Kaum Marhaen Hidup Dengan Prinsip Mandiri

Marhaen. Jangan beranggapan negatif jika mendengar kata marhaen, sebelum mengetahui dengan benar, bahwa prinsip marhaen adalah mandiri!

 

Semboyan.

“Marhaen, menang! Marhaen, menang!”

Itu semboyan partai yang masih teringat sampai kini, peristiwa masa kecil di sekitar tahun 1964.

Dulu banget.

Marhaen sie apa?

 

Pak Marhaen

Bahwa Marhaen adalah nama seorang petani di tanah Sunda.

Petani yang hanya mempunyai tanah sepetak, garapan sendiri, panenan sendiri dan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.

Pak Marhaen mengarungi hidup dengan cara mandiri. Sarana penghidupan, tanah dan alat pertanian, semua milik pribadi.

Pak Marhaen bukan juragan, tapi juga bukan buruh. Orang yang merdeka. Hidup mandiri.

Petani inilah yang secara kebetulan bertemu dengan Bung Karno, saat beliau bersepeda onthel. Begitulah!

Sedikit cerita dari Pakdhe Ayat Notohardjono di saat saya masih kecil.

 

Berdikari

Ternyata, pola kehidupan Pak Marhaen telah menginspirasi Bung Karno dalam urusan mengelola negara.

Sebab dari peristiwa bertemu dengan Pak Marhaen itulah, awal mula keberadaan istilah: berdikari, berdiri di atas kaki sendiri; yang bersinonim dengan kata: mandiri.

Semua milik sendiri, dikelola sendiri, hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri, itulah berdikari. Pak Marhaen hidup dengan prinsip berdikari.

 

Kaum Marhaen

Dahulu, mereka yang berkehidupan seperti Pak Marhaen disebut kaum proletar, kaum rendahan.

Kaum marjinal, kaum pinggiran. Padahal Kaum Marhaen, adalah golongan orang-orang yang merdeka, kaum yang mandiri, berdikari.

Jadi tuan, sekaligus jadi buruh untuk dirinya sendiri. Tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain.

Itulah yang disebut Kaum Marhaen, yaitu kaum yang dalam hidup dan kehidupannya berpola hidup secara mandiri.

.

“Oh, begitu, ya Pak!”

“Apanya, yang begitu?”

“Itu! Kaum Marhaen, Pak!”

“Jadi kesimpulanmu apa?”

“Kaum Marhaen adalah kaum yang mampu mandiri, mampu hidup berdikari!”

“Kalau pengangguran, marhaen, apa bukan?”

“Bukan!”

“Kalau jadi buruh, jadi juragan?”

“Bukan?”

“Kalau pegawai negeri?”

“E e e, bukan, apa ya Pak?”

“Mbuh! Wis, kapan-kapan maning!”

“Nggih. Malih nggih, Pak! Temenan!”

Hehe!.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *