MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER – CATATAN BAPAK SOEPARNO – (2)

Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”,

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Setiap orang yang bepergian melalui jalan raya antara Purbalingga dan Purwokerto melalui Sokaraja, pasti pernah melihat bangunan tugu yang teletak di Desa Blater. Ini disebabkan bangunan tugu itu terletak di tepi jalan raya lintas  tersebut (periksa denah terlampir).

Tetapi mungkin mereka tidak tertarik sama sekali, ataupun ingin mengetahui dari dekat dan mengerti apa arti bangunan tugu itu, sebab bangunan itu kecil-kecil saja, bangunannya sangat sederhana dlan ada sementara orang yang mengatakan bahwa tugu itu dikiranya tugu batas desa. Hal ini wajar saja, karena besar dan bangun tugu itu sangat sederhana.

Tentu saja hanya mereka yang mengetahui dan mengerti latar belakang didirikannya tugu itu mengatakan walaupun tugu itu kecil dan sederhana, namun mengandung nilai sejarah perjuangan bangsa yang patriotik.

Kita sama-sama menyadari, bahwa jiwa kepahlawanan (patriotisme) jiwa rela berkorban tanpa pamrih demi kepentingan nusa dan bangsa, tidak hanya dibutuhkan pada masa perang saja tetapi pada masa pembangunan seperti sekarang ini pun sangat dibutuhkan “pahlawan pahlawan pembangunan”, demi cepat tercapainya cita-cita kemerdekaan kita yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Untuk itu perlu ditempuh berbagai cara untuk mewariskan jiwa serta semangat patriotisme kepada generasi sekarang, terutama generasi muda sebagai generasi penerus perjuangan bangsa.

Salah satu cara diantaranya, yaitu dengan mengenalkan kepada mereka tentang kisah (sejarah) para pejuang pendahulu kita yang telah rela berkorban, yang kecuali dikisahkan dalam buku-buku sejarah juga banyak yang disimpulkan dengan bangunan-bangunan monumental, seperti adanya bangunan tugu peringatan.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka tulisan ini pun bertujuan memberi pengertian (pengantar) kepada pembaca agar mampu menangkap makna yang terkandung di dalamnya bangunan tugu yang sekecil dan sederhana yang terletak di desa Blater, Kecamatan Kalimanah

Lebih dari itu, penulis yang juga penduduk desa Blater, yang kebetulan memiliki lokasi bangunan tersebut, kiranya wajar bila mempunyai harapan, setelah ada pengertian dari para pembaca umumnya, khususnya masyarakat di daerah Kabupaten Purbalingga, terlebih-labih para bapak pimpinan pejabat yang terkait, dapatlah kiranya timbul perhatian untuk bersama-sama berusaha agar bangunan tugu yang kecil dan sedarhana, tapı mengandung nilai sejarah perjuangan yang patriotik itu dapat dipugar supaya lebih sesuai /dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Hal ini kiranya tiada barlebihan bagi kita yang masih dapat menikmati hidup pada masa pembangunan dan telah dapat menikmati hasil perjuangan serta pengorbanan mereka yang telah mendahului kita

Ini semata-mata sebagai tanda penghormatan dan penghargaan kita kepada mereka, seperti apa yang pernah diucapkan orang besar yang pernah saya dangar dan baca yaitu “BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MAU MENGHARGAI JASA-JASA PARA PAHLAWANNYA”.

 

 

BAB II

LATAR BELAKANG

SEJARAH BERDIRINYA TUGU JUANG

DI DESA BLATER.

 

  1. Situasi Tanah Air Kita Pada Tahun 1947.

Kiranya kita telah sama-sama maklum, bahwa situasi di Tanah Air kita pada tahun 1947 dalam keadaan bahaya Perang untuk mempertahankan kemerdekaan yang meletus sejak pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 (sekarang kita peringati sebagai “HARI PAHLAWAN”), belum menunjukkan tanda-tanda menuju perdamaian.

Ini disebabkan Kolonialis Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan kita yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, terus berusaha dengan segala kekuatan militer, politik kejinya, akan menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia bersama TNI sebagai kekuatan intinya. Bagi kami bangsa Indonesia sendiri sudah bulat tekadnya dan semangatnya dengan semboyan “MERDEKA ATAU MATI’; “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA”; dan “DARIPADA DIJAJAH LAGI, LEBIH BAIK HANCUR MENJADI ABU”, untuk tetap mempertahankan kemerdekaan. Memang kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan.

Bila dibandingkan persenjataannya antara kita dengan Belanda, memang sangat jauh perbedaannya. Belanda mempergunakan senjata yang modern pada waktu itu, senjata yang digunakan dalam Perang Dunia II, sedang tentara kita senjatanya kecuali terbatas juga senjata hasil rampasan dari tentara pendudukan Jepang.

Lebih-lebih pemuda dan rakyat kita hanya bersenjatakan bambu runcing atau “granggang”, pedang, pisau dan lain-lain senjata tajam yang kita miliki. Tapi kita memang telah memiliki senjata yang paling ampuh, yaitu “tekad dan semangat berkorban yang membaja” yang didukung oleh persatuan dan kesatuan yang kokoh kuat serta berlandaskan keyakinan, bahwa kita berada di pihak yang benar”.

Itulah sebabnya, walaupun persenjataan Belanda lebih kuat dan modern, serta memiliki tatik kuno yang dianggapnya masih ampuh (mengadu domba dan memecah belah sesama bangsa kita), serta main berunding yang sebetulnya kesempatan untuk menyusun kekuatannya, tetapi kenyataannya selalu kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia bersama TNI nya.

Akhirnya Belanda mau berunding dengan Republik Indonesia. Tercapailah “PERSETUJUAN LINGGARJATI”, YANG DITANDA TANGANI PADA TANGGAL 25 MARET 1947.

Kita sebenarnya telah tahu benar dari pengalaman sejarah dengan kelicıkan taktik Belanda, antara lain berunding itu sebenarnya mengambil kesempatan untuk menyusun kekuatan militernya, yang kemudian menyerang dengan tiba-tiba.

 

  1. Aksi Militer Belanda I

Pada bagian yang terdahulu telah saya singgung, bahwa salah satu taktik perang Belanda yang telah dijalankan sejak dahulu ialah memecah belah dan mengadu domba sesama bangsa kita.

Perundingan dimanfaatkan untuk menyusun kekuatan. Membuat pemimpin-pemimpin Boneka. Taktik semacam ini juga diterapkan pada waktu perang kemerdekaan yang lalu.

Belanda rupanya masih meyakini, bahwæ taktik itu merupakan senjata yang ampuh untuk melemahkan kekuatan kita. Rupanya Belanda tidak mau tahu, bahwa Bangsa Indonesia setelah merdeka merupakan bangsa yang telah kenyang dengan pengalaman dan penderitaan sebagai bangsa terjajah, sudah muak dengan politik kolonialis, dan sebaliknya sudah matang jiwa nasionalismenya, sudah matang tekadnya, sehimngga sulit untuk dikuasai lagi baik dengan jalan kekerasan maupun dengan jalan halus yang licik dan tipu muslihat.

Selama perjanjian Linggarjati, kita pun selalu siap dan waspada untuk menghadapi kemungkinan Belanda ingkar janji. Kewaspadaan dan kesiapan ini juga berdasarkan situasi pada waktu itu, yang menunjukkan adanya perbedaan pendapat yang bertentangan, antara pihak Belanda dan RI tentang penafsiran beberapa pasal dari naskah dan perjanjian itu. Keduanya saling berpegang pada pengertiannya masing-masing, sehingga dapat diduga akan dapat menimbulkan kontak senjata lagi.

Dugaan kita tidak meleset, dengan tiba-tiba Belanda mengerahkan seluruh kekuatan militernya, baik di darat, laut maupun di udara untuk menggempur tentara kita dan merebut daerah-daerah yang menurut perjanjian Linggarjati adalah daerah kekuasaan RI (Jawa, Sumatera dan Madura) Peristiwa ini kita kenal dengan “AGRESI MILITER BELANDA I”, yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947

TNI kita yang pada waktu itu menghadapi gempuran tentara Belanda yang jauh lebih kuat, baik peralatan maupun personilnya ditambah lagi dengan serbuan yang mendadak, maka kekuatannya menjadi terpecah-pecah.

Maka segeralah disusun taktık baru, sehingga Belanda waktu itu hanya dapat menguasai kota-kota dan jalan raya saja, sedang desa-desa dan pelosok pegunungan masih tetap dikuasai oleh RI/TNI-nya, yang harus berjuang bersama-sama seluruh rakyat

Menurut keterangan yang saya peroleh, pada waktu itu di daerah karesidenan Banyumas terdapat empat batalyon TNI, satu batalyon telah dikirim ke Jawa Barat, untuk membantu daerah pertempuran disana. Tinggal tiga batalyon TNI yang harus bertahan di daerah Banyumas bersama seluruh rakyat (satu batalyon lebih-kurang ada 600 personil).

Perlu diketahui, bahwa peralatan tentara kita pada waktu itu masih sangat sederhana, baik yang berupa senjata maupun alat-alat angkutannya. Maklumlah pada waktu itu kita belum sempat membangun angkatan perang yang tangguh Sebagian besar peralatan yang dimiliki TNI kita merupakan peninggalan pada jaman pendudukan Jepang.

 

Bersambung ke: MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER – CATATAN BAPAK SOEPARNO – (3)

 

Semoga bermanfaat

Toto Endargo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *