Bulan Puasa Saat Masih Kecil
Toto Endargo
Ini ceritera tahun 1965-an, di saat bulan puasa. Menjadi sangat berkesan karena beberapa hal yang sulit untuk diulang. Suasana bulan puasa tahun 1965-an dengan tahun 2010 sangat jauh berbeda. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi sekedar catatan kecil suasana Bulan Ramadhan sekitar 45 tahun yang lalu.
Libur Sekolah
Anak SR atau SD di bulan puasa libur sekitar 40 hari. Bahkan rasanya dulu sekolah itu sering libur. Ada kata-kata catur wulan, barangkali saat itu ada liburan catur wulan juga, sehingga setahun ada liburan empat kali.
Kalau bulan Desember dan bulan Puasa, pasti libur panjang. Libur panjang digunakan untuk bermain-main. Saya kadang sampai bosan karena terlalu lama libur sekolah. Isinya bermain-main. Main kelereng, benthik, gaco dan gandhon. Atau mainan gambar wayang, semacam; umbul, tepo, dan cemeh.
Bermain-main
Dalam keadaan puasa, bila sempat, tetap saja gebyar-gebyur, silam-silem, anjlog-anjlogan mandi di sungai. Kadang berpetualang, jalan kaki ke pegunungan atau ke pingir sungai Klawing. Karena kecil, jalan kaki sejauh tiga – lima kilometer dari rumah, sudah terasa jauh sekali.
Sering jalan kaki ke Pasar Bobotsari, menonton pertunjukannya bakul jamu, yang kadang ada sedikit pertunjukan sulapnya. Suka juga menyimak kemampuan tukang ogan yang menggunakan burung gelatik sebagai peramalnya. Burung gelatik disodori beberapa kartu bergambar. Gambar yang diambil burung gelatik itulah yang kemudian dibaca oleh tukang ogan sebagai hasil ramalan.
Masjid dan Langgar
Di desa saya, Mangunegara, saat itu, satu kelurahan, seingat saya, hanya ada dua masjid; Masjid Mangunegara dan Masjid Citrakusuma. Masjid-masjid itu belum diberi nama.
Kata mushola belum terkenal, yang terkenal adalah “langgar” (surau).
Langgar adalah tempat untuk shalat berjamaah, tempat anak mengaji, tempat anak bermalam, tempat tidur bagi anak-anak yang keluyuran dan malam-malam malas pulang ke rumah.
Setiap langgar berupa bangunan panggung, dengan tiang-tiang kayu, beralas plupuh (papan yang dibuat dari bambu, bambu dibelah satu sisi, lalu dicacag-cacag di seluruh permukaannya sehingga bambu tersebut bisa rata seperti papan). Kolong langgar dapat dimasuki anak dengan cara jongkok. Karena lantai langgar banyak celahnya maka bagi anak yang usil, ia berjongkok di kolong, dengan sepotong lidi dicoloknya celah lantai langgar, jika pas maka ada anak yang tiba-tiba berteriak kaget karena pantatnya kena lidi dari bawah. Langgar lebarnya kurang lebih 3 x 3 meter.
Satu kelurahan, seingat saya, waktu itu hanya ada tiga buah langgar. Di Jambangan, Serang dan Kedhempel. Sebenarnya di dekat belik, Sungai Lembarang ada satu langgar, tapi belum berfungsi. Saya sendiri rasanya belum pernah naik ke langgar itu. Tempatnya terpencil.
Klasa
Saat itu belum umum yang namanya sajadah, karpet, apalagi keramik sebagai alas shalat. Umumnya kalau shalat cenderung beralaskan klasa, maksimalnya slendang. Klasa mayoritas dimanfaatkan menjadi alas tidur atau alas dipan.
Klasa terbuat dari anyaman daun pandan. Dulu, klasa yang terkenal adalah yang dibikin oleh orang Cipaku. Kebun pandan berduri banyak di Desa Cipaku, di pinggir-pinggir sungai sampai di sekitar Curug Nini. Klasa yang sudah jadi, namun belum kering, biasanya di-pe, dijemur di pinggir-pinggir jalan. Kalau sudah kering ditumpuk dan digulung. Lalu dipikul untuk dijual, dipasarkan di pasar-pasar atau di pinggir jalan.
Shalat Tarawih
Jaman dulu shalat tarawih (traweh) sangat istimewa. Shalat berjamaah adalah hal yang belum banyak dilakukan. Shalat jama’ah taraweh, untuk dhukuh (dusun) yang tidak memiliki langgar atau masjid, cenderung dilaksanakan di rumah salah seorang yang mampu untuk menjadi imam shalat.
Anak-anak kecil ikut shalat taraweh adalah hal yang sangat mengasyikan. Mengambil shaf paling belakang. Saat ikut makmum melaksanakan shalat Isya, empat rakaat biasanya cenderung tertib. Tapi begitu masuk shalat tarawih mulailah ada yang usil. Polah yang diluar ketertiban jamaah shalat.
Dulu imam saya menggunakan hitungan 2 rakaat kali 4, plus 3 rakaat shalat witir, jadi sebelas rakaat. Antara shalat taraweh dengan witir, labas saja, tidak ada jeda 10 menit. Sekarang lah cenderung diisi semacam ceramah sebentar.
Noraknya Anak-anak
Saat ikut makmum melaksanakan taraweh inilah yang norak. Anak-anak ada yang dorong-dorongan, ada yang mengambil peci temannya, sengaja menginjak sarung temannya, mengamini dengan bacaan amin yang sengaja lebih diperpanjang, dan sebagainya.
Namun saat orang-orang dewasa duduk takhyat menjelang salam, segera anak-anak tertib, duduk manis ikut takhyat akhir, lalu salam dengan takjimnya, tengok kanan, tengok kiri, dan selesai salam langsung mulutnya berkemak-kemik.
Lalu kembali ketika orang dewasa takbiratul ikhram, ……. anak-anak mulai bergurau lagi, berhentinya saat takhyat akhir, segera duduk manis ikut takhyat, lalu tengok kanan, tengok kiri, mulut berkemak-kemik, bergaya dzikir ….he, he, he … begitulah nakalnya anak-anak jaman dulu.
Senthir, Teplok dan Petromak
Di desa belum ada listrik, adanya senthir. Senthir dibuat dari bohlam yang dibuang tutupnya lalu tutupnya diganti dengan seng tutup botol yang diberi pipa seng untuk deles (sumbu) senthir. Bohlam diberi guntingan seng dibuat sedemikian rupa sehingga bohlam dapat dicantelkan di dinding dengan perut bulatnya di bagian bawah. Setelah di isi minyak tanah, sumbunya disulut api. Nyalalah si senthir semalaman, seperti nyala api lilin di jaman sekarang.
Dulu bisa saja, saat belajar malam-malam, cukup hanya menggunakan nyala senthir ini. Namun di samping senthir ada pula yang dinamakan teplok. Nyala teplok sinarnya lebih terang sepuluh kali lipat sinar senthir. Adalagi yang namanya petromak. Petromak alat penerangan yang istimewa. Memiliki tangki yang harus diisi latung (minyak tanah), ada pompanya. Ada pipa, puyer, jarum, deles petromak berbahan asbes bentuknya seperti kantong, berwarna putih, rapuh. Cahaya petromak lebih putih dan jauh lebih terang dibandingkan dengan lampu teplok.
Makan Sahur
.Kapan kita makan sahur? Saat itu penunjuk waktu, semacam arloji, jam dinding, jam gandhul, masih menjadi barang langka. Sehingga sebagai penanda waktu adalah rutinitas alam.
Tanda waktu untuk sahur, menurut Pak Gedhe saya, adalah jika terdengar kokok ayam jago periode yang kedua sampai yang ketiga. Konon ayam jago kalau kluruk pertama itu sekitar jam satu dini hari, kedua sekitar jam dua dan ketiga sekitar jam tiga.
Ada tengeran yang lain yaitu terdengarnya bunyi kodhok di sawah. Jika kodhok, bancet, blentung, ngorek atau bunyinya di sawah sudah riuh-rendah itu pertanda sekitar jam tiga pagi. Beruntung pada saat saya masih kecil, masih banyak sawah di sekitar kampung dan ayam jago banyak yang memelihara, sehingga kita bisa memahami rutinitas alam.
Penanda lainnya adalah theng-thong, bunyi kenthong yang ditabuh oleh beberapa orang berkeliling kampung. Saat kecil bunyi tersebut sangat berkesan, dari terdengar sayup-sayup, jauh, sampai akhirnya sangat jelas. Karena belum pernah melihat siapa sebenarnya yang memainkan kenthong tersebut, maka menurut bayangan saya bunyi-bunyi tersebut dikirimkan oleh makhluk-makhluk yang tidak kelihatan, mirip dengan apa yang disebut saleh, yaitu bunyi orang kothekan yang sumbernya bisa berpindah-pindah. He, he, kadang terjadi juga karena takut tidak sahur, maka begitu nglilir pertama, barang kali masih jam satu, kita sudah makan sahur.
Sekarang rasanya sulit untuk mau sahur jam satu dini hari. Bunyi theng-thong sudah diganti dengan pesawat televisi. Kini sahurnya selalu menjelang imsak. Istilah imsak sekarang sudah tidak asing, penanda waktu pun bermacam-macam, sehingga jam empat pagi pun masih dengan tenang makan sahur.
Penanda Buka Puasa
Buka puasa ada tiga penandanya. Pertama warna merah langit di barat, di sebelah Gunung Slamet. Jika langit sudah lembayung merah, boleh buka puasa.
Kedua memperhatikan kelelawar terbang. Jika sudah sekitar lima belas kelelawar beterbangan mencari mangsa itu pertanda sudah maghrib, boleh buka puasa.
Ketiga orong-orong. Jika serangga pengorek tanah ini sudah bunyi, sudah ngorong-ngorong, berarti waktu magrib telah tiba, boleh buka puasa. Bunyi orong-orong juga dijadikan sebagai pertanda masa sandekala, candikala. Orang-orong berbunyi sekitar lima belas menit, dan selama itulah kira-kira yang disebut sandekala, konon saat-saat rawan banyak penyakit lewat, saat banyak setan lewat, banyak cepet membujuk anak kecil untuk dibawa pergi.
Untuk buka puasa, saya biasanya memilih yang kedua, memperhatikan kelelawar terbang. Menunggu waktu buka, sudah mandi, sudah pakai baju bersih, duduk di emper rumah, memperhatikan pohon pisang, sebab kelelawar, lawa, codhot seringnya ngumpet di antara pelepah atau daun kering pohon pisang. Jika usil, maka pohong pisang diorag-orag agar kelelawarnya terbang.
Tahun-tahun berikutnya salah satu tokoh agama di kampung saya, punya ide untuk membunyikan kenthong sebagai penanda saat buka puasa tiba. Secara estafet anak-anak ikut membunyikan kenthong di rumah masing-masing dengan gembira. Lalu bergegas buka puasa.
Puji-pujian
Puji-pujian adalah istilah untuk lagu yang dinyanyikan menjelang dan sesudah dikumandangkannya adan shalat isya. Ada satu tembang puji-pujian menjelang shalat taraweh yang sangat berkesan bagi saya.
Saya beri judul Uyun-uyun Badan. Menurut hemat saya lagu ini bagusnya sejajar dengan lagu Tombo Ati. Syairnya berbentuk geguritan, tapi mohon maaf kalau ada kalimat yang kurang tepat.
Uyun-uyun Badan
Uyun-uyun badan,
Uyun-uyun susahing ati
Badan siji digawa mati
Wong nang dunya sugih dosa
Ing akherat diukum siksa
Gusti Allah nyuwun ngapura,
Gendhung-gendhung pangeling-eling
Aja eling ing alam akherat,
Elinga ing alam dunya
Gawe dalan maring suwarga
Babad-ana, rancas-ana
Aja babad kudhi cungkir
Babad-a puji kelawan dzikir
Astaghfirlloh azhim
Wa min’kuli jami’ati
Guwayanira linurupa
Laila ha Rabil’alamin
Saya pernah mendengar di suatu tempat, lagu ini dinyanyikan namun syairnya berbeda dengan syair di atas. Saya sempat berpikir barangkali lagu ini juga salah satu tinggalannya Wali Sanga. Siapa tahu?!
Berikutnya ada satu lagu puji-pujian yang masih teringat, lagu ini menjadi favoritnya Pak Yasawireja. Jika Kaki Sawir, begitu setiap kali anak-anak menyebutnya, yang memulai lagu puji-pujian, pasti lagu ini yang dikumandangkan. Padahal saya lebih suka lagu Uyun Uyun Badan. Yah bagaimana lagi.
Begini liriknya. Saya beri judul: Rukune Islam.
Utami rukune Islam,
Iya iku ana limang perkara
Ingkang dingin: ngucapaken syahadat loro
Kapondhone : sholat limang wektu
Kaping telu : puasa wulan Romadhon
Kaping pate : ngawehaken zakat
Kaping lima : munggah kaji maring Mekah
Iya iku lamon kuwasa.
.
Hehe, dan ternyata lirik lagu tersebut sangat membantu saya di sekolah. Yaitu saat ada soal untuk menyebutkan urutan lima rukun Islam, lagu itulah yang saya jadikan jembatan pengingat. Maturnuwun Pak Sawireja.
Jaburan, Takjilan dan Takiran
Dulu ada istilah jaburan, sekarang lebih dikenal dengan nama takjilan. Hemat saya ada sedikit beda antara yang dimaksud takjilan dengan jaburan. Takjilan adalah makanan ringan, umumnya dimakan untuk mensegerakan berbuka. Takjilan adalah makanan sajian untuk buka puasa sebelum shalat Maghrib. Takjilan bisa pula diartikan sebagai makanan kecil atau makanan selingan di segala kesempatan. Contoh takjilan adalah kolak, kacang ijo, agar-agar, lemper dsb.
Jaburan, barang kali dari kata “bur”, lepas, ikhlas (ngeburna dara = melepas burung merpati). Jadi jaburan adalah makanan yang diburna, diikhlaskan seseorang untuk dimakan oleh hadirin jamaah shalat taraweh. Jaburan disajikan setelah shalat taraweh selesai. Dulu jaburan yang umum adalah kacang godhog, cimplung, mendoan, atau gethuk.
Takiran adalah sebutan untuk sajian nasi, semacam rames dengan lauk kering yang diwadahi takir. Takir adalah wadah yang dibuat dari daun pisang cenderung berbentuk seperti bejana segiempat.
Takiran umumnya disajikan sebagai pengganti jaburan. Jaburan adalah makanan ringan sedang takiran bisa dikatakan makanan berat. Takiran biasa disajikan disaat likuran, artinya disaat-saat memasuki puasa dalam hitungan gasal di atas hari ke 20. Biasanya di malam 21, 23, 25, 27, 29, pasti sajiannya bukan lagi jaburan tapi takiran. Sebagai anak-anak takiran adalah salah satu momen yang diharap-harap, kenangan yang asyik, yang sulit dilupakan.
Irama Khas Takbir
Bada (lebaran) punya kenangan yang khas. Namun saat ini, setiap kali ketemu bada, sepertinya saya merasa kehilangan irama takbir yang khas, irama takbir jaman saya kecil. Lafal takbir sudah baku, namun lagu takbir cenderung terpengaruh oleh budaya setempat. Kalau menyimak di internet maka akan kita temui beberapa macam lagu atau irama takbir.
Takbir terdiri dari tiga bagian yaitu: Takbir, Tahlil dan Tahmid
.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Laa ilaaha Illallaahu, wallahu Akbar,
Allahu Akbar wa Iillaahil hamd
.
artinya:
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, .. (takbir)
Tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar, …. (tahlil)
Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian …. (tahmid)
.
Dulu sebelum marak media sosial semacam radio, TV, HP apalagi internet, budaya asli suatu daerah masih diugemi. Irama atau lagu takbir setiap hari raya masih khas wilayah setempat. Khas kami adalah khasnya desa Mangunegara, Citrakusuma, Serang, Kedhempel, Karangmangu, Prapatan. Iramanya khas, hemat saya, iramanya khas Jawa Banyumasan.
Takbir dan Tlidur
Hanya ada dua tempat untuk takbir, belum ada budaya takbir keliling. Yaitu bersama-sama takbir di masjid, atau takbir di rumah masing-masing. Karena dulu di Prapatan (Mangunreja) belum ada masjid maka saya datang ke ke Masjid Citrakusuma, sekitar satu kilometer. Di dalam masjid di samping suara takbir, selalu dibarengi suara bedhug dan kenthong yang dipukul berirama khas. Istilahnya “tlidur”.
Tlidur dimulai sehabis isya sampai dini hari. Atau dilakukan sepanjang ada yang takbir, pemukul bedhug bergantian bahkan kadang harus berebut. Ahli pemukul bedhug saat itu adalah Mas Siam Kampul. Mengesankan!
