Punta, Tia, dan Kenangan di Batang Gondhang

Sepasang remaja pelajar SMP Negeri 2 Purbalingga Tahun 1986, terlibat cinta monyet. Lugu, lucu dan wagu, namun mengesankan.

Ketertarikan Punta kepada Tia diungkapkannya pada sebatang pohon Gondang di sebuah tempat yang sering dikunjunginya.

 

Punta jejaka yang baru berusia 14 tahun, dengan wajah yang tampak cerah dan penuh ketulusan, ada garis-garis lembut, memberi kesan Punta masih sangat muda dan hangat. Rambutnya hitam legam, lurus, dipotong pendek. Dahinya yang bersih memberi kesan cukup menawan.

Ada ekspresi penuh perhatian, tergambar di raut wajahnya, apalagi jika sedang tertuju pada sesuatu yang dianggapnya penting. Tatapan matanya adalah salah satu ciri khas yang membedakannya. Matanya berwarna cokelat gelap, memancarkan kelembutan dan ketulusan.

Tia, remaja putri satu sekolah, satu angkatan dengan Punta. Berusia 14 tahun juga, ia memiliki kecantikan yang wajar, sederhana, namun memikat. Wajahnya dengan pipi yang sedikit gembil, memberi kesan imut dan menggemaskan. Pipi yang penuh itu terlihat lembut, seolah selalu tersenyum meski tanpa kata.

Bibirnya sering kali membentuk kerucut dengan senyum malu-malu, memancarkan kelembutan hatinya. Senyumnya kadang muncul perlahan, seolah-olah ia canggung atau malu, senyum yang justru menambah kekhasan dirinya. Rambutnya sepundak, hitam dan lurus, poninya sering kali terurai dengan rapi, memberikan kesan anggun dan alami.

Zaman itu masih wajar berkomunikasi lewat surat rahasia. Komunikasi telah terjalin lewat salah satu kakak kelas, yang merestui hubungan cinta monyet keduanya. Begitu tulus Mbak Las menjadi kotak pos, sekaligus tukang pos. Mampu dengan cermat menjadi agen rahasia.

Menerima dan menyampaikan surat-surat pendek secara rahasia antara Punta dan Tia. Kadang hanya secarik kertas bertuliskan tiga baris kata, namun bagi keduanya adalah ungkapan hati yang sangat membahagiakan kisah kasih mereka.

Sebuah janji dan janjian harus ditepati. Janjinya adalah jalan-jalan, atau dolan berdua ke sebuah tempat. Tempat yang dapat menjadi kenangan indah keduanya. Janjian adalah menentukan hari saatnya dolan hanya berduaan.

Seiring dengan hasil berkomunikasi lewat surat. Hari Minggu, empat hari lagi setelah diterimanya surat Tia, telah ditetapkan sebagai hari “dolan”. Kemana? Perlu juga dikompromikan. Terjadilah diskusi untuk menentukan tempat tujuan, ternyata diskusi sederhana itu menghabiskan angan dan waktu yang tidak sedikit. Bingung!

Diskusi sarana perjalanan juga susah. Jalan kaki? Naik sepeda? Naik angkot? Bahkan sampai hari minggu pagi, belum juga ada ketentuan tempat tujuan dolan berdua. Dasar cinta monyet, remaja lugu, lucu dan wagu. Padahal hari Minggu itu, tentu akan menjadi hari yang terasa berbeda. Sebuah hari, yang menjadi terasa aneh, tapi juga menyenangkan.

Setelah bertemu berdua di Minggu pagi itu, keduanya kebingungan. Kemana? Akhirnya diputuskan ke Kolam Renang Tirta Asri, Walik. Tempat yang cukup jauh namun sering dikunjungi saat kegiatan renang.

Naik angkutan kota. Route ke Tirta Asri sudah sangat dikenalnya. Keduanya sepakat untuk naik angkot. Dan sesungguhnya kolam renang tersebut adalah tempat yang selalu jadi pelarian, saat Tia merasa ingin melarikan diri dari rutinitas sehari-hari.

Berdua berjalan kaki dari rumah, menuju pool colt, yang ada di Pasar Purbalingga. Suasana di sepanjang jalan menuju pasar, terasa hening. Keduanya diam, hanya langkah kaki yang terdengar, Riuhnya kota tidak membuat keduanya memiliki bahan untuk dibicarakan. Keduanya sama-sama diam, tidak tahu harus memulai ngomong apa.

Dengan bahasa isyarat Punta mempersilakan Tia untuk masuk terlebih dahulu ke dalam angkot. Angkot, angkutan kota saat itu. Pintunya ada di bagian belakang. Dengan jendela yang sengaja dibiarkan tebuka. Angin menjadi AC alami, semribit.

Namanya Angkot, angkutan kota, barangkali maksudnya adalah kendaraan yang digunakan untuk mengangkut orang desa ke kota Purbalingga dan sebaliknya. Maka penumpangnya cenderung orang desa, dengan bawaan macam-macam. Bahkan bisa saja di samping membawa keranjang atau tenggok sayuran, membawa juga satu-dua ekor ayam.

Sebagai wanita, gadis sunthi, Tia merasa canggung duduk bersebelahan dengan Punta. Maka Punta duduk di bangku depannya. Tia lebih banyak bermain kuku dari pada menatap Punta.

Debar dada Tia begitu riuhnya, lebih riuh dibandingkan suara mesin angkot. Gas angkot yang selalu di gas dalam-dalam. Jalan ke Tirta Asri termasuk lurus, namun menuju ke arah pegunungan, sehingga jalan harus menanjak sepanjang perjalanan.

Benar-benar perjalanan yang aneh. Keduanya seakan sebagai pemeluk aliran kebatinan. Maksudnya keduanya benar-benar menggunakan kata batin, tiada kata terucap untuk sekedar menyapa. Hanya suara batin keduanya yang seakan aktif berbicara. Hari Minggu benar-benar terasa aneh, namun juga terasa indah dan menyenangkan.

Akhirnya sampai juga di kolam renang Tirta Asri, Walik. Kolam renang itu tampak tenang dengan air yang jernih, berkilau di bawah sinar matahari. Permukaan air terlihat begitu mulus, ada riak-riak kecil yang muncul ketika angin bertiup lembut. Di tepi kolam, terdapat beberapa bangku taman, terbuat dari kayu dan besi, bentuknya sederhana namun nyaman.

Beberapa bangku terletak di bawah pohon di sekitar kolam. Daun pohon seakan melambai memanggil keduanya. Keduanya menuju ke bangku-bangku di bawah pohon. Pohon memberikan bayangan yang sejuk dan melindungi mereka. Semilir angin menambah ketenangan suasana.

Suara air berderecak, air yang mengalir di tempat bilas. Tempat bilas yang terbuka, airnya mengalir deras, alami, segar dan sejuk. Riak air di kolam memberikan efek damai yang sempurna bagi siapa pun yang berada di sana, seolah mengundang mereka untuk menikmatinya lebih lama.

Punta dan Tia, memang tidak berminat untuk berenang. Hanya ingin berdua. Ingin bercerita mengungkapkan rasa hati. Namun kembali, lidah kelu menghambat kata hati. Lidah dan bibir tak mampu mengubah kata hati menjadi kata dalam bentuk suara. Keduanya terdiam dalam senyap, suasana yang indah namun terasa mencekam.

 

Punta, jejaka kecil ini sebenarnya memiliki kebiasaan menulis puisi. Biasa mencurahkan perasaan dan imajinasi ke dalam bait-bait tulisan. Tapi tidak, kali ini. Kali ini yang ada, hanya yang di benaknya. Keindahan puisinya lebih sering menggambarkan keindahan dunia melalui wujud Tia. Justru ketika Tia di dekatnya, malah beku mencengkeram kemampuannya.

Menjadi sifat aslinya. Punta selalu berbicara dengan nada yang tenang dan penuh kehati-hatian, tidak ingin mengganggu orang lain. Kini ia pun tak ingin mengganggu kediaman Tia. Padahal sesungguhnya keduanya ingin ada kata, ingin ada tanya-jawab dan cerita yang heboh. Tapi kembali lagi keduanya benar-benar lugu, lucu dan wagu.

Sementara sang gadis Tia, pun hanya mampu berbicara lewat tatapan matanya yang lembut. Mata yang bulat itu, selalu sedikit berbinar, seakan mencerminkan sifatnya yang penuh perhatian dan lembut. Meskipun Tia, kali ini menjadi gadis pemalu yang memalukan, namun tatapan matanya sering kali mencuri perhatian. Matanya menunjukkan kedalaman dan kehangatan dirinya terhadap Punta.

Berjam-jam berlalu, dan hanya suara angin yang mengisi kekosongan. Walau begitu, ada satu hal yang membuat keduanya merasa sedikit lebih dekat. Punta tiba-tiba mengeluarkan pisau kecil dan mulai mengukir dua nama di sebuah pohon besar di sana. Pohon Gondhang.

Tia tersenyum melihatnya, sedikit terharu karena meski tidak ada kata-kata yang terucap, menurutnya ada banyak cerita yang tertulis di ukiran itu. Keduanya berdiri di sana, menatap pohon itu, merasakan kenangan yang diharapkan terus tumbuh bersama tumbuhnya si pohon Gondhang.

Puas berjam-jam dalam diam. Puas menikmati ukiran di pohon Gondhang. Puas menikmati sejuknya angin di rerimbunan pepohonan. Dengan sebuah isyarat kecil, keduanya bergeser, perlahan menuju pintu keluar. Suara kecipak air, semakin tidak terdengar. Bayang ukiran di pohon Gondhang tercetak di benak keduanya; “Punta – Tia”

 

Kadang, tidak perlu banyak kata untuk merasa dekat. Yang penting adalah momen-momen indah walaupun sederhana. Rasa hati untuk mereka rasanya tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata vulgar. “Punta – Tia”, dua nama dalam satu bingkai. Dua nama dalam satu keindahan murni.

Kembali ke kota. Kembali pula naik angkot. Kali ini mereka duduk bersebelahan, tak berjarak sesentipun. Aneh. Walau rasanya seperti ada banyak hal yang ingin Tia ungkapkan, tapi mulutnya terasa terkunci. Begitu juga dengan Punta, tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya. Keduanya sampai di Alun-alun Purbalingga, masih dalam suasana keheningan yang aneh.

Dan meskipun hari itu keduanya hanya diam, tetapi sesungguhnya ada banyak cerita yang tidak terucap, yang tersimpan dalam senyuman dan tatapan mata keduanya.

Ukiran di batang pohon Gondhang terbayang-bayang di benak keduanya. Ada satu sentuhan sederhana yang tidak disangka oleh Tia bakal terjadi. Yaitu saat turun dari angkot, di akhir perjalanan hari mainggu itu, Punta menyorongkan tangan, membantu Tia turun dari angkot.

Dengan debar dada dan rasa segan, diterimanya uluran bantuan Punta. Itulah sentuhan pertama antara keduanya.  Debar dada Tia sempat menimbulkan keringat di tubuhnya. Dari diam seribu bahasa berakhir dengan sentuhan kecil.

Kenangan terindah dari dua remaja yang terlibat dalam cinta monyet. Kisah yang lugu, lucu dan wagu. Bersaksi kolam renang Tirta Asri, Walik, kisah dua remaja, Punta dan Tia, ternyata tersangkut dan terpahat di batang pohon Gondhang.

Purbalingga, Desember 2022

Semoga berkenan.

Salam

Toto Endargo

.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *