Cerita Remaja
TUGAS GAMBAR
PEMANDANGAN
Toto Endargo
Hari Kamis.
Jam ke empat-lima, pelajaran seni lukis. Tidak setiap siswa punya watak rajin dan tabiat telaten.
Tugas menggambar adalah jenis pekerjaan yang menyebalkan bagi Badrun. Badrun tidak suka.
Bayangkan, sudah berusaha menggambar baik-baik, tapi setiap kali, hasil gambarnya tetap tidak memuaskan.
“Badrun, bagus sekali lukisanmu!” kata Pak Guru ketika mengamati gambar kotak tiga dimensi, yang telah diwarnai, berwarna biru tipis, memang nampak gambarnya Badrun seperti asal jadi. Pak Guru tersenyum.
“Badrun, kamu ada bakat, tapi masih belum berusaha maksimal. Gambar lagi ya!” kata Pak Guru.
“Bakat terpendam, bloon menonjol, Pak!” celetuk Aris Sasongko.
“Ada bakat, Pak. Bakat nglabur tembok!” celemong Parjas.
“Bakatnya menggambar di bantal, Pak. Ngiler!” komentar Puji.
Menyebalkan!
***
Dua minggu kemudian. Hari Kamis pagi.
Badrun berangkat sekolah dengan tergesa-gesa. Ia bangun kesiangan.
Di depan sekolahan ia baru ingat, ada tugas untuk menggambar pemandangan.
Astaghafirullah, dia belum menggambar.
Apa akal?.
Harus ada yang bisa menolong. Siapa?
Haruskah minta tolong pada Dyta, teman satu kelas yang manis itu?
Dyta remaja putri dengan dahi datar, pipi bagai irisan mangga, bentuk mulut agak menguncup, rambut sedikit berombak, panjang terurai, manis.
Hidungnya adalah hidung pencinta lingkungan hidup, mungil, lubangnya kecil sehingga irit oksigen.
Dyta, di samping termasuk anak pintar, ia juga pandai menggambar.
Mengingat Dyta, ada getaran aneh menyelinap di dada Badrun.
Badrun ingat bahwa Dyta suka menggambar di jam-jam istirahat.
“Dyta!” ucapnya sendirian, perlahan, “Inilah kesempatan aku bisa melakukan pendekatan denganmu!” ide cemerlang Badrun.
***
Kesempatannya ada di jam istirahat pertama.
Benar juga, Dyta tidak istirahat. Ia mengeluarkan alat gambarnya.
Cat air, kuas, botol air dan palet, tempat dari plastik untuk menaruh cat air.
Ada tiga anak yang mencoba tetap di kelas menyelesaikan tugas.
Untuk mendekati Dyta ia harus berpenampilan sempurna.
Badrun ingat kata tetangganya, ketika ia masih kecil. Bahwa yang paling menarik dari Badrun adalah ketika Badrun tertawa. Kelihatan giginya, lucu.
Padahal yang dimaksud lucu adalah karena saat itu Badrun masih ompong. Badrun tidak sadar akan hal tersebut. Ingatnya hanya lucu.
Ingat kata tetangga itu, maka kali ini Badrun akan mengandalkan ketawa dan senyum lebarnya untuk merayu Dyta.
“Dyta tolong saya!” katanya sambil tertawa.
Dyta menatapnya. Dyta seperti terperangah.
“Tolong saya digambarkan sebuah pemandangan! Sebentar saja gambarmu pasti sudah bagus” rayu Badrun sambil tersenyum lebar,
“Sejelek-jelek gambarmu, pasti jauh lebih baik daripada gambar saya” Badrun tertawa lagi.
Dyta menatapnya. Ternyata ada kerut kecil di dahi Dyta, itu terjadi setiap kali Dyta menatap tawa Badrun, dan Badrun tidak menyadarinya.
Dyta mengangguk. Badrun bersuka ria.
Tanpa ilmu pelet pun, ternyata rayuan Badrun laku, kata-katanya manjur. Dyta terpikat!
“Mana kertas gambarmu?” tanya Dyta. Badrun segera berkelebat ke bangku Pujiono.
Tanpa pamit kepada Pujiono, dia mengambil selembar kertas dari buku gambar temannya itu. Sret.
“Gambar pemandangan, Dyta” pintanya lagi. Dyta mengangguk. Dada Badrun bergetar kembali.
Dyta sangat cepat meraih cat air. Kuas disapukan. Warna biru muda yang sangat tipis memenuhi kertas bagian atas. Jelas itu gambar langit.
Dia menambahkan warna putih sebagai gambar awan. Luar biasa, kuas sedikit dipuntir-puntir namun sudah meninggalkan bekas mirip awan yang sesungguhnya.
Dia mengambil warna biru yang lebih tua. Ia menggambar gunung. Badrun ingin ngobrol. Ia mencari-cari pertanyaan.
Pertanyaan yang ringan namun mengandung keilmuan.
“Gunungnya berwarna biru. Kenapa warnanya biru, Dyta?”
“Warna biru, lambang kedamaian!” jawab Dyta singkat.
Lalu mengambil warna hijau. Kuas hanya disapukan secara serampangan sedikit meloncat-loncat. Gambar gerumbul. Semacam desa di kejauhan.
Dengan warna hijau yang lebih tua dia menggambar pepohonan yang lebat.
Ada kombinasi sedikit warna biru dan kuning yang disapukan menjadi warna hijau yang lebih bagus lagi.
“Warna hijau lambang apa Dyta?’ Tanya Badrun sambil tersenyum lebar, seluruh giginya nampak.
Dyta menatap senyum Badrun. Kembali ada kerut kecil di dahi Dyta.
“Hijau lambang kesuburan” jawab Dyta singkat.
Disapukannnya warna coklat di beberapa tempat. Ya, ampun itu gambar tanah dan jalan.
Baru lima menit, menurut Badrun, sudah tampak gambar pemandangan yang sangat bagus.
Dyta memang jago gambar.
“Coklat warna apa?” Dyta diam saja.
Dyta mengambil cat warna kuning. Disapukannnya di bagian tengah. Jadilah.
Terbentanglah gambar sawah dengan padi yang sudah menguning.
Disempurnakannnya warna padi menguning itu dengan beberapa warna hijau yang tipis.
Warna kuning kini menjadi warna yang dominan di bagian tengah gambar pemandangan pesanan Badrun.
Badrun penasaran dengan Dyta, sudah ditanya namun Dyta diam saja.
Ia mengajukan pertanyaan lagi.
“Kuning warna apa Dyta?” suaranya dibuat seramah mungkin. Dyta menatapnya.
Badrun tersenyum lebar dan seluruh giginya tampak semua. Dyta diam saja, kembali ia sibuk mengambil dan memoles warna kuning.
“Kuning warna apa Dyt?”
“Kuning warna …. !” jawaban menggantung dari Dyta, sambil memainkan kuas. Lalu diam lagi. Badrun penasaran.
“Kalau biru warna kedamaian, hijau warna kesuburan, kalau kuning warna apa?” tanya Badrun nekad.
Dyta menaruh kuas di palet. Ditatapnya wajah Badrun.
Jantung Badrun bergetar, tapi tetap dikuatkan nyalinya untuk bertanya.
“Kuning warna apa Dyta?” pertanyaan Badrun sambil tersenyum lebar, sorot matanya penuh permohonan.
Kini ada lima anak yang berkumpul menonton Dyta menggambar untuk Badrun.
Dyta memberikan sentuhan akhir di seluruh bidang gambar.
Gambar pemandangan yang bagus. Ada langit, gunung, gerumbul dan pohon-pohon, jalan, dan dominasi gambar sawah yang sedang menguning.
“Dyta, kuning warna apa, koh?” tanya Badrun dengan nada lebih ngodor.
Dyta menatapnya. Badrun tersenyum lebar. Bibir Dyta berkemik sedikit, ia menundukkan kepala.
Terdengar jawabannya dengan jelas.
“Kuning warna gigimu!”
Klakep!
Mulut Badrun langsung tertutup. Ada semburat merah memenuhi wajah Badrun.
“Kuning warna gigimu!” suara jawaban Dyta, bagaikan suara gema di lorong gua, memukul-mukul dinding benaknya.
Saraf motoriknya langsung secara reflek menjadikannnya untuk segera menutupi mulutnya. Tatapannya menjadi nanar.
Badrun sempat melihat Dyta mengulurkan tangan, memberikan gambar pemandangan itu kepadanya.
Badrun pun menerimanya. Ia hanya mengangguk!
Terdengar suara anak-anak menirukan kata-kata Dyta. “Kuning warna gigimu!”.
Terdengar juga kekeh tawa teman-temannya. Ampun!
Jam istirahat habis. Jam ke empat-lima pelajaran seni lukis.
Konon, sejak saat itu, setiap hari, terutama sebelum berangkat sekolah, Badrun menjadi rajin, tidak lupa untuk selalu menggosok giginya.
***
He, he, he …
Semoga tidak ada satupun yang tersinggung dengan ceritera tentang tugas gambar ini.
Purbalingga, 30 Mei 2005
.
Toto Endargo
.