Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”,
BAB III
DAERAH KARESIDENAN BANYUMAS DISERANG DAN
KOTA KOTANYA DIDUDUKI OLEH TENTARA BELANDA.
Laporan Kurir
Menurut laporan kurir yang dikirim oleh komandan TNI ke daerah daeralı perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menerangkan bahwa tentara Belanda setelah menduduki kota Cirebon, maka terus bergerak ke timur dan selatan, menyerang kota-kota di daerah Karesidenan Pekalongan.
Dengan demikian Daerah Karesidenan Banyumas tidak akan luput dari serangan Belanda. Maka seluruh kekuatan yang ada segera disiap-siagakan, baik kekuatan militer maupun rakyat.
Di desa-desa para pemuda dilatih, digembleng secara terus menerus dalam taktik dasar perang, diadakan pos-pos penjagaan, pembuatan lubang-lubang perlindungan di setiap pekarangan rumah-rumah penduduk.
Perang Urat Syaraf.
Sebelum menyerang langsung daerah Karesidenan Banyumas. Belanda rupa-rupanya mengadakan perang urat syaraf, untuk menurunkan mental prajurit-prajurit kita serta untuk membuat rakyat menjadi panik dan ketakutan.
Ini ternyata dari serangan terhadap pertahanan di pantai Nusakambangan/Cilacap oleh kapal perang Belanda, dan sebuah pesawat terbang dapat dihancurkan oleh meriam-meriam tentara kita, walaupun akhirnya pertahanan kita dapat dilumpuhkan oleh pesawat terbang Belanda
Selain itu di daerah perbatasan Kabupaten Purbalingga dan Banyumas tepatnya di desa Banjarsari Kidul Kecamatan Sokaraja, dan Desa Mejingklak Kecamatan Kemangkon, pada hari Selasa Kliwon tanggal 23 Juli 1947 sekitar jam 15.00 WIB juga dijatuhi beberapa buah bom oleh pesawat terbang (bomber) Belanda, sehingga rakyat di daerah sekitarnya memang menjadi panik.
Situasi semakin menjadi mencekam, karena pihak Belanda melalui kaki tangan dan mata-matanya sengaja menyebarkan berita-berita atau isyu-isyu yang membuat rakyat menjadi semakin takut dan panik.
HUJAN PELURU HARI KAMIS WAGE DI DESA BLATER
Di bagian terdahulu telah saya jelaskan, bahwa kekuatan inti dari TNI kita di daerah Karesidenan Banyumas ada tiga Batalyon. Dua Batalyon diperintahkan untuk bertahan di jalur barat, yaitu di perbatasan Banyumas Pekalongan (daerah Bumiayu). Sedangkan Baliyon IV Cilacap dipersiapkan untuk bertahan di jalur timur, yaitu di daerah perbatasan kabupaten Pemalang – Kabupaten Purbalingga
Untuk terjadinya pertempuran khususnya di desa Blater, akan saya kısahkan agak lebih terinci sebagai berikut:
- Perintah Mayor Wongsoatmodjo
Pada hari Rabu pon tanggal 30 Juli 1947, kira-kira jam 18:00 komandan Bataliyon Cilacap Bapak Mayor Wongsoatmodjo memberi perintah kepada Komandan Kompi Bapak Hardojo (H) dan Komandan Kompi Bapak Idris (I), untuk berangkat bersama ke perbatasan Kabupaten Purbalingga – Kabupaten Pemalang untuk memperkuat pasukan dari Bataliyon I Purbalingga yang telah siap mengadakan pertahanan disana
Pasukan dari dua kompi itu segera berangkat dari Cilacap sekitar jam 20.00, yang dipimpin langsung oleh Danyon (Bp. Wongsoatmodjo) beserta, staf komandannya.
Pasukan itu berangkat dengan menumpang kereta api menuju ke stasiun Purbalingga lewat stasiun Purwokerto (stasiun raya) karena kesulitan bahan bakar (kayu), maka baru jam 4.00 (pagi) kereta api berangkat dari Purwokerto (Hari Kamis Wage, tgl 31 Juli 1947)
- Kereta Api Terpaksa Berhenti Di Halte Jompo
Sampai di halte Jompo, kereta api terpaksa dihentikan, karena dari tempat itu sudah terdengar rentetan bunyi senapan dan letusan granat serta senjata lainnya, yang terus menerus tak ada benti- hentinya
Saya sendiri (penulis) waktu itu bahkan mulai mendengar rentetan bunyi senapan mulai jam 3.00 waktu sahur, waktu kebetulan hari kesepuluh bulan Ramadhan) seluruh penduduk desa Blater khususnya dari sekitarnya segera bangkit dari tidurnya dan mendengarkan bunyi senapan sambil bersiap siaga.
Para ibu segera pergi ke dapur untuk memasak makanan, untuk persiapan kalau-kalau nanti siang tak ada kesempatan untuk memesak makanan, dan tentu saja hati yang berdebar-debar para pemuda berkeliling kampung untuk membangunkan penduduk yang mungkin masih enak-erak tidur, sambil memerintahkan untuk bersiap-siap, karena menurut kabar pasukan Belanda telah memasuki daerah Purbalingga
- Mengirim Kurir.
Komandan batalyon segera memerintahkan dua orang pasukan untuk mendahului memeriksa dan mencari informasi keadaan musuh, dengan mengendarai sepeda motor kedua kurir tersebut berangkat menuju ke arah utara (ke Purbalingga)
Sementara itu seluruh pasukan diperintahkan turun dari kereta api, untuk bejalan kaki menuju ke utara dan diperintahkan untuk segera mundur ke arah selatan.
Di depan adalah tim dari Kompi H (Hardoyo), disusul oleh tim staf batalyon, kemudian diikuti oleh tim dari Kompi I (Idris), dan di belakang adalah tim peralatan (logistik).
Baru saja sampai di sebelah selatan jembatan Kali Ponggawa, tiba-tiba kurir yang dikirim kembali. Sambil naik sepeda motor, kurir tersebut hanya meneriakkan kata: “Awas, musuh sudah ada di depan”!
Ternyata tak lama kemudian dari arah utara (di desa Kalimanah Wetan) muncullah pasukan Belanda yang berkendaraan teng yang segera menembakkan senapan mesinnya dengan gencar ke arah selatan. Kebetulan pagi itu kabut sangat tebal
Dalam keadaan seperti ini tentu saja tidak ada peluang bagi tentara kita untuk menyusun strategi dan taktik dalam melakukan perlawanan. Satu- satunya cara agar tidak mati konyol adalah dengan mencoba menyelamatkan diri terlebih dahulu.
Tim H yang langsung berhadapan dengan musuh langsung memberanikan diri memasuki sungai Ponggawa (perbatasan desa Blater-Sidakangen). Konvoi Belanda di depannya dikawal kendaraan lapis baja, yang kemudian diikuti ratusan orang, truk penuh pasukan Belanda, tentara Gurka, Anjing-anjing NIKA- nya, terus menghujani peluru ke seluruh penjuru.
Pasukan Kompi I yang berada di belakang, yang tepat di lokasi jalan raya dan pesawahan (tempat terbuka) lebih berbahaya lagi, menghadapi gencarnya tembakan musuh yang sudah membabi, buta. Komandan kompi hanya dapat
memberi komando “tiaraarap”i sini perlu ditambahkan penjelasan, bahwa laras (lup) senjata yang menempel pada teng, meskipun dapat berputar dan dapat diarahkan ke bawah dan ke atas, namun mempunyai “titik sudut mati”, yaitu jika diarahkan ke bawah ada batasnya, sehingga ketika siapa yang lebih dekat dengan bertiarap dapat terhindar dari tembakan.
Di sinilah pasukan dari Kompi I sambil bertiarap terus untuk menyelamatkan diri dari tembakan senapan mesin di teng. Tetapi bagaimana pun mereka mampu bertahan dari berondongan peluru yang menghujani kepala mereka, sehingga ada sebagian pasukan yang tidak tahan dan berusaha menjauhi dari musuh dengan cara berguling ke arah timur jalan menuju persawahan yang saat itu tanaman padi sedang menguning.
Tapi seperti yang saya katakan diatas, kalau di situasi demikian, kalau jauh dari kendaraan teng malah lebih berbahaya. Kenyataannya sebagian besarnya terkena tembakan musuh yang berada lebih jauh dari kendaraan teng.
Setelah iringan kendaraan teng dan pancerwagen berlalu, baru pasukan kita ada kesempatan untuk menjauhi musuh menuju ke arah timur dan masuk ke desa Blater, yang jaraknya dan jalan raya sekitar 500 meter.
Disanalah pasukan kita berkesempatan mengatur posisi untuk mengadakan pembalasan, dengan menembakkan mitraliur dan senapan mesinnya ke arah musuh, yang kebetulan serdadu-serdadu Belanda yang berada dikendaraan truk. Dengan segala kekuatan yang ada, pasukan kita terus mengadakan perlawanan dari sebelah barat jalan raya, di sebelah utara jembatan Ponggawa yang waktu itu tempatnya rendah, lagi rimbun dengan rumpun bambu, dapat dengan leluasa dan jelas menembaki musuh dari bawah, sedangkan musuh tak dapat melihat dimana pasukan kita berada.
Pertempuran sengit berkobar dari jam 06.00 hingga siang hari bertepatan dengan hari Kamis Wage, tanggal 31 Juli 1947, atau tanggal 11 bulan Ramadlan. Pada waktu itulah peristiwa “HUJAN PELURU HARI KAMIS WAGE DI DESA BLATER” benar-benar terjadi.
Betapapun besarnya semangat juang dari pasukan TNI kita, namun karena lokasi dan kekuatan yang sangat tidak seimbang, pasukan kita terpaksa berangsur-angsur harus mundur untuk menghindari korban yang lebih banyak, sebab jika dipaksakan jelas kita sendiri yang akan merugi.
Konvoi pasukan Belanda kecuali personilnya jauh lebih banyak dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern, masih juga dikawal oleh angkatan udaranya dengan pesawat-pesawat tempur yang bercocor merah, meniup-niup, menyambar-nyambar diatasnya, yang jumlahnya cukup banyak, jelas terialu berat untuk menandinginya. Bila diteruskan kecuali pasukan kita tentu akan hancur, juga rakyat, banyak yang menjadi korban, karena Belanda tetap masuk ke daerah Banyumas
Pertempuran baru reda sekitar pukul 11.00 siang. Menurut keterangan dari Bapak Idris (bekas komandan pasukan kita waktu itu) bahwa pihak anak buahnya yang terkena sasaran peluru musuh berjumlah kurang lebih satu peleton (30 sd 40 orang). Diantara sekian banyak yang kena tembakan musuh, yang gugur ada 14 orang prajurit. Ada yang hilang tangannya, kakinya, robek perutnya dan sebagainya, yang sangat mengerikan.
Semua korban segera dimakamkan dengan bantuan penduduk desa Blater dan Sidakangen di makam Desa Blater dan Sidakangen. Sedang yang luka-luka dan masih hidup segera mendapat perawatan di rumah-rumah penduduk. Syukurlah, Alhamdulillah, walaupun waktu itu desa Blater benar-benar hujan peluru, tetapi penduduk desa tak seorangpun yang kena tembakan. Ini berkat pembinaan pada masa-masa sebelumnya khususnya tentang cara-cara menghindari tembakan musuh.
Sekarang, bagaimana pihak musuh (Belanda)? Memang kita tidak dapat tahu dengan pasti. Namun menurut perhitungan, dipihak musuhpun banyak menderita korban. Ini terutama dari pasukan kita yang sempat mengadakan perlawanan disebelah utara jembatan kali Ponggawa, dan yang dapat mengatur posisi “di kali wangan tengah”, sebelah timur jalan raya, dengan mengambil strategi di bawah jembatan kecil kali tersebut. Hanya karena musuh berada di atas kendaraan, maka setiap ada yang kena tembakan terus dapat ditolong dan dirawat di atas kendaraan.
Peristiwa pertempuran di desa Blater yang merupakan salah satu dari ribuan peristiwa serupa yang terjadi di negara kita pada masa perang kemerdekaan telah kita lalui, dan mudah-mudahan tidak terulang kembali. Sebanyak 14 prajurit TNI kita yang gugur dengan tubuh hancur akibat dihujani peluru telah tiada.
Mereka meninggalkan kita dengan senyuman untuk kembali kepada SANG PENCIPTA, setelah memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Mereka rela berkorban, tidak berharap apa-apa dan juga tidak minta dihormati, dihargai apalagi dipuja sebagai “pahlawan”. Mereka hanya berharap doa dari kita yang masih hidup agar mereka di alam baka diampuni dosa-dosanya, dan diterima di sisi-Nya.
Oleh sebab itu untuk mengingat peristiwa yang bersejarah dan heroik, kita semua harus meneruskan cita-cita yang suci dan mulia. Setelah beberapa tahun dari peristiwa itu timbulah gagasan untuk membuat “TUGU PERINGATAN” di desa Blater. Tempat dan peristiwa itu hanya kebetulan saja di desa Blater. Yaitu wilayah Kabupaten Purbalingga, yang mestinya menjadi catatan sejarah, khususnya bagi masyarakat Kabupaten Purbalingga. Tugu peringatan ini sekarang kita kenal dengan nama “TUGU JUANG”, merupakan salah satu peninggalan sejarah bagi masyarakat Purbalingga
===
Bersambung ke: MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER – CATATAN BAPAK SOEPARNO – (4)
Semoga bermanfaat
Toto Endargo