Ki Demang Timbang

Ki Narasoma  

Pada jaman dulu kala, sekitar tahun 1640, atau sekitar satu abad sebelum Ki Arsayuda jadi bupati pertama di Purbalingga (1759), hiduplah seorang yang sangat dihormati oleh masyarakatnya.
Tokoh ini, nasehat dan tata laku sehari-harinya menjadi rujukan masyarakat sekitar. Maka setiap orang yang sedang menghadapi masalah, ruwet rentenging kehidupan, sowan, “nyuwun tetimbangan”, mohon pertimbangan, minta advis solusi, bagaimana mengatasi masalahnya dengan bijak dan nyaman.

Timbang

Dusun tempat tokoh ini mukim pada akhirnya dikenal dengan nama dusun Tetimbangan, dipendekkan menjadi Dusun Timbang. Dan karena ketokohannya pula, beliau pun diangkat menjadi demang, maka sebutannya menjadi Ki Demang Timbang. 
Memiliki wilayah dan kekuasaan yang terbatas. Merga banget anggone ngluhurke tamu kang teka, mula Ki Demang Timbang kaparingan lan katelah kanthi asma Ki Narasoma. Narasoma dari kata ‘nara’ dan ‘somah’; nara artinya orang; somah berarti tamu. Orang yang banyak tamunya. Hehe, begitulah sedikit tentang Ki Narasoma. 

Bersih Desa 

Dusun Timbang, memiliki sawah yang luas, tanahnya subur. Minimal ada dua sungai yang mengalir membelah dusun. Sungai Gringsing dan Sungai Kramean.
Mayoritas petani menaman padi jenis unggul, atau orang menyebutnya, pari jero; Gandamana, Rajalele, Cendhani, Serang, Pandanwangi, dan minimal menanam padi Cere, namun ada pula yang menanam padi hitam.
Maka tlatah Timbang jaman dulu termasyhur dengan hasil tanam padinya yang enak, dan pulen saat telah menjadi nasi. 
Sebagai orang Jawa dengan kultur budaya yang kental, maka Ki Demang Timbang sangat perhatian dengan lingkungannya, baik yang kasatmata, terlihat, maupun yang tidak kasatmata. 
Ki Narasoma meyakini bahwa ada makhluk energi yang bersama-sama hidup berdampingan di dusun Timbang. Maka ritual adat petani, walau sederhana, pun dilakukan, misal hal “mimiti” atau”wiwitan” sebelum panen padi dan agenda “Bersih Desa” dilakukan juga. 
Menurutnya, ritual adalah sebagai wujud rasa syukur kepada ibu bumi yang telah membantu mereka, memberi banyak kesejahteraan di dusun Timbang.
Adat “Bersih Desa”, ada acara wayangan, pentas siang hari disebut “ruwatan” dengan lakon baku, “Sri Sedana” dan malamnya pentas wayang kulit semalam suntuk. 

Nanggap Wayang  

Pentas wayang jaman dulu, walaupun masih sangat sederhana, merupakan pertunjukan yang sangat istimewa. Penerang kelir yang ada di atas Ki Dalang namanya blencong, bahan bakarnya minyak kelapa. 
Konon saat itu, latung, minyak tanah, masih menjadi barang sangat langka. Penerangan mayoritas masih semacam obor minyak kelapa, teplok, senthir, termasuk barang mewah. Kebanyakan justru hanya menggunakan dlupak sebagai alat penerang. 
Maklum ini cerita terjadi sekitar, 400 tahun yang lalu. Berdasarkan cerita tutur, yang kini saya ulang tuturkan. 
Hehe. 
Wayang menjadi tontonan yang mengandung tuntunan kehidupan. Maka ada sebutan dalang, artinya “ngudal piwulang”, penyampai pelajaran hidup. Ki Demang Timbang pun ingin memberikan pelajaran hidup melalui dalang wayang.
Dan pada acara “Bersih Desa” kali ini, dipilihnya, dalang wayang dari Sokaraja. Dalang yang sangat menguasai anta wacana, percakapan antar wayang, dengan memilih lakon, Kikis Tunggarana, yang bercerita tentang perebutan batas wilayah negara yang subur. 

Tamu Istimewa  

Tamu istimewa malam pentas wayang di dusun Timbang saat itu, adalah Kanjeng Adipati Anyakrapati, pengageng dari wilayah Kadipaten Onje, beserta empat orang pengawalnya.
Ki Demang Narasoma, sangat menghormati tamu istimewa ini.
Maka telah disediakan hidangan khusus untuk Kanjeng Adipati dan juga untuk kudanya. 
Adipati Onje datang ke Timbang naik kuda, berlima.
Sampai di Timbang, sore hari menjelang petang, lewat jalan setapak, dari Onje, lewat dusun Majapahit, Karangpakel, menyeberang sungai Lembarang, Banjaran, Galuh, Celeleng, nyabrang sungai Kajar, Pritganthil, Karangtengah, dan Timbang.
Mayoritas jalan setapak ini berada di tengah sawah dan hutan yang tidak lebat. 
Begitulah, malam pentas wayang kulit dengan lakon Kikis Tunggarana sepertinya akan berlangsung dengan penuh hikmah kegembiraan. 

Nasi Cething  

Sehabis sembahyang isya berjamaah. Tibalah saatnya hidangan khusus untuk Sang Adipati disajikan.
Di bawah cahaya dlupak, Sang Adipati, empat pengawalnya, Ki Demang Narasoma, Ki Dalang Sokaraja, dan dua sinden yang manis berada dalam satu kelompok khusus mereka. 
Di samping berbagai lauk-pauk model dusun Timbang, disitu ada tiga cething nasi.
Satu di depan Sang Adipati, satu di depan Ki Narasoma dan satu lagi di depan Ki Dalang Sokaraja.
Demikianlah, setelah doa syukur dan keselamatan di panjatkan, kembul bujana, makan bareng dimulai. 
Sang Adipati Onje dengan inisiatif sendiri, beliau segera nyiduk nasi dari cething di depannya.
Karena beritanya bahwa nasi padi petani Timbang dikenal enak dan pulen, maka dengan saksama, di bawah cahaya penerangan seadanya, diamatinya nasi di piring beliau. 
Hah! 
Ternyata yang tertangkap oleh indra penglihatan Kanjeng Adipati Onje, adalah adanya titik-titik hitam di antara putihnya nasi.
Dahinya berkerut, terlintas di benak Sang Adipati Onje: “Racun! Racun!
Seketika Kanjeng Adipati Anyakrapati, duka yayah sinipi, jaja bang mawinga-winga, marah merasa disepelekan, dikhianati, dada seperti dibelah-belah.
Kemarahan Sang Adipati segera tumpah bagaikan banjir bandang menerpa Ki Demang Narasoma. 
Ki Demang Narasoma tertegun, anjenger kaya tugu sinukarta, diam membisu seperti tugu monumen.
Tak disangka, dan tidak ada sedikitpun niatan untuk berlaku jahat kepada Adipati Onje. Jelas ini salah paham. Tapi karena, konon, Kanjeng Adipati Anyakrapati memang saat-saat itu sedang dalam situasi selalu cepat marah, maka Ki Demang Timbang, bersikap nglenggana. Legawa. 
Menata perasaan agar tetap sabar dan waspada. Setelah puas marah-marah Kanjeng Adipati Onje segera mengambil kudanya, pulang ke Onje. 
Di bawah cahaya bintang yang gemebyar terang, berlima, Kanjeng Adipati Onje berkuda kembali ke Onje. 

Pamali Ki Demang  

Ki Demang Timbang termangu di halaman rumahnya, menatap bentuk model rumahnya, merenungi, menghayati peristiwa barusan, yang sungguh di luar perhitungannya. 
Ki Demang Narasoma sangat paham bahwa titik-titik hitam di piring nasi Kanjeng Adipati Onje, bukanlah racun, tapi padi hitam.
Ki Demang tahu, karena setiap kali, di nasinya, juga terdapat butir-butir warna hitam, jelas itu butir nasi, upa padi hitam, bukan racun.
Kini seluruh orang di tempat Ki Demang seperti tersihir, semua terdiam penuh keprihatinan.
Pentas wayang berubah menjadi suasana tintrim.
Ki Demang Narasoma kemudian mengumpulkan semua orang yang hadir di acara wayangan malam itu. 
Pentas wayang dibatalkan! 
Dan dengan sangat serius, untuk anak cucu keturunannya dan kepada siapa saja yang percaya, disampaikannya hal yang tabu, hal yang tidak boleh dilakukan. 
Berdasarkan sebab peristiwa yang memprihatinkan itu dan melihat bentuk rumah Ki Demang Timbang, maka perlu ada sebuah pengingat bagi keturunannya.
Bahwa sejak malam itu berlakulah pamali, larangan: 
Keturunan Ki Demang Narasoma dilarang 
(1) menanam padi hitam atau ketan hitam 
(2) nanggap wayang 
(3) membuat rumah dengan talang seperti rumah pembesar, 
(4) memasang pagar berlubang-lubang di depan pendapa. 
Begitulah, kisah kesalah-pahaman antara Ki Demang Narasoma dengan Kanjeng Adipati Anyakrapati. 
Selanjutnya beberapa waktu kemudian, Ki Narasoma, meninggalkan Dusun Timbang, dusun yang dianggapnya telah membuatnya bermasalah.
Ki Narasoma kemudian memilih mukim di Dusun Pritganthil, tempat yang tidak terlalu jauh dari Dusun Timbang. 
Hehe, sudahlah ya, cerita pamali di dukuh Timbang, Penambongan ini. 
***
“Pak, apa tidak salah, nulis tahun 1640?” 
“Kenapa?” 
“Kok sepertinya, kuna banget, barabad-abad yang lalu!” 
“Iya. Saya juga berpikir begitu. Tapi karena cerita ini melibatkan trah Onje, maka tahun itulah kira-kiranya!” 
“Hitungannya bagaimana sie, Pak?” 
“Hehe, gampang. Kapan-kapan saja, saya tulis!” 
“Sekarang koh, Pak!” 
“Mbuhlah! Kapan-kapan! Ngalih!” 
“Nggih, Pak!” 
Hehe! 
Lagi kepengin ndongeng 
Semoga tetap sehat sejahtera, nggih! 
Nuwun. 
.
Toto Endargo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *