Ini kisah terusan dari babad Cahyana. Pangeran Wali Prakosa adalah tokoh sejarah karena tertulis dengan jelas di catatan sejarah Kerajaan Demak, bukan sekedar legenda.
Pangeran Wali Prakosa adalah canggah Syeh Jambukarang yang dimakamkan di Ardi Lawet, Gunung Munggul! Buyutnya Syeh Wali Rahmat (Syeh Atas Angin). Beliau adalah cucu Pangeran Makhdun Kusen. Putra Pangeran Makhdun Jamil di Bumi Cahyana, Karangmoncol, Purbalingga. Pangeran Wali Prakosa, lebih kesohor dari pada kakaknya yang bernama Pangeran Makhdum Tores.
Terceriterakan pada suatu hari Pangeran Makhdum Tores minta kepada adiknya agar segera pergi ke Kerajaan Demak, harus melapor karena takut, ada kemungkinan wilayah Cahyana akan diambil alih oleh Kerajaan Sunda. Pangeran Makhdum Prakosa pun segera ke Demak menghadap Sultan Trenggana.
Sesampainya di kasultanan ia diterima oleh seorang penghulu khalipah yang bernama, Kusen. Dalam catatan babad, Pangeran Wali Prakosa saat itu disebut sebagai “kaum pengalasan kilen”, maksudnya santri dari daerah hutan wilayah barat.
Setelah bertemu dengan Sultan ia pun ditanya asal-usulnya, Pangeran Wali Prakosa menjawab bahwa ia berasal dari Jiyana. Sang Sultan tidak mengenal Jiyana tapi kalau yang dimaksud Cahyana, Sultan mengenalnya. Para wali setelah berkunjung ke Cahyana dan Onje menceriterakannya ke Sultan. Pangeran Wali Prakosa membenarkan dia berasal dari Cahyana yang dimaksud dan yang membantu para wali saat mengganti tiang dan memperbaiki Masjid Onje.
Sultan sangat berkenan dengan kemampuan Pangeran Wali Prakosa maka ia diminta untuk ikut membantu pembangunan Masjid Demak, saat itu kebetulan masjid kekurangan satu tiang utama, saka guru. Pangeran Wali Prakosa disarankan untuk menemui Sunan Kalijaga agar dapat melangkapi kekurangan saka guru tersebut.
Alkisah, sesungguhnya saat itu Sunan Kalijaga sedang bersemedi di Giri Malaka. Namun karena kewaskitaannya ia mampu menangkap kehendak Sultan Trenggana dan Pangeran Wali Prakosa yang ingin menemuinya. Sunan Kalijaga segera bangun dan melakukan perjalanan sehari semalam untuk sampai di Demak. Kemudian bertemu disekitar istana dengan Pangeran Wali Prakosa yang saat itu masih dipanggil Pangeran Makhdum.
“Lho, apa yang ditugaskan oleh Kanjeng Sultan?” tanya Sunan Kalijaga.
“Saya diberi tanggung jawab satu tiang utama untuk Masjid Demak, dan menemui Kanjeng Sunan Kalijaga!” jawab Pangeran Wali Prakosa. Keduanya sepakat tidak usah mencari kayu jati ke hutan. Tapi akan membuat tiang dari bahan yang tersisa saja.
“Baiklah, saya yang akan membantu mengatur dan menghaluskan pekerjaan membuat satu tiang tersebut!” kata Sunan Kalijaga.
Maka bekerjalah dua orang tersebut. Mengumpulkan tatal, potongan-potongan kayu jati yang tidak terpakai, lalu disusun menjadi balok panjang, dihaluskan dan jadilah salah satu tiang Masjid Demak yang paling unik, yang disebut saka tatal.
Pada akhirnya Masjid Demak pun dianggap sudah siap diresmikan penggunaannya. Namun di saat fajar, menjelang shalat shubuh, Sunan Bonang terkesiap, ketika memperhatikan bayangan masjid di bawah langit pada pagi buta saat itu. Tampak jelas bahwa bangunan masjid ternyata miring, dhoyong, atau tidak tegak benar. Para wali kebingungan. Tidak mungkin dibongkar ulang, sehingga merasa bahwa pekerjaan menegakkan bangunan agar tegak, bukan pekerjaan yang mudah. Ketika masing-masing wali berteori cara menegakkan bangunan, Pangeran Wali Prakosa dengan sopan mengusulkan, agar menggunakan cara yang paling efisien.
“Apa saranmu, anak Cahyana?” pertanyaan Sunan Bonang. Para wali dan Sultan Trenggana menatap Pangeran Wali Prakosa dengan penuh harap.
“Jika berkenan biarlah hamba jadi palu, sedang Kanjeng Sultan dan para Wali menjadi gandennya. Insya Allah masjid dapat menjadi tegak!” kata Pangeran Wali Prakosa.
Sunan Bonang, para Wali dan Sultan Trenggono terdiam. Suasana demikian hening. Masing-masing berpikir yang dimaksud dengan palu dan ganden. Palu adalah alat pemukul yang dibuat dari besi, sedang ganden terbuat dari kayu.
“Apa yang kau maksudkan, Makhdum?” tanya Sultan Trenggana.
“Bila Paduka berkenan, para wali yang berdoa, nanti hamba yang mengamini. Semoga Allah mengabulkan” jawab Pangeran Wali Prakosa sopan.
“Baiklah mari kita lakukan” jawaban Sultan dan kemudian mengajak semua yang ada hadir untuk terlibat. Para wali menenmpatkan diri di depan, dan mengucapkan doa dipimpin Sunan Bonang. Pangeran Wali Prakosa di belakang mengamini. Namun setelah beberapa lama ditunggu ternyata kondisi masjid masih tetap dhoyong.
“Bagaimana, Makhdun?” pertanyaan Sultan seakan minta penjelasan dengan tegas.
“Ampun Sinuhun, kalau Kanjeng Sultan berkenan, ijinkan hamba yang berdoa, sedang para wali dan yang hadir yang mengamini. Insya Allah masjid dapat tegak!”
Sultan Trenggana dengan kebesaran hatinya, percaya akan kemampuan “kaum pengalasan kilen” ini, sehingga Sultan pun segera memberi restu.
Konon Pangeran Wali Prakosa meminta para wali, di saat mengamini doanya sambil memegang saka guru buatan masing-masing. Luar biasa! Tanpa terasa prosesnya, namun terbukti faktanya. Masjid ternyata telah berdiri tegak sesuai yang dikehendaki. Semua mengucapkan alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Yang Maha Perkasa.
“Keperkasaan kami berkat doamu, Makhdun. Maka kau kuberi gelar Wali Prakosa. Dan kau kutugaskan untuk melanjutkan, meng-Islam-kan para kawula di lereng BUkit Cahyana!” kata-kata Sultan, memberi gelar dan tugas kepada Pangeran Wali Prakosa. Dan sejak saat itulah nama Pangeran Makhdun Wali Prakosa menjadi gelar putra Cahyana ini.
Sultan merasa sangat senang dengan kemajuan wilayah Cahyana dan kemampuan Pangeran Wali Prakosa sehingga Sultan secara resmi memerdekakan Cahyana dari memberikan pajak terhadap negara. Seluruh pendapatan Cahyana diijinkan untuk kepentingan penyebaran Agama Islam dan merawat makam leluhur. Cahyana adalah bagian dari Kerajaan Demak, dan menjadi tanah perdikan. Bunyi piagam yang terdokumentasi kurang lebih berbunyi seperti ini:
“Penget layang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduha dening Mahdum Wali Prakosa ing Cahyana. Mulane anggaduha layang ingsung dene angrowangi amelar tanah. Sun tulusaken Pamardikane pesti lemah Perdikane Allah tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal dunya aherat. Anaa anak putu aba aniaya. Mugaa kena gutuking Allah lan olia bebenduning para wali kang ana ing Nusa Jawa. Estu yen peperdikane Allah”
Menyimak kalimatnya berarti Sultan Trenggana menilai bahwa Cahyana telah membantu meluaskan wilayah Demak. Dan barang siapa yang mengubah surat keputusan tersebut, ora sun wehi (baca: dikutuk) kebahagiaan yang khalal di dunia dan akherat, juga akan dikutuk Allah, dan oleh para wali yang ada di Pulau Jawa. Peringatan keras Sultan Trenggana terhadap pelanggaran surat keputusan tadi.
Hem…
Kesimpulannya sederhana. Menurut Babad Cahyana ini ternyata yang membuat tiang tatal bukanlah Sunan Kalijaga, tapi Pangeran Wali Prakosa, “insinyur bangunan” dari Cahyana, Purbalingga. Sunan Kalijaga hanya mengatur dan membantu.
Sultan Trenggana, dan lingkungan istana sebagai pusat pemerintahan, sangat menghargai kemampuan dan potensi wilayah Cahyana.
He, he, he, semoga masih bisa bersambung!