Dinamika perilaku politikus saat bersaing berebut kekuasaan, akibat dan nasib pejabat jika sampai lupa diri dan mabuk kekuasaan.
Tembang Dhandhanggula – Semut Ireng adalah sebuah tembang yang memiliki lirik sangat memikat, membicarakan dunia politik praktis.
Seiring dengan pengetahuan penulis, rasanya baru sadar, bahwa lirik dalam Dhandhanggula – Semut Ireng, ini, konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.
Liriknya, ternyata punya makna yang sangat menyentuh, mengupas kehidupan rakyat kecil dan kehidupan perpolitikan para pejabat.
Di bawah ini adalah murni pikiran penulis.
Mencoba membuat narasi makna lirik tembang Dhandhanggula – Semut Ireng, berdasarkan ucapan atau tembung, yang masih saya ingat.
Dhandhanggula – Semut Ireng
Semut ireng anak-anak sapi
Kebo bungkang anyabrang bengawan
Keong gondhang crak sungute
Timun wuku ron wolu
Surabaya geger kepati
Geger wong ngoyak macan
Den wadhahi bumbung
Alun-alun Kartasura
Gajah meta cinancang wit sidaguri
Mati cineker ayam
Terjemahan dan makna bebas, baris per baris:
- Semut ireng anak-anak sapi = Semut hitam beranak sapi.
Mengibaratkan orang kecil (semut ireng) yang memiliki anak berpotensi istimewa (sapi).
Anak yang punya masa depan di bidang politik, pantas jadi pemimpin yang dibutuhkan dan diminati banyak orang.
Baik di tingkat dusun maupun di tingkat yang lebih tinggi.
Mungkin karena cara bicaranya, kejujuran, kecantikan, ketampanan maupun kecerdasan dan keterampilannya dalam mempengaruhi lingkungan.
Rakyat kecil dan anaknya ingin memiliki masa depan yang bagus, syukur menjadi pembesar atau pejabat.
- Kebo bungkang anyabrang bengawan = Kerbo tua menyeberangi sungai besar
Orang tua (kerbau tua)-nya harus mengusahakannya dengan mengarungi (anyabrang) perjuangan yang berat (bengawan), sebab jalan untuk menjadi pejabat perlu banyak pengorbanan, serba sulit dan penuh risiko.
Juga mengibaratkan bahwa orang tua atau pejabat senior (kebo bungkang) pun akan kesulitan mengatasi manuver anak-anak yang agresif dalam perpolitikan.
- Keong gondhang crak sungute = Siput gondhang pendek sungutnya
Siput gondhang adalah siput yang ada di sawah dan parit-parit, memiliki alat indra, antene yang pendek
Jika orang tua, rakyat kecil (keong gondhang) dan keluarganya tidak mampu menganalisa situasi politik dengan baik (crak sungute) maka akan sangat merugikan, bisa terpuruk tanpa ampun.
Karena untuk jadi pejabat, seseorang harus mampu menguasai masalah politik secara maksimal, memerlukan “indra perpolitikan” yang mumpuni, bukan yang pendek akal (crak sungute) dan buta informasi.
Bahkan untuk pejabat yang tidak memiliki kepekaan dinamika politik yang sedang terjadi, juga akan kelimpungan karena bisa kalah bersaing dengan yang lebih agresif untuk bermanuver menggalang dukungan.
- Timun wuku ron wolu = Timun wuku daun delapan
Timun wuku, wungkuk, bungkuk, adalah timun yang tidak bagus, biasanya untuk imbuh, tambahan, diberikan cuma-cuma.
Berpolitik jika hanya seperti timun wungkuk, yang berdaun tidak rimbun, hanya didukung oleh sekelompok pendukung yang terbatas pendukungnya (ron wolu), maka keikutsertaannya akan menjadi hanya sebagai pelengkap (timun wuku), sekedar formalitas.
Kekurang-cakapannya dalam pergaulan perpolitikan, akan berakibat menjadi peserta kompetisi yang tidak berpotensi untuk menang, hanya untuk penggembira.
Jadi kalau ingin jadi pejabat harus orang yang berpengetahuan, memiliki keterampilan, dan hidup dalam kewaspadaan politik yang maksimal.
- Surabaya geger kepati = Surabaya menjadi sangat gempar
Surabaya dari kata ikan sura, (ikan hiu) dan buaya, dua binatang yang besar dan berbahaya.
Jika pejabat besar dan punya banyak pengaruh (seperti ikan hiu dan buaya), keduanya bertempur akan mengakibatkan kegemparan yang parah (geger kepati).
Artinya di saat terjadi perebutan kekuasan, berebut jabatan, maka wilayah tersebut akan terjadi kegemparan, geger, terjadi persaingan, ada konflik keberpihakan.
Apalagi jika yang berebut kekuasaan dan jabatan itu adalah orang-orang yang berpengarauh besar, pasti akan terjadi kegemparan yang merata.
- Geger wong ngoyak macan = Gempar orang mengejar harimau.
Harimau sebagai perlambang jabatan tinggi.
Baris ini menjelaskan bahwa kegemparan juga bisa terjadi saat orang berlomba mengejar jabatan atau justru mengejar pejabat (macan) yang sedang berkuasa untuk dihentikan masa jabatannya.
Terjadi kegemparan saat ada pihak yang ingin menurunkan seorang pejabat, atau pembesar.
Mengejar-kejar (ngoyak) pejabat untuk ditangkap, atau dicari-cari salahnya, dan jika mampu untuk menggantikannya setelah pejabat target dapat dilengserkan.
- Den wadhahi bumbung = Memasukkan ke dalam lubang ruas bambu.
Politik itu tidak pandang bulu, tega saja memasukkan pejabat yang kalah dan terlengserkan ke tempat yang tidak nyaman (bumbung).
Walaupun pejabat yang kalah itu adalah teman seperjuangan, bisa saja ditelikung dan menjadi korban politik.
Bahwa sesungguhnya setiap orang, setiap kelompok, masing-masing memiliki kiat politik untuk keuntungan dirinya atau kelompoknya.
Sehingga dapat terjadi seorang yang telah berhasil menjadi pejabat, ternyata dibawa ke dalam situasi yang sulit (bumbung), dan tidak mampu menggunakan kekuasaannya secara maksimal.
Mempersempit perannya sebagai pejabat.
Pejabat tersebut seperti dikurung, kekuasaannya menjadi sangat terbatas.
Secara formal tampaknya dia pejabat, tapi ternyata hanya sebagai boneka, kekuasaan yang sesungguhnya ada di luar diri pejabat tersebut.
Dan kadang, tidak cukup mengebiri kekuasaannya, bahkan bisa terjadi, seorang pejabat masuk dalam perangkap untuk dijebloskan ke dalam masalah hukum dan memasukkannya ke dalam penjara.
- Alun-alun Kartasura = Alun-alun Kartasura
Alun-alun adalah tempat yang luas. Kartasura dari kata karta (makmur, berjaya) dan sura (berani, perwira).
Jika ingin menjadi pejabat atau sudah menjadi pejabat hendaknya memiliki pengetahuan yang luas, minimal seluas alun-alun, seluas wilayah kekuasaannya. Mampu berpolitik dengan “sempurna”.
Karena untuk menjadi makmur, untuk berjaya (karta) diperlukan keberanian (sura) yang cukup, harus memiliki keperwiraan yang mapan.
Sesungguhnya banyak tempat (alun-alun) untuk berjaya, tidak hanya menjadi penguasa, asalkan seseorang punya keberanian, dan keperwiraan yang baik dan mumpuni.
- Gajah meta cinancang wit Sidaguri = Gajah mabuk diikatkan ke pohon Sidaguri.
Pohon Sidaguri (sida rhombifolia), adalah tanaman perdu pendek.
Pejabat (gajah) yang mabuk (meta) kekuasaan atau mabuk harta umumnya akan terhenti kekuasaannya hanya karena diikat atau dipancing (cinancang) oleh hal-hal yang sepertinya kecil (wit sidaguri).
Faktanya banyak pejabat yang lengser karena, korupsi, pelecehan terhadap bawahan, mengeluarkan kata-kata tak senonoh dan bisa juga karena terpancing asmara.
Bisa juga dipancing untuk mengeluarkan statemen sederhana namun yang dapat membuat sang pejabat terlibat dalam polemik berkepanjangan dan akhirnya dapat mengancam kedudukan pejabat tersebut.
- Mati cineker ayam = Terbunuh karena dicakar ayam.
Pejabat yang turun tahta (mati) karena dituntut (cineker) oleh rakyat kecil (ayam), misal karena banyak rakyat yang protes, melakukan demontrasi terus-terusan, tidak puas terhadap kebijakan atasannya atau perilaku pejabatnya.
Pejabat lengser karena difitnah, dibully, dibuka aibnya, dikucilkan, dan akhirnya terpuruk karena tidak dipilih kembali oleh rakyat kecil yang mayoritas tidak suka padanya.
Penjelasan bebas secara keseluruhan:
- Baris pertama sampai baris keempat menggambarkan rakyat kecil yang ingin anaknya menjadi pejabat, mereka harus waspada saat mengarungi kehidupan yang serba sulit dan penuh risiko.
Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, tidak memiliki keterampilan yang mapan. Mereka yang bermodal keterbatasan tentu akan sulit menjadi orang besar atau pejabat.
- Baris ke lima sampai sampai ke tujuh menggambarkan dunia perpolitikan yang nyata, kiat-kiat politik saat mengejar kekuasaan.
Bahwa di saat “pertempuran” orang-orang besar, yang sedang berebut kekuasaan akan membuat “kegemparan atau keributan” yang masif. Terutama kegemparan bagi rakyat kecil.
Namun bagi pemenang yang kurang waspada, dapat terjadi yang tampaknya sudah berhasil berkuasa ternyata itu hanya formalitas.
Ternyata menjadi pejabat boneka, kekuasaan yang sesungguhnya justru berada di luar diri pejabat tersebut.
- Baris ke delapan sampai ke sepuluh menyampaikan akibat jika ceroboh dalam mengejar kekuasaan.
Bahwa sesungguhnya banyak tempat untuk dapat hidup makmur dan berjaya asalkan punya keberanian, dan sifat ksatriya, sifat pejuang yang perwira.
Jika ada pejabat yang pada akhirnya mabuk kekuasaan, mabuk harta maka kekuasaannya akan terhenti karena diikat atau dipancing oleh hal-hal yang kecil, misal korupsi, pelecehan seksual, bermain kata-kata dan juga karena mabuk asmara.
Kekuasaan terhenti, turun tahta, karena di demo, dibully, dibuka aibnya, dikucilkan, dan tidak terpilih kembali oleh rakyat kecil yang tidak suka padanya.
Kesimpulan
Lirik tembang “Dhandanggula – Semut Ireng” secara keseluruhan menceritakan dinamika kehidupan rakyat kecil atau mereka yang memiliki kemampuan terbatas.
Jika ingin keturunan mereka hidup sejahtera dan berjaya harus melalui perjuangan yang berat.
Juga berisi tentang dinamika perilaku para pejabat dimulai dari persaingan, berebut jabatan, akibat persaingannya, dan nasib pejabat jika sampai lupa diri dan mabuk kekuasaan.
Semoga tulisan ini sedikit menambah pengetahuan.
Salam!
Purbalingga, 14 Februari 2020
Toto Endargo