Hukum Kirchhoff Berlaku Juga di Pewayangan

Untuk yang menyukai pelajaran fisika, tentu masih ingat dengan Hukum Kirchhoff, ternyata hukum ini tergunakan juga di dalam dunia pewayangan.

 

Robert Kirchhoff

G Robert Kirchhoff, dari Jerman, yang hidup pada tahun 1824 – 1887, adalah figur yang menemukan Hukum Kirchhoff.

Berbunyi: “Arus yang masuk pada titik percabangan, sama dengan, kuat arus yang keluar pada titik percabangan tersebut”.

Rumus ini ternyata, sepertinya, terdapat juga di dalam cerita Mahabharata versi para pujangga Jawa.

 

Anak Pandawa

Bahwa kisah Mahabharata, yang aslinya, dari Negara India,di dalam buku Mahabharata, anak Pandawa itu hanya ada dua, yaitu Gatotkaca dan Abimanyu.

Namun para pujangga Jawa, para wali yang memanfaatkan cerita wayang ini untuk berdakwah, di hari kemudian sengaja melahirkan tokoh-tokoh yang sakti tanpa tanding, dari golongan anak Pandawa yaitu: Antareja, Antasena, dan Wisanggeni.

Dengan tambahan tokoh tersebut maka tentu menjadi mudah dan lebih leluasa dalam membuat cerita carangan.

Tokoh-tokoh baru dapat berguna untuk membuat cerita baru, menjadikan mereka sebagai pokok awal cerita dan dapat pula sebagai tokoh kunci untuk penyelesaian masalah.

Dunia pewayangan menjadi semakin memikat untuk diceritakan dan meriah untuk dimainkan, misalnya lakon; Antasena Takon Bapa, Laire Wisanggeni dll.

 

Hilang Tokoh

Namun di akhir cerita yaitu pada episode perang Bharatayuda, ternyata tokoh-tokoh sakti tersebut dihilangkan.

Sehingga di dalam perang Bharatayuda, kembali, hanya ada: dua anak Pandawa, yaitu Gatotkaca dan Abimanyu. Masuk ada dua, maka saat keluar pun ada dua juga.

Jadi para pujangga pewayangan itu, seperti mengaplikasikan Hukum Kirchhoff, di mana arus yang datang sama dengan arus yang pergi.

Dalam Mahabharata yang datang adalah Gatotkaca dan Abimanyu maka ketika memasuki perang Bharatayuda, kembali, anak Pandawa hanya ada Gatotkaca dan Abimanyu.

Uniknya, untuk mengakhiri hidup tokoh-tokoh sakti tersebut, masing-masing tokoh berakhir dengan cara yang paling mudah.

Mereka cukup diminta keikhlasannya untuk mengakhiri hidupnya, dengan alasan kalau mereka ikut berperang maka Pandawa justru akan menjadi kalah.

 

Dramatis dan Tragis!

Matinya tokoh Antareja, disuruh ikhlas bunuh diri, dengan cara menjilat bekas tapak kaki dirinya.

Matinya Antasena dan Wisanggeni, hampir sama, keduanya disuruh untuk mengheningkan cipta, lalu dibantu oleh Sanghyang Wenang, akhirnya moksa dan lenyap tak berbekas.

Kenapa dihilangkan?

Apa agar alur cerita perang Bharatayuda sesuai dengan aslinya? Mungkin!

Atau mungkin, kalau dipaksakan, maka alur ceritanya akan menjadi semakin rumit, dan sulit untuk dibuatkan solusinya.

Dan mungkin pula, justru kesulitan mendapatkan solusi inilah yang sesungguhnya dijadikan alasan sebagai penyebab Pandawa kalah perang.

 

Kalah Perang

Artinya jika Antasena, Antareja dan Wisanggeni ikut perang Bharatayuda, akan berakibat para pujangga Jawa itulah yang sebenarnya “kalah perang”, karena kesulitan mencari solusi agar alur cerita Bharatayudha tetap sesuai dengan aslinya.

Yang kalah perang sesungguhnya jutru para pengarangnya, yang membuat para tokoh tersebut.

Mungkin!
Begitu!

Demikianlah cerita tentang hubungan antara hukum Kirchhoff, yang datang belakangan, dengan kisah Pewayangan Jawa.

Para pujangga dengan lugas dan bijak, mengemas kisah Mahabharata, sengaja menambahkan beberapa tokoh, mengembangkan cerita, dan akhirnya pun dikembalikan lagi agar sesuai dengan pakem aslinya.

.

“Sejak kapan, kenal wayang, Pak?”
“Sejak kecil, sudah mainan wayang!”
“Gambar wayang kertas, yang untuk mainan, apa namanya, dulu?”
“Mainan wayang, dulu, namanya: umbul, cemeh, dan tepo”
“Masih, ingat, cara mainnya, Pak!”
“Masih!”
“Siip!”

Semoga bermanfaat
Nuwun
.

BACA JUGA : Seksualitas Dalam Pewayangan

toto endargo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *