MAJAPAHIT, MANGUNEGARA, CITRAKUSUMA
Toto Endargo
Kisah ini menarik sebab mengungkapkan sisi lain dari perjuangan Pangeran Diponegoro saat memasuki wilayah Purbalingga sampai dengan keberadaan sebuah trah yang menjadi penduduk utama Dusun Citrakusuma.
***
 |
Mangundirana – Singanegara |
Majapahit. Nama Majapahit ternyata tidak hanya nama sebuah kerajaan besar tapi juga sebuah dusun kecil di sekitar Desa Onje, Kabupaten Purbalingga. Hanya sebuah dusun kecil dan kini masuk wilayah Desa Karangturi, namanya Dukuh Majapahit. Dusun Majapahit bersebelahan dengan Dusun Banawati. Tempatnya persis menjelang belokan luar Sungai Klawing. Berseberangan dengan Dusun Mesir. Kalau Mesir seperti dipeluk Sungai Klawing, Dusun Majapahit di luar pelukan itu.
Seperti dusun-dusun di sekitarnya, dusun ini dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi semacam kelapa, dukuh, jengkol, sengon dan lain-lain. Ada sawah walau sedikit tapi subur. Pengairan lancar karena ada saluran irigasi dari bendungan Kali Paku, dhawuhan Kedhung Keder di Dusun Citrakusuma. Air mengalir membelah dusun Tuanwisa, Pesawahan dan berakhir di Majapahit.  |
Eyang Putri Wirjodihardjo |
Ada kisah tentang Dusun Majapahit yang diceriterakan oleh nenek saya, Eyang Putri Wirjodihardjo, sekitar tahun 1966-an. Cerita lainnya dari Pak Dhe, Uwa Ayat Notohardjono, seorang guru Sekolah Rakyat, aslinya dari Bengang, Purbalingga Kulon, juga sering ndongeng, dengan bermacam-macam tema.
Prajurit Diponegoro
Tertulis dalam sejarah bahwa pada sekitar tahun 1825 – 1830 ada peristiwa perang Diponegoro. Di Bumi Purbalingga disebut Perang Bithing. Pasukan Diponegoro melawan Pasukan Belanda yang dibantu oleh pasukan dari beberapa kadipaten sekitar Banyumas. Bahkan secara jumlah dapat dikatakan perang antara Pasukan Diponegoro melawan prajurit Purbalingga – Banyumas. Prajurit Diponegoro terdesak. Kocar-kacir dan harus menyelamatkan diri agar tidak gugur di medan perang.
Perang Bithing terjadi di sekitar Selanegara, Selakambang, dan Sinduraja namun paling ramai terjadi di sekitar Gembrungan. Di sekitar tepi Kali Lebak. Prajurit Diponegoro yang terdesak melarikan diri ke arah utara. Pelarian prajurit Diponegoro ini terpecah menjadi dua. Pecahan pertama dipimpin oleh Ki Singanegara dan yang kedua dipimpin oleh Ki Mangundirana.
Saat itu tentu saja wilayah kecamatan Kaligondang mayoritas masih alas gung liwang liwung. Banyak wilayah yang belum perpenghuni. Para prajurit Diponegoro yang terdesak segera masuk ke hutan di sekitar peperangan.
Ki Singanegara
Ki Singanegara beserta para prajuritnya memilih melarikan diri ke arah utara. Hingga sampai di sebuah hutan yang banyak batu berserakan. Karena merasa aman maka Ki Singanegara bersama prajuritnya beristirahat, duduk di batu-batu yang kebetulan berserakan itu. Begitu terkesannya dengan kenyamanan saat istirahat, terhindar dari kejaran prajurit Purbalingga Ki Singanegara berkenan memberi nama tempat tersebut dengan nama Selanegara. Selanegara dari kata “sela” yang berarti batu dan “negara” nama belakang Ki Singanegara. Saat kebetulan bertemu dengan seseorang yang sedang mencari buah-buahan di tengah hutan, maka nama Selanegara itu dipesankan kepada penduduk asli tersebut, “Beritahukan bahwa wilayah ini sudah diberi nama Desa Selanegara!”
Dari Selanegara rombongan pasukan Ki Singanegara berjalan terus ke utara dan kembali beristirahat di suatu tempat. Dalam perjalanan ke utara ini pasukan Ki Singanegara sempat memberi nama dua padukuhan di antaranya adalah Beji dan Kalibenda. Beji karena Ki Singanegara sempat melewati sebuah kubangan besar berisi air bening, dan sekarang disebut sebagai Dukuh Beji. Kali benda karena ada kubangan air di bawah pohon Benda yang besar.
