Jalan dan Monumen A.W. Soemarmo

Jalan dan Monumen A.W. Soemarmo sebagai judul tulisan. Disini akan dibicarakan serba sedikit tentang jalan dan monumen yang mengambil nama A.W. Soemarmo. Semoga tulisan ini dapat menambah pengetahuan tentang salah satu tokoh Purbalingga yang bernama Soemarmo.
Di wilayah Dukuh Sayangan, atau wilayah Dukuh Serang, Kelurahan Purbalingga Lor ada patung knalpot, berdiri di tengah pertigaan. Jalan di depan patung knalpot itu, yang menjulur ke utara, yang menuju ke arah Bobotsari itulah Jalan A.W. Sumarmo. Panjangnya cukup jauh, yaitu dari Patung Knalpot, wilayah Serang sampai ke batas kota, sekitar Sungai Kajar, menjelang  masuk Desa Brobot. Knalpot adalah salah satu komoditas atau produk potensial sub sektor perindustrian di Purbalingga. Jalan A,W, Soemarmo berada disekitar Kembaran Kulon, Sirongge, dan menjelang Desa Brobot. Siapakah A.W. Soemarmo? Kenapa diberi kehormatan menjadi nama jalan?

Pertanyaan ini ternyata dapat terjawab ketika kita sampai di Desa Tlahab Kidul, Kec. Karangreja, Kab. Purbalingga. Sebuah monumen berdiri di desa yang tergolong daerah Pegunungan Kendeng Utara ini. Monumen terbuat dari bangunan semen yang dilapisi keramik putih. Bentuk monumen utama adalah tiga buah balok tegak dengan ujung miring. Dua balok yang lebih tinggi mengapit balok yang paling pendek.
Monumen berdiri di atas sebuah altar dengan lantai keramik berwarna merah darah dan memiliki anak tangga tiga sap. Di kelilingi dengan pagar keliling persegi dengan sisi sekitar 20 meter. Balok tertinggi sekitar 380 cm, balok kedua 300 cm, dan balok terendah 200 cm. Ada prasasti yang menempel di balok terendah. Dalam  batu prasastinya itu tertulis:
DISINI GUGUR ASISTEN WEDANA SOEMARMO,
MELAWAN GEROMBOLAN DI/TII,
PADA HARI SENIN KLIWON 20 NOVEMBER 1961
Rangkaian kata tersebut kembali mengundang beberapa pertanyaan. Mengapa monumen berdiri disitu? Kenapa sampai gugur? Apakah yang dimaksud Asisten Wedana? Siapa Soemarmo? Siapa Gerombolan DI/TII? Kenapa ada DI/TII?
Penulis ingat! Ketika SMP Negeri 2 Purbalingga dikepalai oleh Bapak Soewito, BA. Suatu hari membuat surat tugas kepada penulis untuk mewakili beliau menghadiri peresmian sebuah monumen di Desa Tlahab Kidul, ya, monumen inilah yang penulis datangi. Penulis sendirian naik vespa sekitar pukul 10-an sampai di tempat peresmian. Tahun berapa? Sekitar tahun 1992 – 1994. Siapa yang meresmikan? Penulis lupa! Yang diingat adalah kenapa untuk mendatangi tempat sejauh Tlahab saat itu, harus penulis yang ditugasi. Padahal saat itu rasanya masih sangat banyak yang lebih senior dibanding penulis. Jadi tentu para senior itulah yang lebih pantas untuk ditugasi mewakili Kepala Sekolah. Kenapa saya? “Sing gampang dikongkon, ndean! He, he!” jawaban saya singkat. Monumen A.W. Soemarmo berdiri di desa Tlahab Kidul, Karangreja, Purbalingga. Persis di barat jalan raya. Sekarang persis di depan SMP Negeri 3 Karangreja.
Dulu Kabupaten Purbalingga dibagi menjadi tiga wilayah kawedanan yaitu Kawedanan Purbalingga, Bukateja dan Bobotsari. Wedana membawahi para camat, oleh karena itu camat disebut sebagai Asisten Wedana, atau pejabat yang membantu tugas wedana.
Dulu orang menyebut kantor kecamatan sebagai “Asistenan”. Pejabatnya karena laki-laki dipanggil Pak Sisten. Bahkan di tingkat desa dulu ada jabatan Penatus. Penatus adalah salah satu lurah yang bertugas mengkoordinir beberapa lurah. Sekarang jabatan wedana dan penatus sepertinya telah dihapus.
Pada sekitar tahun 1960 yang menjadi camat di Karangreja adalah Bapak Soemarmo. Soemarmo lahir di Desa Mipiran, Padamara, Purbalingga. Sebuah desa di ujung barat wilayah Kabupaten Purbalingga, di kaki Gunung Slamet. Karena prestasinya maka beliau dipercaya untuk menjadi camat atau asisten wedana di kecamatan Karangreja. Karena jabatannya itulah beliau terkenal dengan sebutan A.W. Soemarmo lengkapnya Asisten Wedana Soemarmo atau Camat Soemarmo.
Dulu, kantor kecamatan Karangreja ada di desa Tlahab Kidul, dan sekarang sudah pindah ke Desa Karangreja. Pejabat tertinggi di tingkat kecamatan adalah Camat, yang dahulu disebut Asisten Wedana. A.W. Soemarmo gugur sebagai kusuma bangsa, beliau gugur dibunuh oleh pasukan DI/TII.
  DI/TII
   DI/TII adalah kependekan dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Darul Islam (Rumah Islam) adalah sekelompok Islam di Indonesia yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Tentaranya disebut Tentara Islam Indonesis (TII). TII adalah  sekelompok milisi (masyarakat yang bersenjata) Muslim, yang dikoordinir oleh seorang politisi Muslim radikal, bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, dimulai pada 7 Agustus 1942.
Kelompok ini mengakui syariat Islam sebagai sumber hukum yang benar. Maka tujuan gerakan ini adalah menjadikan Republik Indonesia yang saat itu belum mapan benar karena baru saja merdeka, dan masih ada perang melawan tentara Belanda, untuk menjadi negara teokrasi, negara yang berdasarkan ketuhanan. Menginginkan agar Agama Islam menjadi dasar negara.
Dalam proklamasinya, tanggal 17 Agustus 1949, DI/TII menyatakan bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Sunnah”. Menolak dengan keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, mereka menyebutnya sebagai “hukum kafir”. Dalam perkembangannya, DI/TII menyebar hingga ke beberapa daerah, antara lain:
1.       Di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar dengan nama lain Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan.
2.       Di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer Aceh. Daud Beureuh berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
3.       Di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar, juga melakukan  pemberontakan, menjadi pengacau, menyerang pos-pos kesatuan TNI dan POLRI.
4.       Di Jawa Tengah DI/TII dilahirkan dan dipimpin oleh Amir Fatah yang bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusumah.
Kelompok Amir Fatah Wijaya Kusumah inilah sayap DI/TII, yang merambah wilayah Kabupaten Purbalingga. Pusat kelompok ini ada di hutan pegunungan Dayeuhluhur, Cilacap. Benteng pertahanannya berada di gunung Karang Gumantung, di tengah Hutan Larangan, di hulu Sungai Cibeet. Benteng dikelilingi oleh bukit dan sungai sehingga sangat strategis sebagai kubu pertahanan. Selama hampir 12 tahun benteng ini tidak bisa direbut oleh pasukan TNI. Sebenarnya pasukan Amir Fatah sendiri sudah dapat ditaklukkan TNI pada tahun 1954 di perbatasan Pekalongan – Banyumas. 
Namun kegiatan pemberontakan bersenjata DI/TII belum berakhir, bahkan berlangsung sampai sekitar 13 tahun lamanya. Pengacau ini jelas telah mengganggu segala segi kehidupan rakyat, terutama mengganggu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim-piatu. Diperkirakan 13.000 rakyat Sunda, wilayah perbatasan Jawa Barat – Jawa tengah, para anggota Organisasi Keamanan Desa (OKD) dan para tentara telah menjadi korban pemberontakan DI/TII. Anggota DI/TII yang telah tewas pun tidak diketahui dengan tepat.
Mengingat bahwa gerakan tentara Darul Islam ini terutama di pegunungan, maka daerah di utara Bobotsari yang berbentuk pegunungan ini pun menjadi ajang beroperasinya tentara DI/NII. Rangkaian pegunungan Kendeng menjadi jalur lalulintas dan tempat persembunyian para anggota gerombolan DI/TII  yang dikejar-kejar oleh TNI – pasukan Banteng Raiders, dan Polisi – pasukan Brimob.
  Dhung-thang
   Dhung-thang adalah istilah untuk menyebut suatu peristiwa di jaman maraknya kegiatan DI/TII. Dhung-thang adalah dua bunyi sebuah kenthongan kayu yang dipukul pada tempat yang berbeda. Satu sisi di pukul berbunyi “dhung” dan sisi yang lain berbunyi “thang”. Kenthong kayu jaman dulu memang dijadikan sebagai alat komunikasi. Kenthong dibuat dari kayu gelondongan, di tengahnya dibuat lubang untuk beresonansi. Setiap kelurahan atau kepala desa pasti memiliki kenthong besar untuk berkomunikasi dengan perangkat desa dan warganya.
  Jaman DI/TII ada pengumuman bahwa untuk keselamatan masyarakat dari kerusuhan yang dilakukan oleh gerombolan DI/TII maka setiap rumah harus membuat lubang perlindungan senacam bunker. Lubang ini dibuat di samping rumah masing-masing dan harus cukup untuk bersembunyi satu keluarga panghuni rumah. Seperti diceriterakan oleh Bu Darminah di Desa Sempor dan Bu Sariyem di Desa Mewek, luwangan ditutupi bambu dan daun-daunan kering sehingga bunker itu tersamar dari penglihatan. Di bagian lain ada tempat semacam pintu masuk ke dalam bunker itu. 
  Menurut kedua ibu tersebut yang kala itu umurnya sekitar enam tahun beberapa kali benar-benar masuk ke bunker ketika mendengar kode dhung-thang dari pihak desa. Kenapa harus masuk bunker? Konon supaya selamat dan tidak dibawa oleh gerombolan DI/TII. Namun ada juga yang mengatakan bahwa itulah cara para pengacau untuk menghindari bentrok dengan masyarakat saat merampok isi rumah. Namun sebenarnya hal tersebut adalah akal-akalan dari para pengacau, karena ada yang setelah keluar dari bunker ternyata makanan, harta benda dan hewan peliharaan sudah dirampok. Sesuai dengan medan kegiatan Gerompolan DI/TII maka wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, dan juga sekitar wilayah Bobotsari – Karangreja, pada tahun 1958 sampai 1961, dihantui oleh perilaku pemberontak DI/TII. 
   Gerombolan DI/TII sangat membutuhkan dua hal yaitu kebutuhan logistik dan perbanyakan anggota. Untuk memenuhi kebutuhan logistik itulah gerombolan ini tak segan-segan untuk merampas dan merampok harta benda milik rakyat. Masyarakat yang tinggal di sekitar Karangreja, Serang, Tlahab Lor, Tlahab Kidul, Dagan, Palumbungan, Limbasari dan seterusnya menjadi sasaran jahat DI/TII. Dan untuk memperbanyak anggotanya DI/TII melakukan penculikan, orang yang diculik dipaksa untuk menjadi anggota DI/TII.
Bahkan penulis yang berada di Dukuh Citrakusuma, Mangunegara, Mrebet, saat SD, setiap kali mau pergi bermain malam-malam sering ditakut-takuti oleh Eyang Putri, dengan kata-kata. “Ngati-ati lho, mbok deculik Gerombolan DI!”Diceritakan pula bahwa DI adalah gerombolan jahat, suka merampok dan menculik.
Gangguan keamanan tersebut diatasi oleh masyarakat secara bergotong royong dengan cara membuat pagar keliling dari bambu, pager jaro (jaro = bilah bambu dijajar loro-loro) pada setiap rumah sampai berlapis-lapis. Secara bergiliran pemuda dan pria dewasa digiatkan untuk mengadakan ronda dan patroli kampung di malam hari.
Rumah Eyang Wirjodihardjo dan rumah Pak Gedhe Notohardjono di Citrakusuma, yang memiliki halaman luas pun ikut dipagar pakai Pager Jaro. He, he, yang membuat pager jaro biasanya Kang Tirtameja, orang Pesawahan, Karangturi.
  Sasaran dan ancaman DI/TII
   Sasaran dan ancaman DI/TII juga dilakukan terhadap para pejabat dan kantor-kantornya. DI/TII melakukan teror dan bila perlu sampai kepada pembunuhan. Hal inilah yang terjadi pada kantor dan pejabat Kecamatan Karangreja. Kantor kecamatan yang pada saat itu ada di desa Tlahab Kidul dibakar. Penghuninya yang juga pejabat kecamatan Karangreja, Asisten Wedana Sumarmo, pun dibunuh. Beliau tidak sempat melawan dan tidak mau melarikan diri. Beruntung istri beliau dan putranya yang masih kecil dapat meloloskan diri dari kepungan gerombolan DI/TII itu. Keduanya secara cerdik menyelinap dan menyusup ke tanah pekuburan Siregol, dekat rumah dinas kecamatan, yang terkenal keramat.
Asisten Wedana Soemarmo pun gugur setelah dengan caranya mempertahankan keamanan di Kecamatan Karangreja. A.W. Soemarmo telah gigih melawan gerombolan DI/TII, dan gugur pada hari Senin Kliwon, 20 November 1961.
Rakyat yang marah bersama TNI dari Pasukan Banteng Raiders dan Brimob pun bersatu, bahu-membahu menumpas teroris DI/TII di wilayah Karangreja. TNI dan Brimob berhasil mengusir gerombolan DI/TII, dan berhasil menembak mati satu anggotanya di pasar Sikandut desa Tahab Kidul.
Sebagai penghormatan terhadap kegigihan dan perjuangan A.W. Sumarmo dalam mempertahankan Wilayah Kecamatan Karangreja, maka nama beliau pun diabadikan sebagai nama jalan raya di Kota Purbalingga, Jalan A.W. Sumarmo.
Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sekitar tahun 1992 pun lalu membangun sebuah monumen peringatan berupa tugu di desa Tlahab Kidul, di bekas berdirinya Kantor Kecamatan Karangreja, Sekarang berada persis di depan SMP Negeri 3 Karangreja. Diberi nama: Monumen A.W. Soemarmo. 
Perjalanan Kartosoewirjo pun berakhir pada tanggal 4 Juni 1962. Kartosoewirjo bersama anak buahnya, Dodo Muhammad Darda, dapat ditangkap di Lereng Gunung Rakutak, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Kartosoewirjo yang berusia 57 tahun itu menyerah kepada pa­sukan Batalion 328 Kujang yang dipimpin Letnan Dua Suhanda. Ia tergolek lemah di dalam sebuah gubuk, ada luka di kakinya yang makin parah. Keris pusaka, Ki Dongkol, piyandelnya masih terselip di pinggangnya. Dengan cara ditandu, Kartosoewirjo diturunkan dari lereng Gunung Rakutak. Pada tanggal 5 September 1962, hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirdjo berakhir, ia dieksekusi oleh regu tembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Demikian serba sedikit cerita salah satu tokoh di Purbalingga, A.W. Soemarmo. Semoga bermanfaat.
Salam!

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *