Sepintas cerita tentang Penumpasan Rakyat Slinga Oleh Amangkurat II. Cerita ini disusun berdasarkan informasi yang tertulis di Babad Trunajaya – Surapati.
.
Dulu sekali, sekitar tahun 1964, nenek saya bercerita bahwa di wilayah dukuh Mesir, wilayah Desa Onje, pernah terjadi peperangan besar.
Perang siapa melawan siapa, saya tidak ingat. Yang pasti peperangan itu, ceritanya, para prajurit naik kuda dan membawa tombak. Bahkan, konon, jika pergi ke Dukuh Mesir dimungkinkan akan menemukan bekas-bekas peperangan, semacam tapak-tapak kaki kuda, asesoris kuda, dan asesoris pakaian para prajurit yang tentu banyak berjatuhan.
Ketika belajar sejarah, saya kesulitan untuk menemukan kisah pertempuran yang terjadi di Dukuh Mesir tersebut. Siapa melawan siapa?
Mungkinkah pertempuran Prajurit Diponegoro melawan Pasukan Banyumas yang dibantu oleh prajurit Purbalingga? Bukan, karena nenek tidak menyebut-nyebut Pangeran Diponegoro. Jika menyebutnya, pertempurannya tidak di Mesir tapi di Wilayah Kaligondang.
Mungkinkah Kadipaten Onje terlibat pertempuran? Tidak juga! Karena nenek saya jika bercerita tentang Kadipaten Onje, terbatas pada perilaku putra-putra Onje yang menjadikan adanya pamali di Desa Mangunegara dan Citrakusuma.
Ada cerita tentang Kadipaten Mesir yang penguasanya bernama Raja Namrud, namun dalam cerita tersebut Raja Namrud ternyata tidak jadi, batal, atau mengurungkan niatnya untuk berani melawan Kerajaan Mataram.
Lalu, siapa yang bertempur di Dukuh Mesir, di wilayah Desa Onje?
Dan ketika membaca dan mencermati Babad Trunajaya – Surapati barulah saya merasa menemukan jawabannya. Barangkali inilah pertempuran yang dulu telah diceritakan oleh nenek saya. Pertempuran di Dukuh Mesir. Pertempuran antara Raja Namrud dari Kadipaten Slinga melawan Amangkurat II dari Kerajaan Mataram-Kartasura.
Namun, dari yang tersurat dan tersirat di Babad Trunajaya – Surapati ini terdapat hal yang sangat memprihatinkan. Yaitu terjadi genosida. Pemusnahan generasi. Pemusnahan massal yang telah diperintahkan oleh Amangkurat II kepada Pangeran Puger. Dengan demikian ternyata genosida telah terjadi di wilayah Purbalingga. Tepatnya terjadi di Kadipaten Slinga!
Mari kita simak bersama, isi puisi baku Sastra Jawa, dalam bentuk Tembang Mijil bait 28 sampai dengan bait 30, dari Babad Trunajaya – Surapati
Titah Penumpasan Laki-laki di Kadipaten Slinga
28
Ingkang rayi nuhun awotsari
Tan lenggana katong
Ya ta gantya kang ing ucap mangko
Sagung para bopati pasisir
Sakilen cumawis
Wus kinen anglurug.
29.
Mring Salinga sagung pradipati
Sing kutha wus bodhol
Adipati Tegal tetindhihe
Ki Tumenggung Mangkuyuda nenggih
Lan Natayudari
Suranggakara nung.
30.
Timbalan dalem yen menang jurit
“Yen si Namrud asor
Anak putune den tumpes kabeh
Ing kang metu lanang jana kari
Kang padha pawestri
Den boyonga iku”.
Terjemahan Bebas
28
Sang adik (Pangeran Puger) mengucapkan terimakasih, dan berkata sedia kembali kepada nama aslinya. Katanya selanjutnya: “Kini ada hal lain, yang ingin hamba bicarakan dengan kakanda (Amangkurat II). Bahwa para bupati pesisir di sebelah barat, sekarang telah disiapkan untuk menyerang.”
29.
Para Adipati itu segera menyerang Kadipaten Salinga, bahkan kini mereka sudah mulai bergerak. Pasukan penyerang ini dipimpin oleh Adipati Tegal, yang bernama Ki Tumenggung Mangkuyuda, bersama dengan Natayuda, yaitu adiknya Adipati Suranggakara.
30.
Maka titah Sang Raja Amangkurat II agak keras: “Bila si Namrud kalah perang, maka anak cucunya agar ditumpas semuanya. Semua yang laki-laki, tumpas, jangan ada yang ketinggalan. Dan yang perempuan, semuanya harus diboyong, dibawa ke Kartasura.”
====
Pertempuran dan Pembasmian Massal
Jalannya pertempuran antara Kadipaten Slinga melawan prajurit Mataram –Kartasura yang dibantu pasukan Belanda, diceritakan dalam tembang Dhandhanggula sebagai berikut
1.
Pra dipatya aneteg tengari
Pan sumahab sagung wadyabala
Wong Selinga akekenjer
Raja Namrud akumpul
Lan Pangeran Pamenang singgih
Pra samya mapag yuda
Ramya denya campuh
Metokaken pangabaran
Raja Namrud pangabarane wus dadi
Pan wus karsang Pangeran.
2.
Wadyanira akathah kang mati
Tutumpesan Namrud balanira
Tan ana tawa mimise
Wus dhadhal barisipun
Pra dipatya pra samya ngucir
Raja Namrud kacandhak
Rinampog wus lampus
Sira Pangeran Pamenang
Wus kacekel samana den barondongi
Ing sagung pradipatya.
3.
Mapan sira tinumpesan sami
Nadyan bocah yen lanang pinatyan
Wadon binoyongan bae
Sagung prawira rempug
Budhal saking Salinga aglis
Angering beboyongan
Tan kawarneng ngenun
Prapta nagri Kartasura
Pan Pangeran Pamenang wus den sedani
Linawe Kamendhungan.
===
Terjemahan Bebas
1.
Para adipati memberi tanda menyerangan, semua wadya bala bergerak maju. Orang Salinga bertahan sekuat-kuatnya. Raja Namrud dengan Pangeran Pamenang, keduanya berbarengan maju perang. Peperangan berlangsung sangat hebat, semuanya berusaha memperlihatkan keberanian serta ketangkasannya. Raja Namrud pun demikian pula. Namun segala-galanya itu telah menjadi kehendak Tuhan.
2.
Wadya bala Raja Namrud banyak yang tewas, hampir seluruhnya telah ditumpas oleh lawannya. Senjata beserta peluru lawan tak tertahankan, semua barisan telah rusak dibobol oleh lawan. Para adipati pembantu Raja namrud, lari bertunggang-langgang. Raja Namrud pun akhirnya tertangkap juga. Dihujani senjata hingga tewas. Dan Pangeran Pamenang pun telah pula tertangkap, kemudian dihujani senjata oleh para adipati dari Kerajaan Kartasura.
3.
Semuanya telah ditumpas bersih. Walaupun masih anak, kalau lelaki semuanya dibunuh. Kalau perempuan dikumpulkan untuk dibawa, diboyong ke Kartasura. Seusai peperangan, semua perwira dititah untuk segera berangkat dari Salinga kembali ke kartasura. Kembali dengan membawa rampasan dan mengiringkan para perempuan yang diboyong. Perjalanan mereka tidak diceritakan. Kini mereka telah tiba kembali di Kartasura. Pangeran Pamenang pun akhirnya telah mati dibunuh, dan tak ketinggalan pula Adipati Kamandungan juga dibunuh.
Literasi dari Belanda
Dan ternyata keberadaan Kadipaten Slinga ini terdokumentasi secara jelas, ada di catatan milik Negara Belanda. Bahkan gambar peta Benteng Mesir, sebagai benteng pertahanan Kadipaten Slinga, terpeta jelas, ada di sebelah utara Sungai Klawing. Tertera juga ada nama Banawati sebagai dukuh yang berseberangan dengan Dukuh Mesir.
Demikianlah sepintas, sebagai catatan sejarah keberadaan Kadipaten Slinga, dengan kisah tragisnya, adanya genosida yang dilakukan oleh prajurit Kartasura atas perintah Amangkurat II, raja Kerajaan Mataram.
Baiklah! Kiranya tidak perlu dendam terhadap perilaku orang-orang Kartasura, karena semua terjadi di masa lalu, bagian dari sejarah perilaku manusia. Kekejian, kekejaman, keculasan, keadilan dan kedamaian dapat terjadi dimana-mana, termasuk di bumi Slinga dan Kartasura.
Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai pengetahuan.
Salam
.
Toto Endargo
.