Balada Tumenggung Wiraguna, Tokoh Keturunan Onje di Mataram #3

“Kang jumeneng patih ingkang putra Kiyai Wiraguna, ingkang ibu Kiyai Wiraguna asal saking Onje, nunten dipun-prentah tiyang dhusun dhateng Kiyai Wiraguna” —– (Kutipan dari kitab: Punika Serat Sejarah Babad Onje, Halaman 108)

Sebelumnya : Balada Wiraguna #2

Menyerang Batavia

Tahun 1628 Sultan Agung melakukan perlawanan terhadap kongsi dagang Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Companie, Persatuan Perusahaan Hindia Timur). Sultan Agung menyerang Batavia.

Ki Tumenggung Wiraguna yang saat itu berusia 38 tahun, adalah salah satu yang ditugaskan untuk menyerang VOC di Batavia. Tumenggung Wiraguna memimpin pasukan Mataram mengepung Batavia dua kali yaitu pada tahun 1628 dan 1629.

Tumenggung Wiraguna pada pertempuran pertama ditugaskan untuk membawa sekitar 10.000 prajurit. Mengepung Batavia dari arah timur. Sempat menembus pertahanan VOC dan berhasil mendekati benteng VOC yang ada di dekat pantai. Sayang ketika pada penyerbuan pamungkas, di tengah serangan, pasukannya kehabisan amunisi dan logistik makanan. Sehingga saat VOC menyerang balik, pasukan Wiraguna terpaksa ditarik mundur.

Pada serangan kedua Wiraguna membawa sekitar 15.000 prajurit dan menyerang dari selatan. Tempat Wiraguna mengatur pasukan, berada di sekitar 20 kilometer dari benteng VOC. Tempat untuk mengatur serangan saat itu, diberi nama Kawiragunan. Namun kini, wilayah tersebut lebih dikenal dengan nama Ragunan.

Untuk serangan kedua ini, Tumenggung Wiraguna berhasil mengalahkan pasukan VOC yang ada di beberapa tempat. Namun lagi-lagi kekurangan logistik makanan, menjadikan Tumenggung Wiraguna harus segera menarik pasukannya, sebelum kekalahannya semakin parah.

Kekurangan makanan ini menyebabkan banyak prajurit yang berusaha mencari makan di Sungai Ciliwung, yang saat itu, di samping ikan, banyak terdapat pula udang, kerang dan juga kepiting. Mereka tidak tahu bahwa udang, kerang dan kepiting, sesungguhnya membawa bakteri kolera (Vibrio Cholerae).

Jadilah prajurit yang berada di tepi Sungai Ciliwung, banyak yang terlalu banyak mengkonsumsi hewan-hewan tersebut, akibatnya mereka menderita sakit kolera. Saat mengetahui banyak prajurit yang sakit kolera, oleh Ki Tumenggung Wiraguna, justru mereka yang sakit itu, diharuskan menggunakan air Sungai Ciliwung untuk buang-buang sepuasnya. Maka air Sungai Ciliwung pun menjadi seperti sengaja dicemari dengan bakteri kolera.

Hasilnya adalah, pasukan VOC yang memanfaatkan air Sungi Ciliwung terjangkit sakit kolera. Bahkan Gubernur Jendral VOC, yang kembali menjabat mulai tahun 1627, bernama Jan Pieterzoon Coen, juga terkena wabah penyakit kolera.

Lalu bagaimana mengatasi wabah kolera di kubu Wiraguna? Konon salah satu persiapan untuk maju perang, pasukannya telah pula membawa obat-obatan atau jejamuan. Jamu yang dinilai paling baik untuk mengatasi diare, kolera, adalah mengkonsumsi jamu yang saat meramunya disertai dengan cabe jawa (piper retrofractum). Demikianlah dengan mengkonsumsi cabe jawa hal korban akibat adanya wabah kolera di kubu Ki Wiraguna dapat diminimalisir.

Wabah kolera di kubu VOC, adalah sebagai hasil usil prajurit Mataram yang sengaja buang-buang di air Sungai Ciliwung. Akhirnya Gubernur Jendral VOC, yang pada tahun 1621, menghabisi, membunuh hampir 15.000 penduduk Kepulauan Banda, Maluku itu pun, Jan Pieterzoon Coen, meninggal dunia pada tanggal 21 September 1629, karena kolera. Kawus!

 

Rara Mendhut

Karena jasanya Wiraguna yang dinilai berhasil menewaskan Jan Pieterzoon Coen, dan memenangkan perang di beberapa wilayah Batavia. Ki Tumenggung Wiraguna pada tahun 1630, diberi hadiah seorang putri cantik hasil boyongan dari Kadipaten Pati, bernama Rara Mendhut, untuk dijadikan istri-selirnya.

Konon Rara Mendhut (17 tahun) ini, karena kecantikannya banyak laki-laki yang jatuh hati kepadanya termasuk Kanjeng Adipati Pragola II. Namun Rara Mendhut tidak mau dijadikan istri-selir, baik oleh Almarhum Adipati Pragola II maupun oleh Ki Tumenggung Wiraguna (40).

Ki Tumenggung Wiraguna pun menghukum Rara Mendhut. Dia diharuskan membayar pajak kepadanya setiap hari. Rara Mendhut pun menyanggupinya, hanya mohon untuk diijinkan menjual rokok. Permohonan itu diijinkan oleh Tumenggung Wiraguna, dengan prediksi Rara Mendhut, pastinya, tetap tidak akan mampu untuk membayarnya.

Namun ternyata dengan kiat jitu Rara Mendhut, banyak lelaki yang berkenan untuk membayar berapapun putung rokok jualan si cantik Rara mendhut. Dengan demikian jebakan Tumenggung Wiraguna tidak berhasil. Hingga pada suatu saat Rara Mendhut hatinya tertambat kepada pemuda gantheng yang bernama Pranacrita (23 tahun) pemuda dari desa Batakenceng.

Mengetahui Rara mendhut jatuh cinta kepada Pranacitra dan Pranacitra malah sempat melarikan Rara Mendhut dari pengawasannya, Tumenggung Wiraguna marah. Diutusnya para prajurit untuk menagkap Pranacitra.

Pranacitra dan Rara Mendhut dalam pelariannya terjebak, tidak mampu menyeberangi Sungai Oya, sehingga keduanya tertangkap. Tumenggung Wiraguna menghukum Pranacitra dengan membunuhnya, namun di saat keris Tumenggung Wiraguna masih berlumuran darah Pranacitra, keris tersebut direbut oleh Rara Mendhut dan digunakannya untuk bunuh diri.

Berakhirlah kehidupan yang romantis Rara Mendhut – Pranacitra. Namun atas kebijaksanaan Ki Tumenggung Wiraguna, untuk mengabadikan cinta kasih keduanya, maka diperintahkannya agar kedua jasad Rara Mendhut – Pranacitra dikubur dalam satu liang lahat. Berakhir pula romantisme kisah cinta Romeo dan Yuliet versi Mataram.

 

Bersambung ke: Balada Wiraguna #4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *