Sedikit kisah perjuangan Soedirman bekas Daidanco PETA di Kroya. Pembentukan BKR dan kisah perampasan dan pembagian senjata di daerah Banyumas. Bagian dari epos perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Merdeka
Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 menjadi trigger semangat yang semakin hebat, perjuangan membela Tanah Air Nusantara. Negara yang lebih dikenal dengan nama Republik Indonesia.
Pembubaran PETA
Pada saat-saat yang kritis, sekitar tanggal 15 – 20 Agustus 1945, Jepang telah mengambil keputusan untuk membubarkan PETA dan Heiho. Mereka takut kalau PETA dan Heiho itu malah berbalik memberontak terhadap Jepang.
Sebagai akibat tindakan ini maka PETA di daerah Banyumas dibubarkan. Terkecuali Daidan (Batalion) yang bermarkas di Kroya. Daidan inilah satu-satunya yang tidak mau dibubarkan.
Menunggu Komandan
Anggota Batalion Tiga (Dai San Daidan) hanya patuh dan taat kepada pimpinannya. Hanya patuh pada Daidanco Soedirman. Padahal pada saat itu, Daidanco Soedirman bersama rekan-rekan PETA lainnya sedang dikumpulkan di Bogor, beberapa saat sebelum proklamasi 17 Agustus 1945.
Seluruh senjata dan alat perang lainnya, dari bekas PETA yang berhasil dibubarkan, ditimbun dan disimpan dalam gudang senjata di Markas Kido Butai Purwokerto. Gudang dijaga oleh polisi Bangsa Indonesia.
Pesan Soedirman
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Soedirman kembali dari Bogor. Anak buahnja di Kesatriyan PETA, di Kroya, disarankan untuk kembali ke kampung masing-masing. Uang pesangon sebanyak enam bulan gaji yang diterima Soedirman di Bogor, dibagi rata untuk anak buahnya.
Pesan Soedirman yang harus diperhatikan adalah “agar sewaktu-waktu apabila dipanggil dan dibutuhkan, mereka harus segera kembali untuk membaktikan diri dalam tugas terhadap tanah air”.
Pesan Soedirman ini ternyata sangat besar manfaatnya. Dengan pesan tersebut Soedirman sudah tidak akan ragu lagi, bahwa akan segera memanggil mereka, memerlukan mereka, dalam menunaikan tugas besar selanjutnya. Menegakkan dan mengisi Proklamasi 17 – Agustus – 1945.
Maklumat Pemerintah
Pada tanggal 22 Agustus 1945, pemerintah mengumumkan, maklumat, untuk membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan KNI (Komite Nasional Indonesia). Hasil Keputusan Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal tersebut.
Tugas BKR adalah; memelihara keamanan rakyat dan mengamankan posisi-posisi strategis milik negara. Tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumumkan maklumat tersebut.
KNI dan BKR
Daerah Banyumas pun segera membentuk KNI sebagai embrio keberadaan lembaga legislatif.
Sebagai Ketua KNI daerah Banyumas, dipilih Mr. Iskak Tjokro Hadisoerjo, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen Banyumas.
Membentuk BKR di tingkat Karesidenan dan di tingkat Kabupaten. Ketua BKR dipilihlah Soedirman bekas Daidanco PETA di Kroya.
Selengkapnya sebagai berikut:
– BKR di tingkat Karesidenan Banyumas: Soedirman, Gatot Soebroto, dan Soetirto,
Kabupaten: Banyumas: Imam Hadrongi;. Cilacap: Soenardi,. Purbalingga: Brotosiswojo, Banjarnegara: Moch. Bachroen, dan Soeprapto.
Tugas Sipil dan Militer
Pada kenyataannya, selain tugas menjaga keamanan, BKR juga berperan sebagai penggerak perjuangan, baik di bidang sipil maupun di bidang militer.
– Dalam bidang sipil harus mengadakan pengambilalihan pemerintahan sipil dari tangan Jepang.
– Dalam bidang militer harus melakukan perebutan senjata, mesiu dan peralatan perang lainnya.
Rapat Enam Hari
Soedirman adalah nama yang memegang peranan dan menjadi tokoh utama di wilayah Banyumas- Purwokerto pada waktu itu.
Pada tanggal 1 September 1945, Soedirman memanggil semua bekas opsir PETA dari seluruh Karesidenan Banyumas untuk mengadakan rapat di Gedung Yosodarmo, Purwokerto.
Hadir dalam rapat tersebut 60 (enam puluh) bekas opsir PETA, para tokoh partai, wakil organisasi pemuda dan para penjabat tinggi setempat. Salah satu di antaranya adalah Wakil Residen Banyumas, Mr. Iskak Tjokro Hadisoerjo.
