Cerita Remaja SMP: – Senyum yang Aneh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cerita Remaja

Senyum yang Aneh

Toto Endargo

.

Jatuh cinta sungguh sesuatu yang mengesankan, namun kadang, justru hanya seperti mempersulit diri sendiri.

Seseorang yang jatuh hati ada kecenderungan, sengaja mencari-cari kegiatan yang dianggap ada hubungannya dengan idaman hatinya.

Tak terkecuali cinta monyet yang sempat menghampiri Dwiana Prihartanto, anak SMP Negeri 2 Purbalingga yang suka nulis puisi ini.

Anak kelas 3A ini, tertarik kepada Indah Tarnowati anak kelas 3C. Bara perhatian sudah bersemi sejak sama-sama di SD Purbalingga Wetan 3.

“Dwi, Indah mriyang kae. Bali jam ketiga, pas olahraga. Bali nunggang becak” celethuk Yulia Eko Winarni di depan perpustakaan sambil berlalu.

Dwiana terkesiap. Jika tidak karena sesuatu yang serius, tidak mungkin Indah Tarnowati pulang jam ketiga. Pas olahraga? Jangan-jangan jatuh saat olahraga.

“Apalagi saat dikau sakit, Indahku, saat sehat pun engkau ada di dadaku!” puisi yang tercetus di benaknya. Ia membayangkan telah hadir di rumah Indah.

“Indah, di pintumu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling!” saduran kalimat dari puisinya Chairil Anwar.

Saat pelajaran IPS Ekonomi  bener-benar tidak masuk dalam pikirannya. Ia membayangkan berada di rumah Indah.

Ia hadir menengok sakitnya. Ada senyum dan ucap terimakasih dari Indah. Oh, betapa mengesankan!

Tiga temannya telah meledeknya dengan lontaran kata yang membuatnya melamun saat diajar.

“Tirulah tindakan Napoleon. Serangan yang berhasil adalah serangan yang dilakukan secara tiba-tiba!” Nasehat Aniffudin Azis

“Yen wani aja wed-wedi, tapi yen wedi aja wani-wani!” kata Riza Junianto

“Percuma wanine neng majalah dinding thok. Puisi-puisi melulu. Gombal!” kata Wayoeng

“Oh, bocah dewulang, ngalamun bae!” suara Bu Titie Purwati sambil menatap Dwiana.

“Mikirna Indah Tarnowati, Bu!” suaranya Risa Hermawan, tak kalah keras dengan suara yang lain.

Pelajaran hari itu usai sudah.

***

Dwiana berlari ke kelas 3E. Himawan adalah dewa penolong baginya. Akan kulabuhkan permohonanku untukmu sahabatku! Gumam Dwiana.

Kau harus menemaniku ke rumah Indah. Tekadnya: Bukit kan kudaki, lautan kan kuseberangi! Apalagi hanya ke tempat Indah di Bancar!

He, he, he..

Indah, di pintumu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling!”

***

Pukul tiga sore. Hari Kamis Wage.

Dwiana dan Himawan bersepeda dari penambongan ke Bancar.

Ada debar di dada Dwiana. Wajah Pak Istarno, bapaknya Indah, yang belum dikenalnya, dibayangkannya sebagai seseorang yang dapat membuatnya takut.

Himawan pun bersedia ikut hanya bermodalkan setia kawan.

Ayah Indah dibayangkannya, berdiri di depan pintu dengan kumis melintang, berseragam POLRI dengan pistol di pinggang.

“Kamu nggak takut pada bapaknya Indah, Dwi” tanya Himawan dengan jidat agak mengkerut.

“Takut juga sie. Tetapi ini satu kesempatan. Alasan yang jitu untuk main ke tempat Indah!” jawab Dwiana.

Sampailah di Bancar. Kedua sepeda dijagrag dengan hati-hati.

Rumah Indah sepi.

“Assalamu’alaikum!” kata pembuka yang sudah disiapkan. Sepi! Tiada jawaban.

“Assalamu’alaikum!” kata kedua. Sepi. Dua remaja tanggung ini saling berpandangan.

Lima menit kemudian. Sesaat setelah bunyi pintu mobil dihentakkan. Seorang wanita dengan kebaya pink mendekati keduanya.

“Lho, ini siapa? Kok nggak masuk?” sapa awal ibu-ibu berkebaya pink ini.

“Saya, anu .., saya Dwiana, Bu! Teman Indah, Bu!”

“Lho, Indah dimana? Kok nggak masuk? Saya Ibunya Indah! Ayo masuk!” ajak Bu Istarno dengan sangat ramah,

“Ini siapa?” tanyanya kemudian kepada Himawan,

“Himawan, Bu!”

Bu Is membuka pintu depan. Dan sebuah ruang tamu menyapa ketiganya.

Kedua remaja ini pun duduk dengan sopan. Ada seberkas sinar ceria membayang di jidat Dwiana.

Kepercayaan dirinya menguat.
“Kepercayaan tanda menyerbu!” Dwiana ingat puisinya Chairil Anwar.

“Lho, rumah kok sepi begini. Pada kemana?” kata Bu Istarno seperti kepada dirinya sendiri.

“Ibu baru dari Banjarnegara, bersama-sama ibu-ibu Bhayangkari. Tadi berangkatnya pagi, dan ini baru sampai ke rumah” penjelasan Bu Istarno.

“Mau minum apa?” tanyanya, “Sebentar yaa!” lanjutnya.

Bu Istarno masuk ke ruang dalam, kemudian terdengar ia memanggil seseorang dengan panggilan, “Biii!”.

Tujuh menit kemudian seorang yang barangkali tadi dipanggil Bi ini, datang membawa nampan berisi tiga cangkir teh manis. Ah, sepiring kue. Luar biasa!

Berikutnya Bu Istarno ikut duduk menemani keduanya. Tanya alamat rumah dan mengulangi lagi tanya nama dan kelas berapa. Dijawabnya dengan sopan.

Dwiana pun mengungkapkan perhatian lebihnya kepada Indah, siapa tahu Bu Is jadi mertuanya! He, he..!

“Maaf, Bu. Saya sebenarnya mau nengok Indah, Bu. Katanya sakit!”

“Lho, Indah sakit? Saya malah nggak tahu. Ceriteranya bagaimana?”

“Tadi pagi, Indah katanya jatuh saat olah raga. Berdarah. Lalu indah dinaikkan becak, pulang!”

“Jam berapa dia sakit?”

“Sepertinya sekitar jam sembilan, Bu!”

Jam sembilan berarti Bu Istarno sudah berangkat ke Polres, bhayangkarian!

Betapa mulianya hati kedua anak ini, begitu kata batin Bu Istarno.

“Oh, jadi mas Dwi sama Mas Wawan ini mau nengok Indah yang katanya sakit!”

“Iya, Bu. Katanya berdarah lagi!” jawab Himawan dengan mimik muka memelas.

“Mau melihat apanya yang berdarah?” tanya Bu Is yang memahami alam pikiran keduanya.

“Iya, Bu!” jawab Dwi dengan polos. Ada rasa santai yang mendominasi jidat.

“Kuehnya dimakan! Tehnya diminum!” katanya sambil menyodorkan piring kue! Keduanya mengambil satu-satu. Bu Is berdiri.

“Ibu belum tahu juga kalau Indah sakit. Coba Indah saya cari dulu ya?” katanya.

***

Indah Tarnowati

Ada kepuasan yang mengalir ke benak Indah setelah semangkok bakso pedas melewati lidahnya.

Rasa pedas dan panas masih tersisa,  bau bakso di samping jembatan, dan bunyi grojogan air sungai Larangan masih terngiang. Makan bakso berdua teman sekampung!

Bagaikan pancaran magnet yang ditebarkan oleh ibunya, ia merasa bahwa harus segera pulang.

Benar juga. Tiga puluh meter dari belakang rumah ia bertemu dengan ibunya.

“Indah, kamu sakit! Kenapa keluyuran?” tegur ibunya dengan tegas. Haah!

“Kamu jatuh saat olahraga?” tanya ibunya lagi. Indah menggeleng.

“Ayo masuk! Itu ada temanmu nengok kamu. Dia mengatakan, katanya kamu sakit!”

Indah masih belum paham kata-kata ibunya. Namun keduanya segera masuk rumah.

Indah ke kamar mandi mencuci tangan, muka, dan kaki. Ibunya sudah menunggunya di kamar.

“Benar, tadi pagi kamu pulang jam sembilan?” Indah mengangguk.

“Naik becak?” Indah mengangguk.

“Berdarah?” Indah mengangguk.

“Lho, kamu sakit apa? Itu teman-temanmu mau lihat lukamu!” Indah menggeleng.

“Ibuuuu !” teriak Indah pelan.

Mulutnya dimajukan. Jari telunjuknya ditempelkan ke bibirnya. Ibunya terbeliak kaget.  Kedua pipi ibunya dipegangnya dengan kedua telapak tangannya.

“Massa Ibu nggak tahu kenapa saya dianggap sakit?”

“Kenapa?” Indah mendekatkan bibir ke telinga Ibunya. Ketika bibirnya bergerak ada bunyi, “Biasa, Bu. Setiap remaja wanita kan setiap bulan ada yang datang!”

“Astaghfirullah..!” sebut ibunya, “Jadi kamu tadi di sekolahan ………” Indah mengangguk sebelum kata Ibunya selesai.

Membayangkan wajah kedua remaja putra teman Indah yang polos sang Ibu tidak kuasa untuk menahan tawa.

Setelah tahu yang datang siapa. Indah ikut tertawa juga.

Lima menit kemudian Indah ke ruang tamu dengan wajah cerah ceria. Ibunya di belakangnya.

Dwiana dan Himawan terheran-heran. Bagaimana mungkin Indah secerah ini, sedangkan tadi pagi sakit, Indah berdarah, hingga dinaikkan becak!  Ajaib!

“Kamu sakit apa Indah? Mana yang sakit?” tanya Dwiana begitu polos.

Indah hanya tersenyum. Ibunya tersenyum juga.

Senyum yang aneh.

Tujuh menit kemudian keduanya berpamitan. Badrun tetangga Indah menyaksikan wajah lesu Dwiana Prihartanto saat berpamitan.

Senyum aneh Indah Tarnowati masih tersungging saat kedua sepeda dikayuh ke arah barat.

Konon sampai kini peristiwa yang terjadi di tahun 1991 ini, Dwiana Prihartanto belum juga tahu kenapa Indah Tarnowati di hari itu, pulang jam ketiga.

Dan senyum yang aneh itu, sampai kini selalu menggelantung di benaknya.

“Indah, di pintumu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling!”

Demikianlah!

==

*) Kepada semua pihak yang terlibat dalam ceritera ini saya mohon maaf, karena setidaknya ada rahasia yang tanpa dipaksa saya ceriterakan.
.

Toto Endargo
.
.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *