Gendhing dan Catatan
Sedikit mengulik lirik tembang Witing Klapa. Ditinjau dari makna syairnya, tembang ini adalah curhatan seorang pria yang sedang jatuh cinta.
Dari makna tersebut, maka tembang ini, rasanya lebih pas jika ditembangkan oleh para pria, dibandingkan jika dinyanyikan oleh para sinden, putri.
===
Lirik
Tembang Witing Klapa
.
Witing klapa, jawata ing ngarcapadha
Salugune wong wanita
Dasar nyata kula sampun njajah praja
Ing Ngayogya – Surakarta
.
Sekar Kawis, cinawis kembang Melati
Dasar manis merak ati
Aduh Gusti sun rewangi pati geni
Pitung dina, pitung bengi
===
Terjemahan Bebas
Batang kelapa, dewa yang berada di bumi
Sesungguhnya, ada seorang wanita
Terus terang, saya telah menjelajahi negeri
Yaitu negeri Ngayogyakarta dan Surakarta
Bunga pohon Kawis, disajikan sebagai bunga Melati
Wanita itu, benar-benar manis dan menarik hati
Aduh Gusti, saya rela untuk melakukan “pati geni”
Tujuh hari, tujuh malam
===
Sastra dalam Syair
Pertama: Bentuk Wangsalan:
Wangsalan adalah salah satu keistimewaan dalam sastra Jawa. Wangsalan adalah menampilkan kalimat-kalimat yang sesungguhnya mengandung tebakan. Jawaban dari tebakan, akan menjadi akar kata dari kata yang sesungguhnya diinginkan.
Untuk kalimat:
Witing klapa, jawata ing ngarcapadha; Sa-lugu-ne wong wanita
Witing klapa = Batang pohon kelapa, dalam Bahasa Jawa namanya “glugu”. Kata glugu untuk membentuk kata “sa-lugu-ne”
Jawata ing ngarcapadha = Dewa yang berada di bumi adalah orang. Dalam Bahasa Jawa orang disebut sebagai “wong”. Kata “wong“ untuk membentuk kata, kebetulan tetap, “wong”
Kalimat sesungguhnya yang diinginkan dan tersimpan dalam tebakan, atau wangsalan tersebut, adalah kalimat: Sa-lugu–ne wong wanita
Untuk kalimat:
Dasar nyata, kula sampun njajah praja; Ing Ngayogya – Surakarta
Itu kalimat wajar, kalimat berita. Mementingkan bentuk bersanjak. Pemberitahuan bahwa dia, pria, sudah menjelajahi wilayah dua kerajaan, yaitu Kerajaan Ngayoyakarta dan Kerajaan Surakarta
===
Kedua: Bentuk Parikan
Parikan, dalam Bahasa Indonesia adalah pantun. Mengutamakan bentuk sajak, bentuk bunyi pada akhir kalimat.
Untuk kalimat:
Sekar Kawis, cinawis kembang Melati; Dasar manis merak ati
Sekar kawis (Bunga pohon Kawis) — bersajak dengan kata “dasar manis”
Cinawis kembang melati (disajikan bunga Melati) — bersajak dengan kata “merak ati”
===
Ketiga; Bentuk Curahan Hati.
Dari kalimat-kalimat yang tersaji secara lengkap, sesungguhnya syair tembang Witing Klapa ini adalah curahan hati dari seorang laki-laki yang terpikat kepada seorang perempuan yang menurutnya manis dan menarik hati.
Berceritera tentang kekaguman seorang lelaki terhadap seorang perempuan. Perempuan itu manis dan menarik hati, dan menurutnya itulah yang benar-benar disebut perempuan (liriknya: salugune wong wanita).
Karena sang wanita pergi, keberadaannya entah dimana, pria ini nekad mencarinya, dan sudah menjelajahi wilayah kerajaan (liriknya: Dasar nyata, kula sampun njajah praja). Ada dua negara yang dijelajahinya yaitu di Kerajaan Nyayogyakarta dan Kerajaan Surakarta (liriknya: Ing Ngayogya – Surakarta)
Dua baris pada bait kedua, mengungkapkan tentang kekagumannya terhadap wanita yang manis dan sangat menarik hatinya, dalam bentuk pantun, atau parikan (liriknya: Sekar Kawis, cinawis kembang Melati, dasar manis, merak ati).
Baris berikutnya sang pria menunjukkan kerasnya kehendak untuk memiliki sang wanita idaman. Tekadnya, jika Gusti Allah mengijinkan, sang pria bersedia akan melakukan “pati geni” (liriknya: Aduh Gusti, sun rewangi pati geni)
Melakukan “pati geni” adalah kegiatan untuk memohon kepada Yang Kuasa, dengan cara berprihatin, menahan untuk tidak makan, minum, selalu di kamar tertentu, menahan diri untuk selalu terjaga, tidak tidur, sampai pun harus mampu menahan hasrat, dalam bentuk nafsu maupun keinginan ke belakang.
Untuk mendapatkan wanita idamannya, jika harus melakukan langkah pati geni, sang pria pun bersedia untuk melakukannya selama tujuh hari tujuh malam (liriknya: Pitung dina, pitung bengi)
===
Kenangan Penulis:
Terkenang sekitar tahun 1980. Di SMP Negeri 2 Purbalingga siswa dan guru jika istirahat berkenan untuk menabuh gamelan. Saat itu SMP Negeri 2 Purbalingga masih memiliki dua pangkon gamelan.
Ada Pak Iman Radjuki, Pak Ribut Pratomo, Pak Bambang Gumono, Pak Edy Wiratno, Pak Soenaryo B, Pak Darso, Ibu Tumini, dan yang lain. Gamelan ditempatkan di ruang paling selatan – barat. Sebelah ruang laboratorium.
Gendhing Witing Klapa menjadi salah satu yang sering dikumandangkan.
Syairnya tampak sederhana, namun ada kesulitan untuk memahami makna secara utuh. Karena yang ditembangkan saat itu hanya satu bait.
Pada kata “Salugune wong wanita, dasar nyata, kula sampun njajah praja, ing Ngayogya – Surakarta”.
Pendapat saya saat itu adalah syair ini menggambarkan kebanggaan seorang wanita yang sudah melakukan pengembaraan di dua negara, Yogyakarta dan Surakarta. Mungkinkah!
Mungkinkah seorang wanita mengembara ke wilayah dua negara hanya sekedar berpetualang? Dalam rangka apa seorang wanita berani “keluyuran” menjelajahi dua kerajaan Ngayoyakarta dan Surakarta? Sedikit sangsi!
Kini, seiring dengan waktu. Setelah menemukan bait kedua, dengan perenungan yang cukup, dapat diambil kesimpulan bahwa syair lagu tersebut adalah curahan hati seorang pria yang sedang jatuh hati kepada seorang wanita yang menurutnya sangat manis dan menarik hati.
Bait kedua saya dapatkan saat mendengarkan mp3, pagelaran wayang dengan dhalang Ki Sugino Siswocarito, pada adegan Gara-gara, ditembangkan Gendhing Witing Klapa.
Maturnuwun Pak Sugino Siswocarito, berkat panjenengan kula dados saged dhong undering karep, salebeting pocapan tembang Witing Klapa.
Terimakasih kepada saudara-saudara yang pernah memuat ulang tulisan saya ini, (yang dulu) tanpa ijin, tanpa menuliskan asal tulisan, tanpa mengubah satu hurufpun, sehingga sama persis dengan aslinya. Tulisan yang ini adalah tulisan yang sudah mengalami revisi.
Demikianlah sedikit pendapat dalam mencermati sastra Jawa yang tertuang dalam Tembang Witing Klapa.
Menuju : Gendhing Witing Klapa – Sekar Kawis
Semoga bermanfaat
Salam
Toto Endargo
.