Seingat saya langgar di dhukuh Serang juga ada bedhugnya. Bedhugnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan bedhug yang ada di Masjid Citrakusuma dan Masjid Mangunegara. Langgar di Dhukuh Jambangan dan Dukuh Kedhempel saat itu tidak ada bedhugnya.
Takbir di rumah. Sekeluarga berkumpul di satu ruangan. Takbir bersama-sama. Saat takbir di rumah inilah, saya mengenal irama takbir yang khas Desa Mangunegara. Walau kadang sebentar, bapak sayalah yang cenderung memimpin takbir di rumah.
Ketika irama takbir yang khas, dikumandangkan sepenuh hati, saat terdengar dari jauh, begitu menyentuh kalbu, sayup-sayup, nganyut-anyut, membuat orang tersekat hatinya. Ada rasa haru menyusup ke seluruh pembuluh darah. Apalagi jika dikumandangkan sendirian di tengah larut malam, sendirian, suara irama takbir itu, mampu membuat orang meneteskan air mata karena rasa syukur dan rasa damai yang nyata.
Dulu sewaktu saya kecil, setiap malam menjelang Idul Fitri, setelah sholat isya Ibu saya, Mamake, Mboke inyong, biasanya nggoreng, gorengan kacang dan gorengan kedelai sambil nggodhog kupat, di pawon. Alat penerangnya masih senthir. Gorengan kacang sekarang disebut sebagai peyek kacang. Saya menemani sambil takbir, sambil ngatur kayu bakar, sesekali berhenti takbir sebab harus berkali-kali nicipi gorengan kacang. Sangat mengesankan. Hal yang rasanya tak mungkin anak jaman sekarang mengalaminya.
Shalat Ied
Saat Shalat Ied cenderung dilaksanakan di Lapangan Mangunegara, depan kantor Kecamatan Mrebet. Jamaahnya yang sangat dinanti adalah jamaah dari dukuh Kedhempel.
Dukuh Kedhempel ini jaraknya dari lapangan Mangunegara sekitar satu kilometer. Selama perjalanan menuju Lapangan Mangunegara barisan rombongan, jamaah dari dukuh Kedhempel ini takbir sepanjang jalan. Barangkali takbir di pagi hari sepanjang jalan, adalah peristiwa langka dan sangat istimewa.
Pemimpin rombongan saat itu, kalau nggak salah Uwa Madraji. Irama takbirnya khas Kedhempel, Mangunegara. Biasanya setelah jamaah dari Kedhempel sampai, sholat Ied segera dimulai.
Takbir Khas Jawa Banyumasan
Takbir yang dikumandangkan jamaah Desa Mangunegara, yang menurut saya khas banget itu, terutama saat mengumandangkan kalimat tahlil, mendayu-dayu, iramanya seperti mampu mengayun-ayun rasa, meremas kalbu. Saya berpikir, ini adalah takbir dengan irama yang Khas Jawa Banyumasan.
.
Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar,
Laaaaaaa Ilaaa-ha Illalaaaa-hu wallaaaa-hu Akbar
Allaaaa-hu Akbar wa Iillaaahil hamd
.
Dan takbir-takbir saat ini, tentu saja sudah sangat dipengaruhi adanya dunia global, yang khas di desa sudah terpinggirkan oleh derasnya budaya media sosial. Bahkan saat dulu, sepertinya masih jarang orang mengucapkan kata Bulan Ramadhan, Puasa Ramadhan, yang ada adalah Wulan Puasa. Tidak perlu dipikirkan banget-banget untuk melestarikan budaya lokal.
Sebuah cerita sebagai pengingat bahwa ada masa-masa indah yang tampak sederhana namun sangat mengesankan. Saat budaya masih berbasis alam yang tampak tradisional dan terbatas. Sulit untuk diulang.
Semoga bermanfaat
Salam
Toto Endargo
.
Ass ww.
Alhamdulillah, kesuwun banget kiye mas Toto. Nggo lagu "Uyun uyun badan" ne.
Aku wis suwe nggoleti lagu-lagu sing kaya kiye.
Kira-kira ana apa ora ya versi mp3-ne?
Duwe lagu sing liyane apa ora (kaya 'gendung gendung pangeling eling" utawa "idza syaro mawa nasyi java karo rokobana…dst"
Sepisan maning kesuwun lan salam.
yusupri@yahoo.com