Seperti tulisan di Pundhen (1) bahwa ada kalanya sebuah tempat menjadi pundhen hanya karena tempat tersebut pernah disinggahi oleh seseorang yang ditokohkan. Contohnya adalah pundhen Petilasan Brambang Jahe dan Petilasan Udan Angin.
.
Setiap yang pernah “ngubengi” GOR Goentoer Darjono, mungkin tahu, atau pernah lihat, minimal, mlirik, bahwa di utara GOR, di sekitar mural orang tinju, ada sebuah petilasan, bekas tempat yang memiliki kesan berlebih dari seorang yang dianggap tokoh. Papan namanya bertuliskan: Petilasan Brambang Jahe, Kelurahan Purbalingga Kidul, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga.
Pesan Pilihan
Alkisah jaman dahulu di dusun Timbang, Penambongan ada seorang dalang, Ki Dalang Timbang. Suatu hari Ki Dalang Timbang ini dipesan oleh sebuah keluarga di dukuh Blewuk, Bojong. Dimohon berkenan untuk pentas mendalang. Hari dan tempat pentas telah ditentukan dengan bijaksana, akur dan nyaman di semua sisi. Lakon juga sudah disetujui oleh Ki Dalang dan tuan penanggap. Sebuah persekutuan yang harmonis.
Namun datanglah sebuah masalah. Konon Kanjeng Bupati Purbalingga kerawuhan tamu agung dari Surakarta. Berkenan ingin dijamu potensi asli budaya Jawi. Pentas wayang.
Maka dipanggillah dalang maen dari dusun Timbang itu. Hari dan tempat pentas ditentukan oleh Kanjeng Bupati. Ya, ampun, kok hari dan tanggalnya, sama persis dengan pesanan piyayi Dusun Blewuk. Ki Dalang Timbang tertunduk masygul.
Ewuh aya ing pambudi, sulit menentukan pilihan, sebaiknya pentas dimana. Percik nurani yang hadir ternyata mengarahkan pada pilihan bijak, itu menurut Ki Dalang. Ki Dalang Timbang memilih tetap pentas di Dusun Blewuk, karena Blewuk lebih dulu pesan dibandingkan Sang Bupati. Janji harmonis tak elok jika dibikin jadi cela.
Hehe.
Sang Bupati, konon, menjadi tidak berkenan. Ada senyum ancaman di wajah Kanjeng Bupati. Ki Dalang Timbang pun tanggap ing sasmita, sadar risiko yang mungkin harus diterima, Ki Dalang telah memilih mbadhal saka dhawuhing pengageng, membantah perintah atasan.
.
Tersesat
Malam yang sama. Dua pentas wayang. Di pendapa kabupaten dan di dusun Blewuk. Lakon yang sama. Sesaji Rajasuya, yang menceritakan tentang syarat dan upaya penobatan seorang raja. Begitulah, malam itu diharapkan akan berlalu dengan nyaman dan meriah.
Namun di tengah malam, ketika adegan gara-gara, benar-benar terjadi gara-gara di diri Ki Dalang Timbang, perutnya sakit, dan tidak bisa ditahan untuk tetap pentas mendalang. Langit berkabut, mendung menggantung. Ki Dalang Timbang tanggap dengan isyarat darurat itu, pentas dihentikan. Terpaksa beliau pamit pulang, harus pulang.
Demi keselamatan semua orang, beliau tidak mau diantar siapapun, kecuali istrinya, yang selalu setia mendampinginya setiap kali pentas. Dalam gelap yang tak sewajarnya, Ki Dalang Timbang berjalan pulang. Blewuk ke Timbang itu dekat dalam keadaan wajar. Tapi tidak malam itu.
Ki Dalang Timbang berdua dengan istrinya, ternyata telah keliru memilih jalan, terlunta hingga melewati wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Mewek, lalu lewat Dukuh Kalijebug, Karangmanyar, sampai ke Purbalingga Kidul.
.
Krangean Curgecang
Beliau sadar tersesat ketika mendengar gemrasaknya air dari sungai yang dikenalnya, lalu berhenti sejenak, rasa sangat tidak nyaman membuat tangan Ki Dalang Timbang bergerak-gerak seperti orang sedang menggapai-gapai sesuatu, gerakan itulah yang kemudian menjadikan sungai yang kemrasak di depannya itu, diberi nama Sungai Krangean dan kini dikenal dengan nama Kali Kramean.
Lalu berjalan lagi dalam papahan istrinya, karena gelap dan banyak rumput liar, kaki Ki Dalang Timbang kegencang, tersandung akar rumput hingga jatuh terduduk, kebetulan disitu ada curug, air terjun, maka air terjun disitu kini dikenal dengan nama Curug Gencang, atau Curgecang.
.
Petilasan
Terus berjalan ke timur, sakitnya semakin menjadi. Ki Dalang Timbang, minta berhenti. Saat istirahat inilah sang istri baru ingat bahwa di bengking-nya ada membawa brambang dan jahe. Segera brambang dan jahe di-mamah, dan dioleskan ke perut suaminya. Sampai beberapa kali istrinya mamah brambang jahe. Ampas bekas borehan dan sisa brambang jahe, di bawah sinar lidah cahaya langit, dikubur di tempat dimana Ki Dalang Timbang itu dirawat. Kini tempat itu dikenal dengan nama Petilasan Brambang Jahe. Bahkan di beri nisan, diberi tulisan Kyai Brambang Jahe.
Derita Ki Dalang Timbang belum selesai, setelah sakitnya berkurang, perjalanan diteruskan ke arah selatan. Baru sekitar tigaratus meter, tiba-tiba hujan deras disertai angin besar menimpa Ki Dalang Timbang bersama istrinya. Terpaksa keduanya berhenti, menepi di bawah sebuah pohon. Dan tempat ini kemudian dikenal dengan nama Petilasan Udan Angin.
.
Pamali
Demikianlah pada akhirnya Ki Dalang Timbang sampai ke rumah, tetap dalam keadaan sakit. Ketika sakitnya semakin parah maka Ki Dalang Timbang berpesan kepada anak cucunya.
Pesan yang akhirnya menjadi semacam pamali, hal yang dilarang, tabu, yaitu: Anak, cucu, dan keturunan Ki Dalang Timbang, tidak diijinkan untuk menjadi dalang wayang.
Hehe, kalau dalang ebeg, boleh. Dalang kerusuhan, jangan!
Begitu ceritanya.
.
“Lho, Pak. Pamalinya nggak begitu, keliru?”
“Keliru bagaimana?”
“Pamalinya, itu: Orang Timbang, tidak diperbolehkan nanggap wayang!”
“Lah, namanya, cerita tutur. Kamu nutur crita dari mana?”
“Mbuhlah, Pak! Tapi sepertinya, pamalinya yang itu, itu!”
“Hehe. Ya sudah, ya. Kapan-kapan critane deterusna maning!”
“Crita napa, Pak?”
“Yaa, crita bab Dusun Timbang!”
“Lah, mesthi anu ngarang!”
“Mbuhlah! Ngalih!”
“Hehe!”
.
Ngapunten
Lagi pengin ndongeng
Mugi tansah ginanjar sehat, nggih!
Nuwun.
.
Toto Endargo