Syeh Wali Rakhmat sampai ke wilayah Purbalingga sekitar lima puluh tahun sebelum Demak berdiri. Bersama Syeh Jambu Karang membangun Cahyana. Rajawana berkembang menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Namun demikian nama Cahyana lebih kesohor daripada Rajawana.
Ketika Syeh Wali Rakhmat merasa telah cukup dalam menyampaikan pengetahuan Agama Islam, ia memberi kesempatan kepada putra dan putrinya untuk meneruskannya. Syeh Wali Rakhmat yang saat itu sudah berusia senja, mohon diri dan kembali ke negara asalnya, Arab. Pangeran Makhdun Kusen, putra sulungnya, kemudian dipercaya memimpin pesantren Rajawana, di Cahyana ini.
Cahyana yang berada di kaki pegunungan, antara Gunung Dieng dengan Gunung Slamet (disebut juga Gunung Gora, Gunung Agung) adalah wilayah yang jauh dari ibukota kerajaan. Baik kerajaan di wilayah barat, Kerajaan Sunda, maupun yang berada di sebelah timur, kerajaan Majapahit.
Kedua kerajaan menganggap wilayah di lembah Sungai Serayu dan Sungai Klawing ini adalah milik mereka. Garis batas yang tidak jelas menjadikan Cahyana dianggap sebagai bagian dari Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Majapahit. Namun para wali penyebar Agama Islam berada di wilayah Majapahit sehingga menjadikan Cahyana lebih condong ke Majapahit.
Kemasyhuran Cahyana sampai ke Kerajaan Sunda, Prabu Niskalawastukancana, seorang raja yang bertahta sampai 104 tahun (1371–1475) mengutus prajuritnya pergi ke Cahyana. Mengharap agar Pangeran Makhdun Kusen bersedia menghadap ke Kerajaan Sunda. Menurutnya Cahyana adalah milik Kerajaan Sunda.
Pangeran Makhdun Kusen menolak, tidak bersedia ke Sunda, ia berpendirian bahwa bumi ini adalah milik Allah SWT, bukan milik Raja Sunda. Cahyana justru akan bergabung dengan para wali yang berada di Majapahit.
Gejala yang dinilai sebagai gerakan separatisme ini menjadikan Prabu Niskalawastukancana marah. Dikirimkannya satu pasukan besar prajurit pilihan untuk menggempur Cahyana, tepatnya mengempur Rajawana.
Berita kedatangan prajurit Sunda terdengar oleh Pangeran Makhdum Kusen. Prajurit Sunda masih dalam perjalanan belum sampai ke Rajawana. Karena sebuah pesantren maka Rajawana tidak punya prajurit, yang ada adalah para santri dan para saudara dan sahabatnya.
Pangeran Makhdum Kusen berpikir sederhana ia memang tidak memiliki prajurit layaknya sebuah negara namun para santrinya adalah juga prajurit. Prajurit Allah! Allah akan menolong mereka dengan segala kuasa-Nya.
Setelah shalat ashar, para santri dikumpulkan. Santri putra disuruh mengawasi rumah-rumah penduduk agar jangan sampai dirusak ataupun rusak karena pertempuran. Santri Putri ditugaskan untuk bersiap menyambut prajurit Sunda dengan cara menabuh rebana di belakang pintu gerbang pesantren. Rebana bukan sembarang rebana, tapi rebana yang telah dibuat menjadi “luar biasa” berkat doa Pangeran Makhdun Kusen.
Pada saat menjelang magrib, di saat Pasukan Prajurit Sunda mempersiapkan tempat untuk bermalam di pinggir sungai Karang, Pangeran Makhdun Kusen memerintahkan satri putri untuk segera membunyikan rebana. Pangeran Makhdun Kusen sendiri masuk kedalam kamar dan shalat hajat, mohon perlindungan Allah dari serangan prajurit Sunda.
Inilah salah satu “kesaktian” Pangeran Makhdun Kusen, begitu rebana ditabuh, maka bersamaan dengan bunyi rebana, terdengar pula bunyi dengung yang lain. Ternyata itu adalah bunyi ribuan tawon gung yang seakan keluar dari kamar Pangeran Makhdun Kusen.
Ribuan tawon terbang dan menyerang para prajurit Sunda. Terjadilah pertempuran antara tawon gung dengan prajurit Sunda di kegelapan malam. Menyadari serangga penyengat ini bukan serangga yang wajar maka para pimpinan prajurit Sunda mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk mengusir tawon gung ini. Tengah malam para prajurit Sunda baru mampu mengalahkan serangan tawon.
Mencermati bahwa tawon gung ini adalah bagian dari kesaktian Pangeran Makhdun Kusen, maka menjadikan mereka lebih hati-hati saat menyerang Rajawana pada pagi harinya.
Serangan pagi hari yang dilancarkan prajurit Sunda membuat para sahabat Pangeran Makhdun Kusen dan santri Rajawana kewalahan.
Pangeran Makhdun Kusen pun berdoa kembali, mohon pertolongan Allah. Ajaib, tidak lama kemudian tiba-tiba ada jin besar yang segera mengamuk, memporak-porandakan prajurit Sunda. Tak kuasa menghadapi amukan jin besar, pimpinan prajurit Sunda pun memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mundur dan kembali ke Sunda.
Kemenangan tersebut membuat beberapa santri putri mengalami eforia, mereka menabuh rebana dan bernyanyi-nyanyi. Dan sejak saat itu santri putri memiliki kegiatan baru yaitu menabuh rebana dengan diiringi nyanyian yang bernafaskan Islam. Belakangan kesenian ini disebut dengan nama “Braen” yang menjadi kesenian khas Desa Rajawana.
Kedamaian di Rajawana membuat kehidupan Pangeran Makhdun Kusen semakin bahagia. Para wali di pusat kerajaan Majapahit pun meneruh perhatian lebih terhadap wilayah Cahyana.
Pangeran Makhdun Kusen memiliki seorang putra, yaitu Pangeran Makhdun Jamil.
Demikianlah kisah Pangeran Makhdun Kusen yang terkenal juga dengan nama Pangeran Kayu Puring, sebagai bagian dari Babad Cahyana.
He, hem sebaiknya masih ada sambungannya!