Balada Tumenggung Wiraguna, Tokoh Keturunan Onje di Mataram #4

Sebelumnya: Balada Wiraguna #3

 

“Kang jumeneng patih ingkang putra Kiyai Wiraguna, ingkang ibu Kiyai Wiraguna asal saking Onje, nunten dipun-prentah tiyang dhusun dhateng Kiyai Wiraguna” —– (Kutipan dari kitab: Punika Serat Sejarah Babad Onje, Halaman 108)

 

Raden Mas Sayyidin

Sultan Agung dengan permaisuri kedua, Rara Lembayung atau Ratu Batang, melahirkan Raden Mas Sayyidin, yang lahir pada tahun 1618. Sayiyidin dari Bahasa Arab yang memiliki arti “pemimpin”, harapannya kelak menjadi pemimpin yang mumpuni. Namun, konon, ternyata R.M. Sayyidin, sejak muda, memiliki perilaku yang cukup meresahkan, utamanya, kaum wanita. Dia suka merayu baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.

Kisah yang sempat membuat ayahnya, Sultan Agung, merasa malu adalah saat R.M. Sayyidin berusia 18 tahun (1636). Yang menjadi korban skandalnya, sebuah perilaku yang memalukan itu, adalah justru Keluarga Ki Tumenggung Wiraguna (46), tokoh penting  Mataram yang sangat dibanggakan oleh Sultan Agung.

 

Skandal Rara Pinten

Seperti diceriterakan bahwa istri Ki Tumenggung Wiraguna yang bernama Rara Printen (Nyi Ageng Laksmi Pujiwati), memiliki paras yang elok, sangat cantik. Walaupun sudah berumur 36 tahun, wajah dan penampilan Rara Printen bagaikan remaja usia 23 tahun. Kecantikan inilah yang menjadikan R.M. Sayyidin putra Kanjeng Sultabn Agung di Mataram itu, sangat tergoda dan keyungyun.

Sehingga pada suatu waktu, ketika Ki Tumenggung Wiraguna mendapat tugas dari ayahnya untuk aktivitas di luar Kotaraja Mataram, telah menjadi kesempatan dan dimanfaatkan oleh R.M. Sayyidin untuk membawa lari, dan memaksa Rara Printen melayani hasrat libidonya. Brabeh!

 

Kemarahan Ki Wiraguna

Peristiwa tersebut tentu saja membuat sangat marahnya Ki Tumenggung Wiraguna, hanya saja karena itu anak rajanya dan dimungkinkan menjadi putra mahkota maka kemarahan itu diwujudkan dalam tindakan yang terukur. Dengan dibantu dan didampingi oleh Pangeran Alit, adik dari R.M. Sayyidin, Ki Tumenggung Wiraguna segera melaporkan peristiwa hitam itu kepada Kanjeng Sultan Agung.

 

Pemicu Dendam

Tak terkatakan marah dan malunya Sultan Agung dengan kejadian tersebut. Maka Sultan Agung segera bertitah, R.M. Sayyidin harus secepatnya mengembalikan Rara Printen kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Titah itupun segera dipatuhi oleh R.M. Sayyidin.

Tindakan berikutnya R.M. Sayidin segera diusir, diungsikan ke sebuah pesantren di Pasuruan, dititah untuk belajar Agama Islam, di bawah bimbingan Syeh Jangkung atau yang lebih dikenal dengan nama Syeh Saridin.

Mulai saat itu ada kekhawatiran yang tersirat di lubuk hati Ki Tumenggung Wiraguna, yaitu mencemaskan adanya dendam pribadi R.M. Sayyidin terhadap dirinya, istrinya dan tentu saja kepada anggota keluarganya yang lain.

 

Ramalan Nyi Roro Kidul

Seperti menjadi perbincangan masyarakat, bahwa raja-raja Mataram memiliki hubungan khusus dengan ratu pantai selatan yang dikenal dengan nama Nyai Roro Kidul. Kemampuan Nyai Roro Kidul dalam hal ikut terlibat dalam mendampingi keberadaan Kesultanan Mataram sudah tidak diragukan lagi. Hingga pada suatu ketika Nyai Roro Kidul memberi tahu Kanjeng Sultan Agung bahwa pemerintahannya hanya sampai tahun 1644. Begitulah konon ramalan Nyai Roro Kidul.

Atas pemberitahuan tersebut dan kepercayaan terhadap kemampuannya maka sejak tahun 1640 jabatan-jabatan penting kesultanan Mataram dipercayakan kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Diantaranya Ki Tumenggung Wiraguna diangkat sebagai panglima perang, hakim tertinggi dan penasehat utama Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma.

Menyadari usianya sudah menjelang akhir, ditugaskannya kepada Ki Tumenggung Wiraguna untuk membuat sebuah pemakaman raja-raja yang baru, di sebuah bukit. Maka dibangunlah sebuah pemakaman di sebuah puncak bukit, yang kini dikenal dengan nama Makam Imogiri, jaraknya sekitar 5 kilometer dari pusat istana Mataram saat itu.

 

Patih Mataram

Di tahun terakhir usia Sultan Agung, Ki Tumenggung Wiraguna diangkat sebagai patih Kesultanan Mataram. Adapun yang menjadi patih sebelumnya, saat Sultan Agung berkuasa diantaranya adalah putra dari Ki Juru Martani yang bernama Pangeran Mandura dengan gelarnya sebagai Adipati Mandaraka II. Lalu Tumenggung Singaranu disebut pula pernah menjadi patih dibawah kekuasaan Sultan Agung.

Dan pada tahun 1644 saat Sultan Agung sakit keras jabatan patih justru diserahkan kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Dengan usianya yang 54 tahun dan pengalamannya Ki Tumenggung Wiraguna diserahi penuh untuk mengelola kasultanan Mataram sebagai wakil dari Sultan Agung yang sedang sakit.

Pada tahun tahun 1645 Sultan Agung wafat. Meninggalnya Sultan Agung ini tersurat dalam buku Punika Serat Sejarah Babad Onje, halaman 108, dengan kalimat: “Nunten ketampen dhateng Kanjeng Sultan Kuwasa gugur ing padhomasan”, terjemahan bebasnya adalah: Lalu digantikan oleh Kanjeng Sultan Kuwasa (Agung) yang wafat di tempat tinggalnya (di istana).

 

Amangkurat I

Pesan Sultan Agung sebelum meninggal, bahwa yang menggantikannya, menempati tahta Kesultanan Mataram adalah R.M. Sayyidin. Setelah dinobatkan sebagai penguasa Mataram, R.M. Sayyidin dikenal dengan nama gelarnya Sultan Amangkurat (Amangkurat I). Amangku = memangku, menguasai, Rat = bumi, negara; maksud gelar tersebut adalah R.M. Sayyidin adalah seorang penguasa yang mampu menguasai negara yang luas dan terhormat.

Dan kekhawatiran yang tersirat di lubuk hati Ki Tumenggung Wiraguna, tentang dendam pribadi R.M. Sayyidin terhadap dirinya, istrinya dan tentu saja kepada anggota keluarganya yang lain, kini semakin menghimpitnya.

 

Bersambung ke: Balada Wiraguna #5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *