaan Demak Bintara dan dihormati pula oleh para wali.
Raden Patah, Sultan Kerajaan Demak Bintara, mempunyai istri yang bernama Nyai Ageng Maloka, ia adalah cucu Sunan Ampel. Istri Sunan Kalijaga pun adalah cucu Sunan Ampel. Putri Sunan Ampel yang bernama Siti Murtosiyah diperistri oleh Sunan Giri. Dengan demikian wajar betapa bermartabatnya Sunan Ampel di hadapan para wali dan pejabat kerajaan pada saat itu.
Dikisahkan dua orang cucu dari Sunan Ampel, yang laki-laki, sebut saja Pangeran Nurcahya dan yang perempuan Putri Aini. Keduanya dari Ampeldenta, berniat menunaikan ibadah haji ke Mekkah, Tanah Arab. Dalam perjalanannya, kedua cucu Sunan Ampel ini berniat untuk singgah dahulu di Cirebon. Di samping menambah bekal ilmu keislamannya juga sekalian ingin berpamitan dengan para kerabat Kasultanan Cirebon. Maka ketika kapal yang membawanya sampai di Cirebon, Pangeran Nurcahya dan Putri Aini ini menghadap Sultan Cirebon. Keduanya menetap beberapa hari di Cirebon. Dalam waktu yang singkat itu, ternyata Sultan Cirebon terpesona oleh kecantikan Putri Aini. Kharisma Sunan Ampel juga menjadikan Sultan Cirebon bermaksud memperistri Putri Aini. Dalam waktu dekat, Putri Aini pun menjadi istri Sultan Cirebon. Kini dengan status sang putri sebagai istri sultan menjadi kendala niat niat Pangeran Nurcahya dan Putri Aini untuk naik haji.
Demikianlah barangkali karena perkenalan yang terlalu singkat. Pernikahan Putri Aini dengan Sultan Cirebon tidak berlangsung lama. Kebahagiaan tak didapat, derita batin menjadi siksaan raga. Diceriterakan bahwa pada suatu malam karena kejadian yang tidak menyenangkan, menjadikan Putri Aini keluar dari Kasultanan Cirebon. Malam itu juga Pangeran Nurcahya dan Putri Aini meloloskan diri. Keduanya keluar secara diam-diam menembus malam.
Tanpa bekal yang cukup keduanya masuk keluar hutan. Berjalan ke arah timur dan kemudian mengikuti kata hati meneruskan perjalanan ke arah selatan. Berhari-hari perjalanan menembus hutan. Pangeran Nurcahya berjalan di depan, ia membuka dan membuat jalan. Hutan lebat ditembusnya. Tidak heran jika ia terkena duri di seluruh badannya. Luka terkena duri, menabrak miang, terantuk batu, dan jatuh tersungkur menjadi ujian baginya. Luka diseluruh tubuhnya menjadi koreng, kulit bernanah dan mengelupas di sana-sini.
Takdir membawa Pangeran Nurcahya dan Putri Aini sampai di Tanah Perdikan Cahyana. Saat itu sesepuh Perdikan Cahyana adalah Pangeran Makhdun Wali Prakosa. Dengan rasa prihatin diterimanya Pangeran Nurcahya dan Putri Aini yang saat itu tampak sebagai orang kabur kanginan, orang yang tidak punya identitas jelas.
Kemudian beliau berguru, menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Orang Cahyana melihat badan Pangeran Nurcahya yang penuh luka, penuh dengan koreng, dikatakannnya gudigen. Gudig adalah istilah untuk orang yang kulitnya menderita gatal. Ketika digaruk umumnya menimbulkan luka. Hal seperti itulah yang dimaksud gudigen. Setelah diangkat menjadi santri, Pangeran Nurcahya, mendapat julukan sebagai Santri Gudig. Santri Gudig belajar keislaman di Masjid Pekiringan.
Masjid Pekiringan, kini disebut Masjid Jami’ Wali Perkasa. Masjid ini didirikan oleh Pangeran Makhdun Wali Prakosa, segera setelah pulang dari Demak. Di Demak Pangeran Makhdun Wali Prakosa ikut membangun masjid Agung Demak, bahkan dikisahkan beliaulah yang sebenarnya membuat saka tatal. Dengan demikian Masjid Jami’ Wali Perkasa ini diyakini bahwa usianya hampir sama dengan Masjid Agung Demak yang dibangun sekitar tahun 1420.
Walau sudah sembuh namun Pangeran Nurcahya tetap dikenal dengan panggilan Santri Gudig. Ia menjadi santri yang cakap, sopan dan patuh pada guru. Maklum ia adalah cucu Sunan Ampel, maka dalam olah sastra dan kanuragan menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan santri yang lain. Pangeran Makhdun Wali Prakosa sayang sekali kepadanya. Kain yang dipakai tidur Pangeran Nurcahyo pada suatu malam bercahaya-cahaya seperti ada apinya. Hal tersebut diketahui oleh Pangeran Makhdun Wali Prakosa yang kemudian berkenan untuk menjadikannya sebagai menantunya. Ia dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Pangeran Estri. Santri Gudig pada akhirnya dikenal dengan nama Pangeran Makhdun Wali Cahyana dan diserahi tugas untuk memimpin Tanah Perdikan Cahyana.
Dalam keseharian Pangeran Wali Makhdum Cahyana dikenal sebagai orang yang memiliki keahlian luar biasa saat menangkap ikan. Beliau juga dikenal juga ahli dalam bidang pertanian, sehingga hasil pertaniannya luar biasa baiknya, keahlian ini diajarkannnya kepada masyarakat Cahyana. Beliau membuat lumbung padi untuk mengumpulkan padi zakat untuk dibagikan ke yang ber hak. Keahlian yang secara tidak sengaja disaksikan oleh masyarakat Cahyana adalah belia mempunyai ilmu rahasia untuk menghilang saat ada musuh. Lalu ketika membuat lantai rumah beliau pergi ke sungai dengan membawa sepotong ranting daun waru yang dijadikan cambuk, ia menggiring batu-batu kali yang berjalan bagai hewan ternak, lalu menyusun diri untuk menjadi lantai rumah.
Luar biasa