Saat istirahat, dalam perenungannya, Ki Singanegara dalam hati pun bertekad kelak akan mendirikan sebuah negara. Hingga keluar ucapannya bahwa suatu saat ia akan menempati sebuah wilayah yang cocok dan segera mendirikan sebuah negara. “Sida dadi negara!” ucapnya. Maka tempat itu pun diberi nama desa Sidanegara. Dan salah satu prajuritnya disuruh untuk tinggal dan membuat pemukiman baru di tempat itu.
Ki Singanegara terus berjalan ke utara hingga masuk ke wilayah yang banyak pohon Andong. Pohon andong berjajar seperti pagar dan menghalangi perjalanannya. Maka prajuritnya disuruh untuk membabat jajaran pohon andong itu. Setelah diterabas dan terbebas dari rumpun andong maka wilayah tersebut diberi nama Pagerandong.
Saat seorang prajurit dapat menangkap sepasang ayam hutan, Ki Singanegara sangat senang. Namun tak lama kemudian ayam betinanya mati. Merasa kasihan terhadap pasangannya maka si ayam jantan dilepaskan dan memberi nama tempat itu sebagai Dukuh Siduda. Ketika ingat kepada istrinya yang bernama Tanjungsari, maka memberi nama wilayah yang dilewatinya sebagai Dukuh Tanjungsari.
Perjalanan terus ke utara dan menyeberangi Sungai Gintung. Rupanya perjalanan Ki Singanegara dapat ditebak oleh beberapa prajurit sandi dari Kadipaten Purbalingga, sehingga terjadi pertempuran sengit di sekitar pertemuan Sungai Kuning dengan Sungai Tambra. Prajurit Purbalingga kalah dan melarikan diri. Konon di sekitar pertemuan Sungai Kuning dan Sungai Tambra ini, dahulu sering ditemukan perlengkapan kuda dan bekas tapak-tapak kuda yang diduga bekas-bekas pertempuran para prajurit berkuda.
Ternyata prajurit Purbalingga sudah tidak ingin melanjutkan perang sehingga pasukan Ki Singanegara merasa aman. Kemenangan ini dianggap sebagai jalan untuk mendirikan sebuah negara, menguatkan niatnya membangun negara maka wilayah tersebut diberi nama Mangunarsa. Ki Singanegara merasa sudah lelah dan cukup aman dari gangguan prajurit Purbalingga, ia kemudian mengira-ira, melihat-lihat daerah mana yang sesuai untuk bermukim, tempat berdiskusi dan memandang luasnya wilayah itu diberi nama Dukuh Sawangan.
Ketika sedikit berjalan ke arah utara lagi Ki Singanegara sangat yakin dapat mendirikan sebuah negara kecil yang aman. Wilayah tersebut diberi nama Mergasana. Mergasana dari kata Margasasono. Merga atau marga artinya jalan atau penyebab; sasono artinya tempat istimewa atau istana. Ki Singanegara pun akhirnya mendirikan sebuah negeri tak jauh dari Mergasana, diberi nama Kertanegara, artinya negeri yang aman tenteram.
Ki Mangundirana
Pecahan yang kedua dipimpin oleh Ki Mangundirana, pelariannya tidak lurus ke utara namun agak ke barat, sehingga masuk ke wilayah Arenan. Untuk menghindari bertemu dengan prajurit Purbalingga atau penduduk setempat, prajurit Diponegoro ini menyamar menjadi petani.
Ingat saat merayap-rayap menghindari musuh Ki Mangundirana memberi nama sebuah tempat sebagai Dukuh Grumung. Pasukan terus menyusup ke barat sampai di suatu wilayah yang terdapat sungai kecil namun airnya sangat jernih. Mereka istirahat dan berpikir langkah selanjutnya. Mereka merasa sudah terpisah dari pasukan induk. Melihat para prajuritnya berpikir sampai dahinya berkerut maka sungai kecil di tempat itu diberi nama Kali Sikerut. Nama berikutnya adalah Kalimenir dan sama seperti Ki Singanegara, Ki Mangundirana juga memberi nama suatu tempat dengan nama Dusun Kalibenda. Ketika menemukan banyak pohon pisang Ki Mangundirana memberi nama Pagedangan untuk wilayah tersebut.
Untuk membuang jejak maka pasukan Ki Mangundirana berjalan ke barat dan menyeberangi Sungai Klawing. Di barat sungai Ki Mangundirana mendirikan pemukiman dan memberi nama Banjaran. Hal tersebut karena Ki Mangundirana merasa sedih telah melakukan perjalanan jauh dan terlunta-lunta. Ki Mangundirana di tempat tersebut menceriterakan kembali perjalanannya kenapa beliau berjuang membela Pangeran Diponegoro. Ki Mangundirana sudah merasa lelah dan tidak ingin lagi bertempur. Ia ingin menjadi rakyat biasa yang mengolah alam untuk kesejahteraan bersama. Banjaran, artinya bercerita perjalanan seseorang dari awal sampai akhir.
Ki Mangundirana berpikir bahwa semua prajuritnya dapat hidup senang di wilayah tersebut karena alamnya subur dan banyak sungai. Puluhan ribu tempat dapat dijadikan sebagai pemukiman, dari kata puluhan ribu tempat itulah muncul nama dukuh Mandalaksa.
Karangpakel menjadi nama sebuah dusun yang dilewati para prajurit yang ingin menjadi petani ini, mereka berebut pakel, buah mangga yang belum matang. Kisahnya ada pohon mangga hutan, Ki Mangundirana minta buah mangga tersebut, ternyata buah mangga belum matang, ketika dicoba, tetap dimakan, rasanya kecut, sangat asam. Karena kesan asam terhadap buah mangga muda ini, Ki Mangundirana berkenan memberi nama wilayah itu dengan nama Dukuh Karangpakel.
Ketika pasukannya istirahat di sebuah sungai dekat Dusun Karangpakel para prajuritnya bertekad menjadi rakyat biasa kembali, usai sudah predikat prajurit, lebaran atau bubaran, munculah sebuah nama untuk sungai tersebut sebagai Sungai Lebaran dan kini menjadi Kali Lembarang.
Dukuh berikutnya yang sempat diberi nama adalah Dukuh Bangsa. Setelah mengamati wilayah yang subur dan sesuai untuk pemukiman para prajurit dari pasukan Ki Mangundirana ini, mereka bulat-bulat berpikir untuk tidak ingin lagi kembali ke Mataram. Mereka akan menjadi penduduk setempat. Mereka harus mencoba bergaul dengan masyarakat sekitar, membantu rakyat bertani, mendirikan rumah, dan beternak. Karena mereka sesungguhnya prajurit maka hal keterampilan dan pengetahuan mereka lebih mampu dibanding orang-orang desa yang dibantunya. Demikianlah maka para prajurit Pangeran Diponegoro, pimpinan Ki Mangundirana yang desersi ini diterima oleh masyarakat setempat.
Majapahit
Mereka menikah dengan wanita desa dan mendirikan perkampungan sendiri. Konon karena ada yang menemukan pohon maja yang berasa pahit di pinggir sungai. Kampungnya sengaja diberi nama Dusun Majapahit. Bagi para mantan prajurit, nama Majapahit adalah nama yang sangat dikenal. Di samping karena adanya pohon maja itu, nama Majapahit sengaja digunakan sebagai pertanda bahwa mereka bukanlah orang asli setempat. Mereka keturunan dari prajurit Mataram dan leluhur mereka adalah para prajurit dari Negeri Majapahit.
Seiring dengan waktu karena para mantan prajurit itu cenderung mencari pemukiman yang lebih ramai maka dusun Majapahit ditinggalkan dan terasing. Mereka menuju ke dusun di dekatnya yang merupakan pusat kadipaten yaitu Kadipaten Onje. Desa yang segera berkembang di sekitar dusun Majapahit karena dibantu dibimbing oleh mantan para prajurit itu adalah Desa Onje, Banawati, Karangturi, Pesawahan, Tuanwisa, Mangunegara dan Citrakusuma. Sedang yang di sebelah selatan Dusun Majapahit adalah Desa Banjaran, Sawangan, Tambangan dan Petemon.
Ki Mangundirana tidak lama di wilayah Majapahit. Majapahit hanya sebagai awal menyatunya mereka dengan masyarakat setempat. Ternyata Ki Mangundirana lebih nyaman bermukim di wilayah Mangunegara. Ki Mangundirana memiliki seorang anak yaitu Ki Cakradirana. Ki Cakradirana mempunyai dua keturunan yaitu Ki Gandanegara dan Ki Gandakusuma. Ki Gandanegara bertempat tinggal di Mangunegara. Sedang Ki Gandakusuma bertempat tinggal di Citrakusuma. Anak dari Ki Gandanegara adalah Ki Bangsadipa. Ki Bangsadipa menurunkan Ki Wangsareja. Ki Wangsareja dikenal sebagai lurah Desa Mangunegara.
Adapun Ki Gandakusuma mempunyai anak bernama Ki Wangsawijaya, Ki Wangsawijaya punya keturunan bernama Ki Arsawijaya. Ki Arsawijaya menjadi lurah Desa Citrakusuma.
Kedhung Beruk – Tuanwisa
Ada sedikit kisah menarik yang terjadi saat Ki Gandanegara masih berjaya. Ki Gandanegara bertempat tinggal di Desa Mangunegara. Kisah pertengkaran penduduk karena berebut batang kayu Jengkol.
Dukuh Mangunegara memang cukup unik karena di dalam dukuh Mangunegara beberapa RT memiliki nama khusus, istilahnya kolom, kolom adalah bagian dari dusun. Misal nama Kolom Siaren untuk nama RT IV, Kolom Karangjengkol untuk RT VII. Dekat Kedhung Keder adalah Kolom Mindren, RT V. Lalu dimana Kolom Mangunegara? Mangunegara aslinya adalah di sekitar Kedhung Beruk.
Kedhung Beruk adalah nama sebuah lubuk atau kedhung yang berada di aliran Sungai Paku. Bentuk kedhungnya seperti beruk, cekung membulat seperti cekungan atau bulatan bathok kelapa. Beruk sendiri adalah nama alat penakar beras. Dibuat dari bathok buah kelapa atau juga bisa dari bathok buah maja. Saat itu belum ada nama Tuanwisa yang ada hanya Dukuh Kedhungberuk. Sekarang, letak Kedhung Beruk ada di sebelah timur jembatan yang menghubungkan Dusun Mangunegara dengan Dusun Tuanwisa.
Suatu hari dua orang Dukuh Kedhungberuk bertengkar rebutan batang kayu Jengkol. Kebetulan yang satu rumahnya di utara sungai Paku sebut saja namanya Kang Turus dan yang satu rumahnya di sebelah selatan Sungai Paku, sebut saja namanya Kang Suren.
Kang Turus telah menebang pohon Jengkol yang masih muda belum ber-galih, tengah batang kayu belum keras, belum berwarna kecoklat-coklatan. Ia bermaksud akan mengganti salah satu tiang rumahnya dengan kayu Jengkol itu. Kayu belum sempat ditratasi, belum dipotong-potong cabang dan rantingnya, dia tinggalkan karena harus pergi ke sawah merawat tanaman. Sementara itu Kang Suren sedang butuh kayu bakar. Dengan tanpa pamit ke yang punya kayu, kayu dipotong-potong ukuran kayu bakar. Kang Suren berpikir bahwa batang pohon jengkol itu oleh Kang Turus juga akan dibuat kayu bakar. Kalau untuk bangunan pasti dipilih kayu yang lebih keras, seperti kayu Trembesi, Mlandingan, Jati atau bahkan Glugu sekalian. Sebagian potongan kayu Jengkol pun sempat diangkut ke rumah Kang Suren yang ada di selatan sungai.
Namun tak terkatakan, betapa marahnya Kang Turus melihat kayunya sudah dipotong-potong tanpa pemberitahuan. Terjadi pertengkaran mulut. Kata-kata Kang Suren yang menyakitkan adalah: “Orang-orang utara sungai adalah orang-orang lugu yang tidak maju, karena membuat tiang rumah dari kayu yang tidak layak pakai, kayu yang sebaiknya hanya jadi kayu bakar”. Kang Turus tidak kalah menyakitkan, ia berkata: “Orang-orang selatan sungai hidupnya sengsara, tidak punya modal, suka nunut, suka nebeng milik orang utara sungai”. Pertengkaran menjadi-jadi dan timbul kehebohan di pinggir Kedhung Beruk. Pertengkaran tersebut akhirnya sampai ke telinga Ki Gandanegara. Ki Gandanegara terkenal kesaktiannya. Apa yang diucapkan bisa langsung terjadi.
Setelah mendengar kisah asal mula pertengkaran dan apa yang diucapkan oleh kedua orang yang rumahnya berseberangan sungai itu maka Ki Gandanegara mengucapkan pamali. Pamali pertama adalah untuk orang-orang Kedhungberuk, yang di utara sungai. Orang-orang Kedhungberuk, tidak bakalan maju jika tetap hidup di Kedhungberuk. Kalau ingin maju harus keluar dari dukuh Kedhungberuk.
Pamali kedua untuk orang-orang di selatan sungai, melecehkan orang lain dan menganggap sebuah kayu tidak berharga. Sudah berusia lanjut (tua) namun tidak bisa menata kata, kata-katanya bagaikan bisa (wisa). Pamalinya adalah orang-orang di selatan sungai sulit untuk kaya dan berjaya. Sedang pamali ketiga berhubungan dengan hari, peristiwa pertengkaran itu terjadi pada hari Senen Pahing, maka dipesankan agar orang-orang keturunan kedua orang yang bertengkar itu agar hati-hati jika punya kepentingan di hari Senen Pahing.
Pada akhirnya nama Dukuh Kedhungberuk lama kelamaan tidak dipakai lagi, mereka lebih suka disebut sebagai Dukuh Mangunegara. Sedang dukuh di sebelah selatan sungai kini dikenal dengan nama Tuanwisa (Tua-Wisa).
Hal hari Senen Pahing sampai sekarang orang-orang Tuanwisa, Mangunegara, dan Onje masih ada yang masih ngugemi, mematuhinya. Bersikap sangat hati-hati ketika mereka bebergian atau punya kegiatan penting di hari Senen Pahing.
Mengenai pamali bagi orang di utara sungai konon sampai sekarang masih bisa dibuktikan. Memang wajar kalau ingin maju, ingin berjaya ya keluar dusun, sekolah dan kuliah di luar kota. Kalau ingin berniaga ya harus berniaga di wilayah yang lebih luas, di luar dusun.
Lalu pamali untuk orang Tuanwisa, konon tahun-tahun dulu juga masih bisa dibuktikan dan dapat disebut contohnya. Orang yang sudah berusaha dan tampaknya akan menjadi orang sukses dan berjaya, tiba-tiba saja sakit atau terkena kendala secara mendadak. Semoga dan sepertinya, sekarang pamali itu sudah punah dan tinggal menjadi cerita bagi anak cucu tentang kisah yang terjadi jaman kuna, kisah di jaman nenek dan kakek moyangnya. Sekarang jaman maju, jaman internet, semua orang punya hak untuk berjaya dan bisa sukses.
Jambe Ndalem – Mangunegara
 |
Punden Jambe Ndalem |
Desa Mangunegara memiliki sebuah tempat yang dikeramatkan, menjadi punden desa. Tempatnya di sebelah timur Dukuh Mangunegara, berbatasan dengan dukuh Mangunarga atau Pengalang-alangan. Sedikit sulit untuk mendekatinya karena letaknya di bagian bawah. Di tempat yang datar itu ada satu tempat berundak, berpagar keliling pohon puring merah, berdaun seperti bulu ayam, dengan dua pasang batu nisan, begitu damai suasana makam yang ada di sana. Karena wingitnya tempat tersebut maka jarang dilewati orang. Jalan setapakpun tidak tampak jelas berbekas. Seakan tak ada lidhigan yang terlihat menuju ke arah makam tersebut.
 |
Makam Ki Gandanegara dan Nyi Sekar Melati |
Menurut cerita, yang dimakamkan di Punden Jambe Ndalem adalah Ki Gandanegara dan istrinya Nyi Sekar Melati. Ki Gandanegara dikenal mempunyai kesaktian berlebih. Apa yang dikatakan segera menjadi kenyataan. Beruntung Ki Gandanegara termasuk tokoh yang arif bijaksana, sehingga tidak mau menggunakan kesaktiannya untuk hal-hal yang merugikan pengikutnya. Salah satu ujud kesaktiannya adalah mampu mengambil air dengan keranjang pengangkut rumput. Padahal keranjang rumput itu dibuat dari bambu dan memiliki lubang anyaman yang lebar-lebar tapi air yang diangkutnya tidak setetespun jatuh ke tanah. Konon juga mampu memisahkan raganya menjadi tiga bagian.
Maka ada yang sempat bercerita bahwa di wilayah Mangunegara ada tiga makam yang bertebaran namun sesungguhnya itu adalah makan dari satu tokoh yang sama. Itulah Ki Gandanegara. Kenapa harus dipisahkan? Ki Gandanegara ingin melindungi wilayah Mangunegara dari alam gaib, syaratnya adalah tubuhnya harus dipisahkan. Jika tidak dipisahkan beliau tidak akan meninggal, akan tetap hidup, mungkin beliau punya ajian Aji Pancasona. Konon pemilik Aji Pancasona (panca = lima, sona = anjing) bisa mati jika raganya dipotong-potong dan di kubur, kuburnya harus terpisah oleh sungai.
 |
Punden di Dukuh Jambangan |
Ketiga makam tersebut adalah, satu, di tengah sawah Dusun Pengalang-alangan, yang kedua di Makam Punden Jambe Ndalem dan yang ke tiga di Dukuh Jambangan. Konon yang di tengah sawah Pengalang-alangan hanya sekitar dua ratus meter dari Makam Punden Jambe Ndalem adalah tempat kubur atau makam mustaka (mustaka = kepala, sirah) Ki Gandanegara. Lalu badannya atau gembungnya dikubur di makam Jambe Ndalem, sedang bagian samparan (kaki) dikubur di candi Dukuh Jambangan.
Dukuh Jambangan dengan Dusun Pengalang-alangan jaraknya sekitar satu setengah kilo meter. Candi atau makam di Dusun Jambangan ini letaknya dekat sebuah sungai. Sungai yang dekat dengan makam samparan Ki Gandanegara itu, diberi nama Kali Ganda. Secara geografis letak Candi Jambangan dengan Makam Jambe Ndalem memang di samping dipisah jarak yang jauh, juga dipisahkan oleh sungai Ganda dan Sungai Paku. Tapi antara Jambe Ndalem dengan candi di tengah sawah Pengalang-alangan tidak dipisah oleh sungai hanya letaknya yang berbeda, satu di lembah bawah dan yang satu di bagian dataran atas.
Pengasuh Ki Gandanegara bernama Embah Gople. Mbah Gople bertugas melayani seluruh kebutuhan Ki Gandanegara dan Nyi Sekar Melati. Ada dua hewan gaib yang selalu muncul di sekitar Punden Jambe Ndalem yaitu serombongan semut dan sekelompok anjing. Dulu setiap kali, menjelang magrib, rombongan anjing Ki Gandanegara ini sering muncul beriringan di pematang sawah. Hal semut selalu muncul merambati para peziarah atau pemohon tuah di makam Ki Gandanegara ini. Semut-semut itu terasa merambati tubuh tapi kalau dilihat tidak tampak wujudnya. Anjing tidak mengganggu namun jika diperhatikan lama kelamaan akan menghilang secara gaib.
Jangan coba-coba membunuh hewan apapun di sekitar Punden Jambe Ndalem, walau itu berbentuk semut apalagi ular. Begitu pamali yang beredar di Punden Jambe Ndalem. Konon sering kejadian seseorang yang dengan sengaja membunuh hewan di sekitar punden dan kemudian tiba-tiba meninggal dunia, maka sangat dipercaya pembunuhan hewan itulah yang menjadi penyebab meninggalnya orang tersebut, kuwalat. Wingitnya Jambe Ndalem dibuktikan oleh seorang bladong, penebang pohon. Pernah menebang pohon laban di sekitar makam. Pohon tidak juga roboh walaupun sudah terpotong penuh, sudah tugel-gel, padahal bagian atas pohon yang tingginya sekitar lima belas meter itu tidak ada yang dapat dianggap menghambat robohnya pohon. Gaib! Blandong harus membuat upacara khusus dengan doa khusus, sekitar lima belas menit baru kemudian pohon tersebut berkenan roboh. Wingit!
Namun demikian ada yang berpendapat bahwa ketiga makam itu adalah makam tiga peraga yang berbeda. Yang ada di makam Jambe Ndalem adalah utuh tempat Ki Gandanegara dan istrinya Nyi Sekar Melati dimakamkan. Siapa bisa jawab? Menjadi catatan bahwa Ki Gandanegara sering pula disebut sebagai Ki Mangunjaya. Sedang saudaranya Ki Gandakusuma sering disebut sebagai Ki Mangunkusuma.
Kyai Langes
Ki Mangundirana punya anak bernama Ki Cakradirana. Ki Cakradirana punya dua anak Ki Gandanegara dan Ki Gandakusuma. Ki Gandanegara di Mangunegara. Sedang Ki Gandakusuma atau Kyai Langes bermukim di Citrakusuma. Sebutan kyai menunjukkan bahwa Ki Gandakusuma adalah orang yang mendalami Agama Islam, mengajar dan mengamalkannya. Memiliki pengaruh dan menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.
Langes adalah nama kotoran berwarna hitam, mirip serbuk, begitu halus yang diakibatkan karena adanya pembakaran minyak tanah. Dahulu di desa belum ada alat penerangan yang lebih canggih dari sebuah lampu senthir. Lampu senthir itu sudah bagus dibanding dlupak. Senthir bahan bakarnya minyak tanah sedang dlupak minyak kelapa. Senthir, agar sinarnya terang maka delesnya atau sumbu apinya harus besar. Semakin besar sumbu senthir maka semakin banyak minyak tanah yang terbakar. Semakin banyak minyak yang terbakar semakin banyak pula menghasilkan asap minyak tanah. Asap minyak tanah inilah yang terbang, seperti asap rokok, memenuhi ruangan dan setiap kepulan asap apabila menempel ke suatu benda pasti meninggalkan bekas lapisan hitam. Itulah langes!
Setiap hari Kyai Langes mengajari penduduk desa hal-ikhwal Agama Islam. Di sebuah surau yang kini jadi masjid. Sebagai penerang, saat membaca Al Quran, di malam hari digunakanlah lampu senthir bersumbu besar. Maka tidak heran setiap pagi wajah Ki Gandakusuma sering terlihat penuh dengan langes. Ruangan tempat membaca Al Quran pun dindingnya tampak banyak bercak hitam berhiaskan warna langes. Karena perilaku dan peristiwa tersebut maka Ki Gandakusuma dikenal dengan nama Kyai Langes.
Kyai Langes adalah salah satu dari trahnya yang berhasil dan selamat menunaikan ibadah haji ke Mekah di jaman itu. Konon jaman dulu berangkat dan pulang haji itu lamanya minimal sampai satu setengah tahun. Karena belum ada kendaraan bermesin. Harus naik dokar, naik kuda, jalan kaki, naik kapal, naik onta dan harus menunggu jadwal kapal yang tidak menentu. Selama di perjalanan dan selama di tanah Arab, harus mukim di tempat singgah dan mencari penghidupan. Terus-menerus belajar agama di segala tempat, selama naik kapalpun terus belajar agama. Saat mukim di tanah Arab juga mempelajari Agama Islam dan belajar bahasa Arab. Tak heran para haji jaman dulu mampu dan mumpuni mengajarkan ilmu Agama Islam dan Al Quran, karena mendalaminya secara maksimal.
Lamanya perjalanan naik haji ini menjadikan Kyai Langes mengenal berbagai pengetahuan yang dapat diterapkan di desa. Pengetahuan Kyai Langes terutama diturunkan kepada anak dan cucunya. Adapun anak Kyai Langes adalah Ki Wangsawijaya. Ki Wangsawijaya punya anak bernama Ki Arsawijaya. Ki Arsawijaya turunan ke lima dari Ki Mangundirana dan Ki Arsawijaya menjadi lurah di Desa Citrakusuma.
Kyai Langes yang merintis berbagai kegiatan di desa. Budaya yang sebagian dibawa oleh para prajurit Diponegoro. Sayangnya karena saat itu masyarakat belum punya budaya ingin maju maka pengetahuan membaca, menulis, membatik, membuat makanan, membuat kolam, membuat alat permainan, berkesenian semua dianggap sebagai kegiatannya para piyayi. Masyarakat umum menganggap dirinya tidak layak untuk beraktivitas macam-macam.
Di sebelah timur desa ada tempat yang disebut kolom Bak atau Ngebak. Kata Bak itu adalah karena dulu di sana ada bak sungguhan atau kolam permanen yang digunakan untuk mudul, mencuci kain batik untuk menghilangkan malam yang menempel setelah dilakukan pewarnaan. Jadi di desa itu ada kegiatan wanita membuat kain batik tulis. Ada pula budaya ngantih, membuat benang dari kapuk randu, lalu membuat kain tenun kasar, minimal membuat lancing. Dan dulu umumnya para penderes dan petani, tidak menggunakan celana pendek, tapi cukup hanya lancingan. Sebuah kain tenun kasar bikinan desa seperti ciutan, diubat-ubet sedemian rupa menjadi penutup aurat laki-laki.
Konon desa Citrakusuma dulu setiap kali juga dipasang sendaren dan kitiran, sehingga suasana desa begitu meriah, terdengar bunyi musik alami. Sendaren adalah peluit bambu, atau sawangan yang dibuat dari selonjor bambu. Tiap ruas bambu dibuat lubang sedemikian rupa sehingga jika terkena hembusan angin menimbulkan bunyi sebuah nada. Ruas yang satu dengan ruas yang lain berbeda nada. Letak lubang tiap ruas berbeda-beda, ada yang menghadap ke barat, timur, utara dan selatan. Minimal ada lima nada. Maka dari manapun arah angin bertiup sendaren pasti akan berbunyi siang malam. Sendaren dipasang tegak lurus di sebuah pohon yang tinggi, agar mendapat tiupan angin yang kuat dan yang mampu menggetarkan udara di bibir lubang bambu.
Hal kitiran atau baling-baling dibuat sedemikian rupa sehingga selalu menghadap ke arah angin datang. Ketika baling-baling berputar akan mengeluarkan bunyi yang juga tiada henti seiring bertiupnya angin. Baling-baling dipasang di luar desa, di sawah. Di samping sebagai musik alam juga dimanfaatkan untuk menakut-nakuti burung pemakan padi.
Bunyi-bunyian berikutnya adalah di tengah sawah, memanfaatkan air crowokan di salah satu pematang. Sebatang bambu yang panjangnya sekitar 40 cm dengan satu ruas ditengahnya. Dibawah ruas ditusukkan as dari bambu juga. Dipasang sedemikian rupa di bawah crowokan sehingga jika bambu bagian atas sudah penuh air, bambu njengit ke depan, air tumpah dan bagian belakang bambu melesat turun menghantam batu sehingga bunyi cethak-cethok sepanjang hari. Bunyi ini juga digunakan untuk mengusir hewan pemakan padi muda. Itulah tinggalan budaya dari Kyai Langes yang sempat turun ke anak-cucunya.
Lurah Citrakusuma
Di awali dari Perang Bithing dan pelarian para prajurit Diponegoro, lalu dari para prajurit ini akhirnya beranak cucu di sekitaran Dusun Majapahit. Satu di antara warengnya, atau turunan ke lima, ada yang bernama Ki Arsawijaya.
Dengan urutan nama yang terceritakan adalah Ki Mangundirana, Cakradirana, Kyai Langes, Ki Wangsawijaya, dan keturunan ke limanya adalah Ki Arsawijaya dan menjadi lurah di Desa Citrakusuma.
Jika dilihat dari garis laki-laki maka Ki Arsawijaya bukanlah keturunan Adipati Onje. Tapi dari keturunan prajurit Diponegoro, prajurit Mataram, Ki Mangundirana.
Ki Arsawijaya menjadi lurah di Citrakusuma hanya satu periode karena Desa Citrakusuma harus bergabung dengan Desa Mangunegara (lihat cerita Mangunegara, Citrakusuma, Banawati). Eyang Arsawijaya sempat memperluas surau untuk menjadi masjid yang luas. Adapun pendapa kelurahan Citrakusuma ada di selatan surau. Pendapa menhadap ke utara.
Jaman Eyang Arsawijaya di desa Citrakusuma mulai ada makanan semacam tempe, gethuk, jongkong, bungkil, mendoan, inthil, ondhol dan makanan model desa yang lain. Ayam goreng masih setahun sekali. Telur ceplok adalah makanan mewah. Roti adalah makanan asing. “Roti itu makanannya Ratu Wilhelmina, ratu Negeri Belanda!” kata Eyang Putri Wiryodiharjo pakai Bahasa Banyumasan.
Ki Wangsawijaya, ayahnya Ki Arsawijaya, berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Arab dan wafat di tanah suci, dimakamkan di sana. Lalu saat Ki Arsawijaya berangkat naik haji ke Mekah, juga dipanggil Allah SWT di tanah suci, juga dimakamkan di Tanah Arab. Oleh karena itu Makam Desa Citrakusuma hanya ada satu punden yaitu Makam Kyai Langes atau Ki Gandakusuma.
Menyimak berpulangnya para haji jaman dulu-dulu. Barangkali inilah awalnya mengapa orang yang berangkat haji harus dikunjungi, bersalaman, berpamitan, minta maaf, minta didoakan, dan lain-lain, lalu diantarkan beramai-ramai, karena bisa jadi saat mengantar, itulah pertemuan antar mereka yang terakhir. Menunaikan ibadah haji jaman dulu butuh waktu lama, sulit transportasi, sulit komunikasi, sulit pula akomodasi sehingga bisa terlunta-lunta bahkan sangat mungkin meninggal di Tanah Arab. “Buyut Arsawijaya munggah kaji, payuneng kana. Seda neng Mekah!” kata Eyang Putri Wiryodiharjo. Istilah payudigunakan untuk pengganti kata ‘dipanggil Yang Maha Kuasa saat menunaikan ibadah haji’. Kini, mengantar calon haji beramai-ramai telah menjadi budaya di tanah air.
Dari Lurah terakhir di Desa Citrakusuma ini, Ki Arsawijaya memiliki keturunan 9 orang, beserta para cucunya; yakni:
1. Eyang Kakung Martawireja – Karangmangu: Kusmini
2. Eyang Putri Kaji Tohir – Citrakusuma. –
3. Eyang Putri Tadiwirya – Citrakusuma; Mulyadiwirya, Robingah, Ngapiyah
4. Eyang Putri Dasiyem Wiryodihardjo – Citrakusuma; Sungimah, Suma, Suwandi, Suratmi, Suwarni, Suwondo, Sugito, Harsono, Suharti, Hartono.
5. Eyang Putri Sardiyem Sanreja – Ngebak; Ratmini, Kasan Muhadi, Muheni, H. Sadali, Moch. Kalyubi, Surtinah, Tolingah, Barudji
6. Eyang Kakung Purwosarjono – Mangunegara; Murniati, Susanto Ngudiardjo, Mustirah, Budiono, Sudiono, Purnomo, Lili Purwanti, Sukrisno, Slamet Riyadi.
7. Eyang Kakung Adiatmojo – Citrakusuma; Nitiadi, Adiati Retnaningsih, Adiyanto, Wahyuni, Hastuti, Bambang Waluyono, Edi Suripto, Widodo Sulistiyono, Heri Budi S, Titie Haryati.
8. Eyang Putri Yasadiwirya – Ngebak; Mujawad, Sechani, Marliah, Musniah, Matruni, Sumaryo.
9. Eyang Putri Raminah Makmur – Citrakusuma; Mutmainah, Subadyo, Sutarmi, Muthohar.
===
Demikianlah sebuah cerita tutur yang semoga bermanfaat bagi anak turun Ki Mangundirana.
Terimakasih untuk Pak Lik Purnomo, Mbah Mulyadimeja, Mas Miswono, Pak Agus Triyanto yang telah membantu dan melengkapi cerita ini.