Rapat berjalan secara maraton selama enam hari. Akhirnya rapat mengambil keputusan sebagai berikut:
1. Orang-orang Jepang yang berada di luar Purwokerto dikumpulkan menjadi satu.
2. Mengumpulkan semua senjata, baik yang berasal dari PETA maupun yang masih di miliki oleh Tentara Jepang.
3. Mengirimkan delegasi untuk mengadakan perundingan dengan pucuk pimpinan Tentara Jepang Tasake.
Markas Kido Butai
Tiga hari kemudian, yaitu pada tanggal 9 September 1945, dikirim delegasi kepada pucuk pimpinan tentara Jepang Tasake dan Syucokan (Residen) Iwasige untuk mengadakan perundingan di Markas Kido Butai (Markas Mobilisasi Tentara Jepang)
Delegasi dipimpin oleh Soedirman dengan para anggautanya: Iskak Tjokro Hadisoerjo, Soetirto dan wakil golongan pemuda. Pada saat itu gedung Markas Kido Butai, sudah dijaga oleh pemuda-pemuda Indonesia dengan bersenjatakan; bambu runcing, golok, pedang dll.
Jepang Culas
Perundingan berjalan dengan sangat serius. Dan pada saat hangat-hangatnya berunding, terlihatlah lima orang tentara Jepang menyelinap keluar dari ruang perundingan, dan terus menuju ke gudang senjata.
Pemuda penjaga yang melihat mereka, segera melakukan pencegatan. Dan setelah digeledah, ternyata tentara Jepang tersebut membawa bahan peledak. Untuk apa?
Tanpa ragu-ragu lagi, kelima tentara Jepang itu dipastikan, akan bermaksud tidak baik. Dan ternyata pula, benar, mereka akan meledakkan gudang Markas Kido Butai, tempat senjata-senjata dan amunisi ditimbun.
Kemarahan Pemuda
Peristiwa itu menimbulkan amarah pemuda dan rakyat yang sedang menjaga perundingan. Semangat juang mereka seperti terbakar. Marah tidak terkendali, pada saat itu juga, kelima tentara Jepang penyelinap itu, dibunuh dan sekalian dikubur di tempat itu.
Kemarahan pemuda yang dibakar oleh dendam untuk “Merdeka”, ternyata menambah kemantapan dan kebesaran moril dari delegasi pihak Soedirman, dan sebaliknya menjadikan merosotnya moril pihak delegasi Jepang.
Melihat dan menyaksikan sendiri semangat “Merdeka” dari para pemuda dan rakyat Indonesia itu, maka akhirnya Jepang menyerah, bertekuk lutut dengan menyerahkan segala peralatan perang yang ada
Penyerahan Senjata
Senjata-senjata dan alat perang diserahkan kepada polisi. Keamanan pada saat penyerahan senjata dan alat perang, dipimpin oleh Gatot Soebroto bekas Daidanco (Komandan Batalion) di Banyumas.
Orang-orang Jepang, baik bekas sipil maupun bekas militer, dikumpulkan di bekas Kesatriyan PETA Banyumas. Disamping itu, dikumpulkan juga 400 orang Jepang yang berasal dari wilayah Pekalongan, Tegal dan Yogyakarta.
Senjata Rampasan
Senjata hasil rampasan dan penyerahan dari Jepang di Purwokerto itu, cukup untuk enam Batalion. Pembagian senjata dipertanggung jawabkan kepada dua orang bekas opsir PETA, Pudjisumarto dan S. Taram.
Selebihnya dibagikan kepada BKR serta perorangan yang dianggap perlu. Menyadari bahwa senjata-senjata itu tidak hanya dari daerah Banyumas maka diambil kebijaksanaan oleh Sudirman, senjata diberikan kepada daerah asalnya seperti Pekalongan Tegal dan Yogyakarta
Kebijakan Soedirman
Peristiwa perebutan senjata dari tangan Jepang tanpa membawa korban, kecuali lima orang Jepang yang culas itu, menunjukkan hasil usaha yang cerdas dan kebijaksanaan yang terpuji dari Soedirman.
Pembagian senjata untuk beberapa batalyon dan wilayah lain, juga menunjukkan betapa bijaknya Soedirman dalam bersikap, adil dan berwawasan luas. Soedirman tidak hanya memfasilitasi daerahnya sendiri, akan tetapi sudah berwawasan regional bahkan nasional.
Sebab dengan bekal senjata-senjata hasil penyerahan Jepang itu, maka para patriot bangsa menunaikan tugas-tugas besar selanjutnya lebih percaya diri, karena senjata-senjata utamanya tidak hanya bambu runcing, golok dan keris dll. Kini memiliki senjata yang lebih teruji.
===
Demikianlah sedikit kisah perjuangan Soedirman bekas Daidanco PETA (Komandan Batalion PEmbela Tanah Air) di Kroya. Pembentukan BKR dan kisah perampasan dan pembagian senjata di daerah Banyumas, bagian dari epos perjuangannya.
Peristiwa yang terceritakan di atas merupakan wujud dari sikap bijaksana dan jiwa patriotisme, heroisme dari Soedirman dan para pejuang Banyumas dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
.
Semoga bermanfaat
Salam
.
Toto Endargo
.