Marhaen Kini
Bakul dhawet pikulan, bakul puthu bumbung, cilok, siomay, kacang godhog, badheg, es jeruk dan sebangsanya, itulah model kaum marhaen jaman kini.
Mereka, pedagang kecil, modal sendiri, walau sedikit, sarana sendiri, bikin olahan sendiri, dijual sendiri, hasilnya dimakan sendiri bersama keluarga.
Mereka pengusaha kecil yang mandiri, merdeka, berdikari.
Hal ini terjadi seiring dengan generasi sekarang yang semakin kurang minat, untuk menjadi petani, kemandirian bergeser, menjadi usaha mikro.
Seandainya dulu Bung Karno berdialog dengan bakul dhawet, yang pikulannya bergambar Semar, Gareng, mungkin pendapatnya sama dengan saya; mereka juga termasuk kaum marhaen, usahanya mandiri, dan menjadi ciri prinsip kaum marhaen.
Marhaenisme
Hal yang dilakukan oleh Pak Marhaen, telah disimpulkan oleh Bung Karno, menjadi teori, lalu diajarkan kepada masyarakat, dan kemudian dikenal sebagai ajaran marhaenisme.
Hidup dan kehidupannya berdasarkan kemandirian.
Jadi orang atau organisasi yang dalam aktivitasnya berprinsip mandiri, secara teori identik dengan paham marhaenisme, sealiran.
Prinsip mandiri itu, sebenarnya sudah ada sejak dulu, ada dimana saja, kapan saja, dan dapat dilakukan oleh siapa saja, sampai kapanpun.
Kemandirian tentu saja harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing.
.
“Pak!”
“Apa! Arep ngomong apa?”
“Pak, mungkin jika Bung Karno bertemu bakul dhawet pikulan, yang bernama Pak Badrun, nama ajarannya pasti jadi Badrunisme yaa, bukan Marhaenisme?!”
“Ndean!”
Hehe!.