“Sambungan sing wingi, nggih Pak?!”
“Ya!”
“Judule napa, Pak?”
“Gerilyawan! Remponir!”
“Tukang rempon, nggih, Pak!”
“Hehe! Desimak baelah, ya!”
“Nggih!”
Patang Lokomotif
Minimal ada patang (4) lokomotif yang beraktivitas di wilayah Kalimanah, lokomotif dengan nomor: 4, 5, 6, dan 7.
Para petani tebu masih ingat bahwa lokomotif nomor empat, bermesin diesel. Sedang yang lain adalah lokomotif uap.
Lokomotif diesel bentuknya lebih praktis, bunyinya lebih halus, tapi kalau lokomotif bermesin uap, uapnya menjadi ciri khas, keluar dari tiga tempat, dari kanan, kiri, dan dari cerobongnya.
Lokomotif uap mesinnya ada dua, di samping kanan dan di samping kiri, yang mengeluarkan uap itu.
Sungguh asyik menikmati suaranya dan keluarnya uap putih yang menyembur-nyembur dari lokomotif uap. Sementara di bagian belakang, api menyala-nyala di tungkunya yang berasap pula.
Cuuuiitt, jes jes jes jes!
Kayu Bakar
Kalau lokomotif diesel sebagai bahan bakarnya adalah solar, sebagai pemantiknya adalah listrik pada busi. Mesin uap tidak punya busi, adanya klep atau katup buka – tutup.
Hehe, mesin uap sungguh rebyeg. Bahan bakarnya suluh, kayu bakar, jadi banyak pohon yang harus ditebang.
Perlu tempat untuk tandon kayu bakar. Ada beberapa yang dijadikan sebagai tempat penumpukan kayu bakar. Satu diantaranya adalah di pinggir jalan raya, di selatan jembatan sungai Ponggawa.
Kayu bakar dipilihkan kayu yang cenderung jadi bara, jadi mayoritas justru kayu gelondongan, bukan sekedar ranting-ranting.
Sinder
Sinder digaji oleh pabrik gula, tugasnya membina dan membimbing para pekerja yang mengurusi tanaman. Sinder juga mengawasi para pekerja dan segala sesuatu di kebun.
Ciri-ciri sinder di kebun tebu adalah: baju seragamnya warna putih, model beskap Belanda, pakai topi blenduk.
Sinder sendiri dari bahasa Belanda “Opziener” atau “Opzichter”, sebutan untuk pengawas pekerja di perkebunan.
Sinder kedudukannya lebih tinggi dari mandor. Sinder dan mandor kerjasama dalam hal merayu petani agar lahan mereka berkenan untuk ditanami tebu.
Hanya kadang petani terjebak pada harga tebas tebu yang rendah. Padahal tebu tidak mungkin disimpan apalagi dikonsumsi sendiri, sehingga suka tidak suka ya tetap saja, terpaksa dijual ke pabrik gula dengan harga yang bisa saja dinilai terlalu rendah.
Mandor
Mandor dari bahasa Inggris “Commander”, orang yang bertugas mengawasi beberapa orang atau kelompok pekerja dalam suatu bagian tertentu.
Mandor diberi hak untuk nebas hasil panen petani, setelah itu akan dijual dan dibeli oleh pihak pabrik.
Jadi petani yang menanam, merawat, dan memanen, lalu mandor yang karena modalnya menjadi tukang tebas, maka keduanya sama-sama dapat rejeki dari tanaman tebu.
Bahwa fungsi lokomotif adalah untuk menghela, nggered, lori, sebisa-bisa dari kebun tebu sampai ke pabrik gula.
Satu lokomotif bisa memuat atau nggered sekitar 20 sampai 30 lori. Berat tebu satu lori itu sekitar tiga ton. Jadi satu lokomotif mampu menghela sampai 60 ton tebu.
Kapasitas lokomotif membawa tebu tergantung kemampuan mandor tebu dalam hal tebasan. Jadi seakan satu mandor diberi hak satu lokomotif untuk mengangkut tebu tebasannya sampai ke pabrik gula.
Jika sang mandor hanya mampu nebas 25 lori, berarti yang digered satu lokomotifnya sampai ke pabrik ya cuma 25 lori itu.
Gerilyawan
Gerilyawan disini maksudnya adalah para penggemar tebu yang masih anak-anak dan remaja. Tebu itu rasanya manis. Terutama kalau yang disemplek bunyi: ceplak! Itu pasti tebu idaman.
Para gerilyawan atau pelorod tebu, paling takut kepada sinder, karena sepertinya sinder membawa pistol. Maka walaupun sang sinder hanya mengacungkan jari telunjuknya dengan jempol mencuat, para perempon langsung buyar, takut ditembak.
Hehe, padahal ditembaknya hanya pakai jari telunjuk. Tapi para perempon percaya itu pistol, jadi walaupun sedang sibuk nglorodi tebu di lori yang berjalan lambat, tetap saja mereka berhamburan, ngacir dengan bangga, bangga karena tetap saja sudah berhasil dapat plorodan tebu.
Beda saat ketemu mandor. Karena mandor umumnya dari masyarakat setempat, jadi dalam hal perlakuan terhadap para remponir lebih lunak. Gerilyawan pun berjuang dengan lebih enjoy. Hehe!
Dan sesungguhnya di samping sinder dan mandor, ada satu lagi pengawas kebun tebu yang diperhitungkan oleh para gerilyawan, yaitu polisi kebun, semacam security atau satpam.
Umumnya polisi tebu dengan para gerilyawan tebu, sukanya main petak umpet di lorong-lorong tanaman tebu.
Tebu yang sudah siap dipangkas, adalah saat yang ideal untuk mendapatkan tebu sebanyak mungkin.
Cukup ngendon di tengah kebun. Potong tebu dengan cermat, hindarilah goyangan daun tebu. Sebab jika satpam melihat di tengah kebun ada daun tebu bergoyang, dan kemudian tumbang, jelas di dalam kebun ada gerilyawan yang sedang beroperasi.
Kejar! Tangkap! Gerilyawan pun ngacir.
Dan di saat lain, gerilyawan mengendap-endap untuk mengambil hasil operasi hari kemarin. Kemarin waktu konangan dan dikejar satpam sesungguhnya sudah dapat limang ler tebu, sudah dipotong-potong, dan disembunyikan ditutupi daun tebu dan rerumputan.
Begitulah diantaranya, strategi serangan para gerilyawan tebu, para remponir, alias para tukang rempon.
Hehe!
Bersambung ke Jejak Rel Lori (5)
Semoga ada yang menyimak
“Desimak ya!”
“Nggih Pak, kula nyimak!”
“Ya. Maturnuwun”
“Sambungane, judule napa, Pak?”
“Rel Buntu!”
“Buntu, Banyumas, napa Pak?”
“Maning, sie. Buntu, bebel. Sing penting crita, ya!”
“Nggih! Crita nggih, Pak!”
“Ya. Angger kober!”
“Lho!”
.
Semoga bermanfaat
Sedang sedikit cerita
Nuwun