Pertempuran di Blater

Pertempuran di Blater
Toto Endargo

Pro – Contra Linggarjati

Wim Schermerhorn – Lord Killear – Sutan Syahrir
   Perjanjian Linggarjati atau Perundingan Linggarjati atau ada yang menyebutnya Persetujuan Linggarjati isinya ternyata telah ditanggapi berbagai pihak dengan berbagai macam tafsiran. 
   Mengenai isi perjanjian tersebut, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Beberapa partai yang mempunyai lasykar, pasukan pejuang bersenjata menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia. Sementara pemerintah menginginkan perjanjian ini harus disetujui dan dipatuhi.
Poster: Hindatkanlah Perang Saudara!
   Betapa memprihatinkannya keadaan saat itu hingga ada sebuah poster yang ditempel di Gedung Perundingan Linggarjati. Gedung yang berada di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kuningan dan terletak di kaki Gunung Ceremai. Bunyinya adalah himbauan agar rakyat Indonesia tetap tenang, tetap damai;  
“Samboetlah Naskah Persetoedjoean Dengan Tenang. Pro atau Contra, Tetap Bersatoe. Hindarkanlah Perang Saudara!”

Terbentuknya Tentara Nasional Indonesia
   Kontroversinya hasil Perundingan Linggarjati menjadikan Presiden RI pada tanggal 5 Mei 1947 membentuk satu panitia yang “untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya mempersatukan Tentara Republik Indonesia dan Lasykar-lasykar menjadi satu organisasi tentara”. Beda tafsir terhadap isi Perundingan Linggarjati sangat dikhawatirkan masing-masing pihak akan mbalelo dan berjalan sendiri-sendiri. Bahkan bisa menjadi pemicu timbulnya perang saudara!
   Panitia diketuai sendiri oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Angkatan Perang, dibantu oleh tiga orang wakil ketua yaitu Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, dan Panglima TRI Jendral Soedirman yang menjadi Wakil Ketua III, dan dengan anggota panitia terdiri dari Kepala Staf Umum Markas Besar Tertinggi (MBT) dan para pemimpin badan-badan perjuangan, di antaranya Jendral Oerip Soemohardjo juga duduk sebagai anggota.
   Pada saat itu hampir semua partai mempunyai pasukan bersenjata yang disebut lasykar, dengan beda pemahaman tentang hasil Perundingan Linggarjati, maka akan membuat pasukan bersenjata yang ada menjadi tidak bersatu. 
Menjelang Perubahan TRI Menjadi TNI

   Agar beda pemahaman tidak semakin meruncing maka panitia yang terbentuk harus segera melaksanakan tugas dalam waktu sesingkat-singkatnya mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan lasykar-lasykar menjadi satu organisasi tentara.
   Hasilnya pada tanggal 3 Juni 1947 keluarlah Penetapan Presiden tentang satu organisasi ketentaraan yang bernama Tentara Nasional Indonesia. Tidak ada lagi TRI, tidak ada lagi lasykar. Seluruh pasukan bersenjata namanya Tentara Nasional Indonesia. TNI adalah satu-satunya wadah bagi semua pejuang bersenjata. Pucuk pimpinan TNI adalah Panglima Besar Jendral Soedirman.
   Baru dua bulan TNI terbentuk Belanda segera mengujinya. Pelaksanaan hasil perundingan yang berjalan tidak mulus dianggap kesempatan Belanda untuk menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Perjanjian Linggarjati. Gubernur Jendral H.J. van Mook menyatakan hal tersebut pada tanggal 20 Juli 1947.   Belanda menggempur Indonesia, serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I yang berlangsung dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.

Agresi Militer Belanda

   Agresi Militer Belanda I dengan sandi “Operatie Product”, Operasi Produk adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Aksi Polisionil adalah gerakan yang bermaksud memulihkan keamanan namun sebenarnya adalah aksi militer Belanda terhadap Indonesia tanpa pernyataan perang yang resmi. Dari sudut pandang Republik Indonesia, jelas operasi ini pelanggaran terhadap hasil Perundingan Linggarjati.

 

Peta Aksi Militer Belanda I, 21 Juli 1947
di Daerah Eks. Kar. Pekalongan dan Banyumas

   Malam menjelang tanggal 21 Juli 1947 Belanda mulai melakukan serangan terhadap seluruh front pertahanan RI. Tiga bulan Belanda menyusun kekuatan dan menyusun taktik serangan yang menurutnya akan berhasil dengan gemilang. 
   Belanda dengan kekuatan penuh dari Jawa barat ingin menerobos ke seluruh front pertahanan Indonesia. Tujuan utamanya adalah ke Yogyakarta. 
   Tentara Belanda dari Divisi Panser yang berada di Tegal pun bermaksud ke Yogyakarta melalui jalan raya Tegal, Bumiayu, Purwokerto terus Yogyakarta. Namun sesampainya di Prupuk Belanda berhenti. Mata-mata Belanda mendapat informasi, bahwa pertahanan TNI dari Divisi V Purwokerto cukup kuat. Divisi V adalah anak buah Jendral Soedirman.
   Untuk menghindari perlawanan dari Divisi V Purwokerto itu Belanda menggunakan jalan alternatif kedua yaitu melalui jalur Purbalingga. Kebetulan dari mata-mata Belanda dapat diketahui bahwa Batalyon TNI di Purbalingga pimpinan Mayor Marsidan sedang kosong. Pasukannya sedang mendapat tugas membantu pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat.
   Pasukan Belanda yang menggunakan panser, mobil dan motor mengambil jalan melalui Slawi, Lebaksiu, terus ke jalan simpang Desa Tuel. Dari Tuel pasukan Belanda menuju ke arah timur yaitu ke Belik, Karangreja sampai akhirnya berhasil menduduki Bobotsari.

Bobotsari – Purbalingga

   Kedatangan Belanda yang akan ke Purbalingga ternyata sudah diketahui oleh mata-mata TNI dan menyampaikannnya kepada rakyat sepanjang jalan. Maka malam sebelum Belanda lewat rakyat secara beramai-ramai membuat barikade (rintangan) dengan menebangi pepohonan yang berada di tepi jalan raya. Rintangan tersebut ternyata tak berarti bagi Belanda maka pada hari Kamis, 31 Juli 1947, tanggal 12 Ramadhan 1336 H, sebagian pasukan Belanda dari Bobotsari berhasil memasuki Kota Purbalingga. Dapat dikatakan bahwa masuknya Belanda ke kota Purbalingga tidak mendapat perlawanan yang berarti, karena jauh-jauh sebelumnya tidak ada informasi dan perhitungan matang bahwa Belanda akan masuk ke Purbalingga.
   Purbalingga dalam keadaan gawat karena dapat diduduki Belanda. Situasi keamanan di Purbalingga akan semakin genting, maka Panglima Divisi V Purwokerto memerintahkan Batalyon Purbalingga yang sedang tugas di Jawa Barat untuk ditarik kembali membantu keamanan di Purbalingga. 
   Batalyon Cilacap dibawah pimpinan Kapten Wongsoatmodjo dan salah satu Komando Kompinya adalah Kapten Hardojo, yang seharusnya dikirim ke Belik guna menghadang dan mengadakan perlawanan/ pencegatan untuk memperlambat gerakan Belanda ternyata kalah cepat dengan laju Belanda yang menggunakan kendaraan bermesin.
   Karena hal tersebut kini Resimen Cilacap diminta bantuannya untuk menghadapi Pasukan Belanda di Purbalingga. Berangkatlah satu kompi Resimen Cilacap di bawah Komandan Kompi Kapten Hardojo. Untuk diketahui Kapten Hardojo adalah pejuang dari Purbalingga, salah seorang putra dari Raden Sastro Sumarto, Kepala Sekolah Rakyat di Purbalingga, yang berjuang di luar Purbalingga.

Pertempuran di Blater

   Pasukan Hardojo datang ke Purbalingga dengan menggunakan kereta api. Ketika pasukan Hardojo sampai di Jompo, ternyata Belanda sudah berhasil menduduki Purbalingga dan sekarang sedang dalam gerakan menuju Purwokerto dengan berkendaraan panser, mobil dan motor sampai di Desa Sidakangen, sekitar Sungai Ponggawa.

 

   Kereta api segera dihentikan di sekitar Sungai Jompo. Para pejuang berhamburan turun seiring komando dari Kapten Hardojo yang segera mengatur siasat spontan, gelathik neba, tiap pejuang mencari posisi masing-masing yang strategis untuk menembak musuh. Tak ada kesempatan berstrategi yang lebih mapan.
   Di Desa Jompo inilah kedua pasukan bertemu dan memulai kontak senjata. Pertempuran sengit antara TNI yang datang dengan kereta api, dengan senjata terbatas, sedangkan Belanda datang dengan kendaraan panser, dan mobil yang membawa persenjataan lebih lengkap.
    Pertempuran yang di mulai di Desa Jompo ini meluas sampai ke Desa Blater. Medan pertempuran dengan kontur tanah yang lapang, datar dan tidak banyak tempat untuk berlindung sangat menyulitkan bagi pejuang Indonesia. 
   Pertempuran sengit terjadi sehari penuh dan kedua belah pihak mengalami banyak korban. Kemampuan perang gerilya yang biasa dilakukan dengan hasil gemilang kali ini tidak mungkin dilakukan karena kontak senjata dilakukan secara mendadak.
   Tempat berlindung hanya ada di sebelah barat jalan, berupa tebing-tebing pendek dan gerumbul pepohonan. Para pejuang pun berusaha untuk menyerang Belanda dari barat jalan sambil berlindung di balik tebing-tebing dan pohon tersebut. Sebagian sempat menyusup lebih ke utara, menyeberang parit Geting, lalu sungai Ponggawa dan berlindung di parit yang cukup dalam di utara sungai Ponggawa. Menyerang Belanda dari belakang lalu lari mengendap ke arah barat.
   Persenjataan Belanda tentu saja lebih kuat, di samping menggunakan senapan, Belanda juga menggunakan panser. Keberanian jiwa pejuang dipertaruhkan saat itu. Hidup atau mati. Dari pada hidup dijajah lebih baik mati berkalang tanah!
   Sekali merdeka tetap merdeka! Gugur di bulan Ramadhan menjadi salah satu yang menjadi penyemangat bertempur. Allahu Akbar! Mau tidak mau Kapten Hardojo harus melindungi anak buahnya. Korban sudah bergeletakan. 
   “Jikapun tidak menang kali ini, minimal semua yang masih selamat tetap hidup untuk berjuang di lain waktu” pikiran yang melintas di benak Kapten Hardojo. Perang frontal, perang puputan, telah menjadikan puluhan anak buahnya gugur sebagai kusuma bangsa. Perang perlu pengorbanan namun pengorbanan juga perlu perhitungan. “Taktik perang harus diubah!” kesimpulannya. Perlahan namun pasti. Kode dan perintah perubahan taktik serangan pun diubah.
   Menjelang sore taktik yang digunakan adalah seperti perang gerilya. Serang dan lari. Tembak dan berlindung! Tembak dan menghilang. Pasukan Handojo tidak berani lagi perang berhadap-hadapan, tak berani lagi perang secara frontal. Saat kalah medan, kalah senjata perang frontal tentu akan memakan banyak korban di pihak pasukannya, pasukan TNI. 
   Setelah matahari terbenam, Kapten Hardojo memerintahkan pasukannya untuk sementara menghindar guna menyusun kekuatan kembali. Pasukan Hardojo menuju ke arah barat, berlindung di gerumbul Dukuh Karangso. Semua menyadari bahwa keadaan medan tidak menguntungkan fihak TNI sehingga korban yang diderita TNI tidak sedikit. Belum terhitung rakyatnya yang mau tidak mau ada yang ikut menjadi korban karena desanya menjadi medan pertempuran. 
   Adalah Pak Muchammad alias Achmad warga Desa Sidakangen menjadi salah satu pahlawan yang gugur di pertempuran Blater. Sebenarnya ia sempat meloloskan diri dari sergapan Belanda, namun karena rentetan peluru yang ditembakkan Belanda secara acak dan membabi buta satu diantaranya membuat Pak Muchamad sempat terluka. Pak Achmad berlari masuk perkampungan Sidakangen, masuk ke sebuah rumah dan bersempunyi di kolong dipan. Ternyata ceceran darahnya memberi petunjuk bagi tentara Belanda untuk melacak keberadaannya. Tanpa ampun Belanda memberondong kolong dipan dimana Pak Muchamad bersembunyi. Tragis! Allahu Akbar! Pak Muchamad menghadap Allah SWT di bulan ramadhon, sebagai kusuma bangsa dengan luka yang sangat mengenaskan.
   Dan ternyata di pihak TNI dan laskar pejuang telah gugur sebanyak 28 orang. Jenazah mereka ada yang dikubur di tepi jalan, di Desa Blater, Kecamatan Kalimanah. Ada pula yang dimakamkan di pekuburan Blater dan Sidakangen.

Toegoe Joeang Blater

   Dan pada tahun 1960 di sekitar kubur para pejuang ini didirikan sebuah monumen, sebuah tugu untuk mengenang kepahlawanan mereka, Toegoe Joeang Blater. Namun secara berangsur, kerangka para pahlawan itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Purbosaroyo, Kalikabong.

 

   Sejarah telah mencatat, bahwa di Desa Blater pernah menjadi ajang pertempuran yang dahsyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Desa Blater telah menjadi sebuah saksi bisu tentang perjuangan para pejuang ketika menghadapi serangan dari para penjajah.
   Pertempuran di Blater pun menjadi salah satu episode dari rangkaian cerita Sejarah Korem 071 Wijayakusuma. Seluruh pejuang yang bersenjata saat itu adalah anggota TNI yang pada akhirnya anggota TNI di Wilayah Eks. Karsidenan Pekalongan dan Banyumas dipersatukan dalam satu STC (Sub Territorium Comando) yaitu Komando Resort Militer 071 Wijayakusuma.
   Semoga bermanfaat!
 
 

 

One Reply to “Pertempuran di Blater”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *