Bahwa ada saatnya siswa akan bertanya hal yang tidak terduga oleh gurunya, contohnya dalam gangguan bahasa ini.
Prolog
Giri lusi, janma tan kena ingina. Anak yang tampak lemah seperti cacing ini, ternyata tidak boleh diremehkan.
Pertanyaannya bikin sang guru berkeringat dingin.
Jam Terakhir.
Guru IPS, siap mengajar, percaya diri, bangga berpredikat sebagai akademisi. Hari ini bicara tentang sistem pemerintahan Monarki. Guru kreatif, ada slide, laptop dan LCD.
PBM berlangsung lancar.
Sepuluh menit lagi, sekolah usai, siswa akan kembali ke rumah masing-masing.
Kini, sang guru berdiri di depan para siswanya. Sedikit mengulas sistem monarki, hal kerajaan. Akhirnya sampai pada kesimpulan:
“Monarki, kekuasaannya diturunkan. Disebut kerajaan karena penguasanya adalah raja, raja memiliki kekuasaan mutlak, memiliki sistem pemerintahan sendiri, memiliki wilayah, dan rakyatnya harus tunduk pada rajanya!”
Lesu.
Suasana siang yang panas, siswa bersikap pasif, yang penting anteng. Guru tanggap ing swasana. Guru ingin bergurau sedikit, segera memberikan pertanyaan yang mudah.
“Anak-anak, ada yang tahu, mengapa negara yang dikuasainya disebut, kerajaan?”
Siswa sekelas diam. Tak ada yang minat menjawab. Suasana jadi sedikit mencekam.
Sementara itu, remaja putri yang manis, yang duduk di baris kedua, sedang asyik merangkum keterangan guru, dengan cepat mencatat:
— Monarki, penguasa tunggal, diturunkan
— Kerajaan, Raja, Kekuasaan Mutlak, Sistem sendiri, wilayah, rakyat patuh.
…….
Kesuh
Guru IPS itu kesuh. Lalu keluar tanduknya.
“Anak-anak, percuma saja kalian sekolah. Mubah! Kasihan orang tua. Pertanyaan mudah saja, tidak kalian jawab”
Siswa sekelas diam. Tak ada yang minat menjawabnya. Guru keluar egonya.
“Kalau begitu, dibalik. Kamu yang tanya, Pak Guru yang jawab. Ayo tanya!” ada nada menantang di suaranya.
Tanya
Remaja putri yang manis itu, mengangkat tangannya. Guru tersenyum, merasa senang, yang tanya adalah siswa yang manis.
Guru percaya diri, ilmu guru lebih mapan dibandingkan ilmu siswanya.
“Maaf, Pak!” Dada si manis berdebar keras, “Apakah boleh, kata raja, saya ganti, Tuhan?”
“Maksudmu?” wajah guru agak memerah.
“Maaf, Pak. Kalau raja jadi kerajaan. Maka Tuhan jadi ketuhanan. Penguasa kerajaan adalah raja, maka penguasa ketuhanan adalah Tuhan!”
Sang guru tertegun.
Kalau kerajaan jelas semacam negara, salah satu bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh raja, identik dengan kesultanan, kekaisaran.
Kalau ketuhanan? Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Kuasa, berarti hal kekuasaan. Ditatapnya wajah si manis dengan dahi berkerut.
Giri lusi, janma tan kena ingina. Anak yang tampak lemah seperti cacing ini ternyata tidak boleh diremehkan.
Pertanyaannya bikin sang guru berkeringat dingin.
“Boleh, tidak, Pak?” Desak si manis. Gurunya terdiam, semakin memucat. Kelas menjadi hening. Beruntung. Bell tanda usai pelajaran berbunyi.
“Jawabannya, minggu depan” lirih suara guru. Semuanya berdoa, akhir pelajaran. Semua keluar kelas.
Pukul sebelas malam.
Sang Guru IPS masih berfikir, bolehkah kata ketuhanan dimaknai sebagai semacam bentuk negara atau bentuk pemerintahan?
Tuhan Yang Maha Esa dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, kan, mesti beda maknanya.
Beda!
.
Kok bisa, si manis itu mengidentikan kata kerajaan dengan ketuhanan! Sapa sing ngajari? Kalau identik, bagaimana memaknai kata Ketuhanan pada sila Pancasila.
Secara umum kan maknanya, pengakuan Bangsa Indonesia tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta alam semesta dan segalanya, bukan pengakuan terhadap “kerajaan” Tuhan.
Ah, gawat. Kalau gadis manis itu bertanya hal itu lagi, apa jawabnya?
Monarki apa bukan, karena penguasanya tunggal, Esa, absolute?
Laah …
.
Epilog
Raja = Kerajaan
Sultan = Kesultanan
Kaisar = Kekaisaran
Tuhan = Ketuhanan
Ah, mungkin ini hanya masalah bahasa.
Tek telpon bu guru bahasa Indonesia baelah. Eh, nggak sopan, tengah malam, lagipula bu guru masih sendiri.
Ganti, telpon guru PPKn! Malah dapat jawaban, “Tengah mbengi, takon! Ngganggu! Ngesuk baelah! Madhehi! Wis pensiun, esih detakoni, mayan!”
Ngomahi!
Hehe …
.
Begitulah.
Gangguan Bahasa
Semoga bermanfaat
.
Sedang sedikit usil
Nuwun
Catatan:
Giri = gunung; lusi = cacing; janma = manusia; ingina = dihina.
Giri lusi, janma tan kena ingina = gunungan cacing, walaupun tampak lemah jangan disepelekan, juga kepada manusia, tidak boleh menghinanya.
.