Ceritera tentang empat orang wali yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati yang sempat mengadakan kunjungan kerja ke Wilayah Purbalingga, di saat reses, tidak ada sidang.
Tercatat bahwa pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara surut. Menjelang berdirinya Kerajaan Demak pengaruh para wali dan penyebar Agama Islam justru semakin berperan. Agama Islam merata di Pulau Jawa. Setelah Cahyana di Gunung Munggul, maka terceriterakan pula bahwa, sedikitnya, ada satu tempat lagi yang dijadikan sebagai basis perkembangan Islam pada masa itu, yaitu di Onje. Di Onje telah berdiri semacam pesantren dengan tokoh legendaris penyebar Agama Islam bernama Syeh Syamsudin.
Konon Syeh Syamsudin, dalam pengembaraannya menuju Cahyana ia sempat menemukan tempat yang menurutnya sangat ideal untuk mesu diri, olah jiwa berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa. Ia menemukan bahwa di barat sungai besar ada tempat pertemuan tiga buah sungai. Tiga sungai yang sangat jernih bergabung menjadi satu, dan tidak jauh kemudian gabungan sungai itu pun bermuara di Bengawan Klawing.
Begitu terpesona dengan suasana di tempat tersebut, Syeh Syamsudin pun beristirahat dan melaksanakan sholat di pinggir sungai. Kemudian beliau berkehendak untuk mendirikan sebuah masjid. Arah hadap sholat, kiblat, pun diumumkan, “Jika kita di sini cukup menghadap Gunung Gora (Gunung Slamet, Gora = Agung) maka itulah arah hadap sholat kita” artinya bahwa Gunung Gora kebetulan searah dengan arah terbenamnya matahari, searah pula dengan arah Baitullah. Pada jaman dahulu, sungai, gunung, pegunungan, dan benda di langit merupakan petunjuk geografi yang paling utama.
Maka dengan tiang, empat batang pohon pakis dan atap ijuk, berdirilah sebuah masjid di dekat pertemuan tiga sungai. Sebagai tempat pengimaman, dibuat dari sebuah batu yang datar. Sejak saat itu berdirilah semacam pesantren di Onje.
Keberadaan Cahyana di samping diketahui oleh pihak kerajaan, tentu saja diketahui oleh para wali di Majapahit. Kegagalan serangan pasukan Raja Sunda terhadap Pangeran Makhdun Kusen menjadikan Cahyana makin dikenal oleh para wali. Sama halnya dengan Cahyana, keberadaan Masjid Onje juga diketahui para wali.
Maka dikisahkan bahwa empat orang wali, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, suatu waktu sempat berkunjung ke Cahyana. Kehadiran mereka adalah untuk menghormati Syeh Jambukarang yang sudah kembali ke rakhmat Allah. Syeh Jambukarang sudah dimakamkan di salah satu Puncak Gunung Munggul. Kini di sebut Ardi Lawet.
Para wali berpesan agar pemakaman para leluhur hendaknya dihormati dan dirawat dengan baik. Dijanjikan juga bahwa berdasarkan kemajuan Cahyana maka pada saatnya tentu wilayah ini akan mendapat perhatian khusus dari pihak istana.
Setelah dari Cahyana para wali, berempat, ternyata berkenan untuk berkunjung ke Onje. Alkisah, ketika di Onje, karena melihat bangunan masjid yang sangat sederhana, keempat wali itu sepakat, memperbaiki masjid. Maka, di antaranya, dengan dibantu oleh cucu Pangeran Makhdun Kusen dari Cahyana, yakni putra dari Pangeran Makdun Jamil, tiang penyangga Masjid Onje yang tadinya menggunakan batang pakis diganti dengan menggunakan kayu jati. Dan tiang kayu jati inilah yang diyakini hingga kini masih asli. Sampai sekarang masih utuh.
Alhamdulillah, ternyata hasil karya para wali, termasuk Sunan Kalijaga pun sempat ada di wilayah Purbalingga!
Setelah memperbaiki Masjid Onje, empat wali tersebut terinspirasi untuk memperbaiki sebuah masjid yang berusia sekitar sepuluh tahun, di Demak. Masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel, bentuknya hanya berupa bangunan pondok pesantren, dikenal dengan nama Pondok Pesantren Glagahwangi.
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, segera pergi ke Demak, dan dibantu oleh para wali yang lain, mulai merenovasi masjid pesantren Glagahwangi. Lama memperbaiki masjid Glagahwangi itu dua tahun. Sesuai dengan candrasengkala (candra = bulan, sengkala = hitungan waktu; artinya waktu yang dihitung berdasarkan peredaran bulan) yang ada pada masjid yaitu: “Lawang Trus Gunanning Janma”, yang berarti tahun Saka 1399 atau tahun Masehi 1477, tahun itulah pertama kali masjid direnovasi, dan kelak kemudian, dikenal dengan nama Masjid Agung Demak.
Menyimak ceritera di atas maka sewajarnyalah kita berpendapat bahwa masjid di Desa Onje itu usianya lebih tua dari Masjid Agung Demak. Dan sudah sewajarnya masjid itu termasuk benda cagar budaya, kekayaan Purbalingga, yang wajib kita lindungi keberadaannya.
Jika ke Onje, di gerbang yang melengkung, di depan mesjid, tertulis Masjid R. Sayyid Kuning. Lho kok, Masjid R. Sayyid Kuning, bukan Masjid Agung Onje? Kenapa?
Sekedar info bahwa di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, ternyata dikenal sebagai pusat pelestarian ajaran Tarikat Islam Aboge. Menurut ceritera Ajaran Islam Aboge kali pertama diperkenalkan oleh Raden Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning. Itulah ceritera mengapa ada tulisan R. Sayyid Kuning! Begitu!
He, he, he ! Okelah kalau begitu!
Hem sedikit nyampur yaa, antara Babad Cahyana dengan Babad Onje.
Semoga masih ada sambungannya!