Pundhen (2) 

Energi 

Tiap makhluk energi (ME) punya kemampuan yang khas secara pribadi. Punya keahlian, yang sesuai dengan saat rohnya masih berjasad.

Jadi ada yang ahli berdagang, ahli perjodohan, ahli pengobatan, ahli pemerintahan, perang, silat, sindenan, tayuban, ebegan dan juga yang lain-lainnya.

Kebutuhan mereka secara umum adalah sama, yaitu butuh energi untuk kenyamanan keberadaannya.

Darimana energi kehidupan di dapat? Dari para mereka yang percaya, dari para pengikutnya yang meyakini keberadaannya.

Semakin banyak pengikutnya, maka semakin banyak mendapatkan energi yang akan menjadikan ME tersebut merasa semakin nyaman dan berjaya.

Semakin banyak pengikut yang memohon sesuatu kepada ME, maka semakin besar energinya sang ME.

Balasan dari ME untuk keseriusan para pengikutnya adalah dengan membantu mengabulkan permohonan sang pengikut. Bisa segera, bisa kapan-kapan.

Semakin banyak terkabulkannya permohonan, maka berefek akan semakin banyak pula jumlah pengikutnya, serta semakin patuh dan pasrah, semakin tebal keyakinan para pengikutnya, sehingga semakin serius pula dalam mencurahkan jiwa raganya untuk ME.

Hehe, begitulah siklus hubungan antara ME dengan para pengikutnya, simbiosis mutualisma. Hubungan yang diharapkan saling menguntungkan antara makhluk yang tak berjasad dengan makhluk yang masih berjasad.

Begitulah antara lain, hal Pundhen!

“Oh, begitu ya, Pak. Permohonan atau doa yang serius akan menghasilkan energi, ya Pak?”

“Iya. Maka setiap kali adad anjuran untuk berdoa, artinya ada saran untuk mensuplai energi kepada objek doa!”

BACA JUGA:  Keyakinan Wayang

“Energi untuk siapa, Pak?”

“Untuk obyek doa. Kalau yang obyek doanya sudah meninggal, berarti energinya untuk ME!”

“Mahluk Energi, Pak?”

“Iya! Kan obyek doa sudah tidak punya raga!”

“Apa pasti masih eksis, Pak?”

“Tergantung! Tergantung dengan kemampuannya menghimpun energi saat hidup dan banyaknya pendapatan energi dari kiriman energi para ‘pengikutnya’, dan juga kiriman dari para anak cucunya!”

“Oh. Jadi bisa terjadi, sesungguhnya obyek doa sudah tidak eksis lagi, Pak?”

“Iya. Bisa banget!”

“Ah! Begitu ya! Coba cerita lagi, Pak!”

“Cerita apa?”

“Hal sesaji di pundhen!”

“Hehe!” .

Bersambung di: Pundhen (3)

 

Maturnuwun

Sedang kepengin crita

Sekedar melepas jubelan

Nuwun

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *