Di sekitar Pundhen Jatiragas, Onje, Purbalingga, ada sebuah kebun pohon duku, di samping pohon duku (dukuh) ada tiga pohon langsat (langseb).
Suatu hari ketika buah langsat sudah masanya dipetik, adik seorang tukang tebas buah, menawarkan buah langsat tersebut, dengan harapan kakaknya berminat untuk membeli, memetik dan kemudian menjajakannya di suatu tempat.
“Kang, kae ana woh langseb, gelem nebas apa ora?”
“Ya jajal, tek tiliki dhimin, wis mateng apa ora, akeh apa semendhing!”
“Kayane sie wis padha mateng. Ana telung wit, madan bonthe koh!”
Adiknya memberi tahu bahwa pohon langsat sudah banyak yang masak di pohon, dan buahnya cukup lebat.
Sang kakak berkenan untuk membeli, sekaligus memetiknya, mau atau tidak!
Sayangnya, kakaknya yang akan nebas, membeli borongan, itu belum tahu dimana keberadaan pohon langsat yang ditawarkannya itu.
Sehingga kakaknya minta tolong kepada adiknya untuk menunjukkan keberadaan pohon langsat yang akan diunduhnya itu berada.
Sang adik pun mengiyakan, namun karena sedang mengerjakan sesuatu, sehingga diminta agar kakaknya berangkat lebih dahulu memasuki wilayah kebun duku tempat pohon langsat, dimaksud itu berada.
“Kang, sekang dalan desa lurus bae, ngulon, angger ana gubug, menggok nengen. Kuwe neng kono wit langsebe. Genah, keton njelag banget!”
Petunjuknya jelas sekali. Dari jalan desa, lurus ke barat, jika ada gubuk, belok ke kanan.
Disitulah pohon langsat berada. Jelas, dan tampak menonjol sekali!”
Dengan petunjuk yang jelas itu, kakaknya mengiyakan dan segera berangkat sendirian.
Dari jalan desa dia harus memasuki wilayah kebun sekitar 50 meter, berjalan lurus ke barat.
Dan ternyata di dalam pandangannya, di saat berjalan ke arah barat itu, adiknya ternyata sudah berada didepannya sekitar 20 meter.
Maka dengan mantapnya, diikutilah langkah sang adik yang berada di depannya itu.
Bahkan ketika adiknya sudah melewati gubuk, dan tidak belok ke kanan, tanpa ragu tetap dengan mantap diikutinya juga.
Sementara, seketika sang adik ingat, akan wingitnya wilayah Jatiragas, sekitika pula sang adik seperti tersentak.
Tidak tega untuk melepas kakaknya mencari pohon langsat sendirian, segera sang adik bergegas beralari ke kebun duku.
Benar, sampai di jalan desa adiknya keheranan melihat kakaknya sudah melewati gubuk, tapi tetap berjalan lurus ke barat, tidak belok ke kanan.
Segera saja sang adik berteriak memanggil kakaknya.
“Kang mandeg, kang! Kang, mandeg!” teriak sang adik dari belakang dengan cemas.
Serentak sang kakak seperti disadarkan, begitu mendengar teriakan adiknya dari belakangnya
Dan dalam hati segera, ber-istighfar, mohon ampun.
“Astagfirullah! Astaghfirullah, terus sing neng ngarepku mau sapa?”
Adiknya segera menegur
“Kang deneng rika ora mengggok nengen. Nyong mbok wis ngomong, angger ana gubug menggok nengen!”
“Lah jen! Miki aku ngetutna qo, koh!” jawab kakaknya
“Hah..!” adiknya terperangah.
“Seweruhku, qo neng ngarepku! Aku ya ngetutna mlakune qo!” jawab kakaknya.
Segera sang adik paham, inilah bukti wingitnya wilayah Jatiragas.
Sang adik pun segera berucap untuk minta maaf kepada penghuni setempat.
“Yang, kula kalih kakange nyuwun ngapunten, nggih, Yang!
Lalu dipandangnya sang kakak.
“Rika, mlebu ngeneh mesti ora kulanuwun!” tebak sang adik atas perilaku kakaknya.
Sang kakak menganggukkan kepala, namun di batin dia juga mengucap minta maaf kepada penghuni Jatiragas, yang umum disebutnya sebagai Eyang Jatiragas.
Begitulah salah satu cerita mistis di wilayah Jatiragas.
Dan yang luar biasa adalah, peristiwa ini terjadi ketika langit terang benderang, sekitar pukul 14.30.
Artinya walaupun di siang hari bolong, di tahun 2023, bisa saja berlangsung peristiwa “langka” semacam ini.
Hal maksud awal untuk melihat buah langsat pun, dengan mengucap, kulanuwun dan pamit kepada Eyang Jatiragas saat itu dapat terlaksana dengan aman.
Sesuatu yang tidak tampak, tapi ada saatnya, yang tampak justru peristiwa aneh.
Barangkali inilah salah satu hal yang dapat disebut sebagai hal yang; aneh tapi nyata.
Demikianlah sebuah cerita dalam bingkai tutur cinatur, tentang wingitnya wilayah Pundhen Jatiragas.
Cerita ini dipungut dari cerita masyarakat setempat, diceritakan kembali agar yang belum tahu, berkenan untuk menjadi tahu, dengan tanpa harus meyakininya.
.
Semoga bermanfaat
Salam
Toto Endargo
.