Saleh Bunyi Tanpa Wujud

Ada bunyian tanpa wujud, terdengar oleh banyak orang, itulah yang disebut sebagai bunyi saleh.

 

Kothekan

Saleh adalah istilah untuk menyebutkan sesuatu; di saat terdengarnya bunyi-bunyian, yang tak jelas, siapa dan dimana secara nyata sumber bunyinya.

Jaman tahun 1960 an, masih sering terdengar suara orang kothekan; othek, othek, udhung, udhung, othek, othek, udhung, udhung, othek, othek, udhung, udhung, kurang lebih begitulah bunyi asli orang kothekan di desa.

Saat itu, adalah hal yang lumrah jika mendengar suara orang-orang kothekan, tanpa jelas siapa yang melakukannya.

Saleh bisa terdengar kapan saja, sesuai saat para makhluk tak kasat mata itu manggung, bisa saat panas terik, bisa juga saat sepi di malam dingin.

 

Menjauh

Dulu, setiap kali mencoba menebak, dimana sumber kumandang si saleh ini. Kalau tidak di sekitar dukuh Karangmangu (500 meter), ya sekitar dukuh Kedhempel (1 km). Yang jelas di sebelah timur.
Suara kothekan ini bisa terdengar dekat, seperti di sekitar Karangmangu, tapi sesaat kemudian, jika mencoba mendengarkan dengan lebih seksama malah terdengar menjadi menjauh, seperti di sekitar Kedhempel atau bahkan di Karangturi (1,5 km).

 

Pohon Aren

Dulu juga, percaya bahwa saleh, adalah penghuni pohon aren, pohon kolang-kaling.

Jadi kalau melihat atau menemukan pohon aren, terutama yang di pinggir sungai, langsung berpikir disitulah para saleh bermukim.

Othek, othek, udhung, udhung, othek, othek, udhung, udhung., othek, othek, udhung, udhung, begitulah suara saleh yang setiap kali terdengar oleh anak-anak sekitar Prapatan Karangnangka.

Anehnya, sesaat terdengar dekat tetapi sesaat kemudian terdengar menjauh. Aneh tapi nyata!

Seiring dengan gethok tular, ternyata suara saleh bukan hanya suara kothekan, tapi ada yang berkumandang seperi ada pertunjukkan wayang kulit (Gunung Kelir, Serang); Gendingan (Slinga, Purbalingga Kidul); Sindenan (Jedding) dan mungkin suara-suara yang lain.

 

Derik

Saat susur rel lori ada tempat, yang konon, dulu dianggap sebagai sumber suara saleh. Yang pertama adalah derik, yaitu tempat yang dianggap wingit, angker, penuh makhluk tidak tampak mata, tempatnya di sebelah utara Jedding.

Di tempat yang disebut Derik ini, hanyalah sepetak tanah dengan ukuran sekitar 10 x 10 meter, yang ditumbuhi pohon besar.

Menjadi unik karena walaupun hanya sepetak tanah namun sangat rimbun di tengah padang sawah yang luas dan terik di siang hari.

Secara umum tempat seperti ini, menjadi penanda suatu tempat yang unik.

Jika menemukan sepetak tanah yang ditumbuhi pohon besar, di tengah padang sawah, dapat dipastikan bahwa tempat tersebut pasti dianggap dihuni oleh makhluk tak kasat mata, tempat jin buang anak, bahkan bisa juga tempat punden yang harus diperhatikan keberadaannya.

 

Gendhingan dan Sindenan

Dan di tempat yang disebut derik ini, masuk wilayah Kalimanah Wetan, dianggap sebagai sumber berkumandangnya suara saleh, berupa musik gendingan tanpa suara sinden.

Saleh suara gendhingan ini dulu didengar oleh orang-orang, penduduk sekitar Blater, Sidakangen, Kalimanah Wetan dan juga penduduk Karangpetir.

Dan tempat berikutnya adalah di sekitar Jedding, sampai dengan wilayah sawah di sebelah timur Jedding.

Kumandang saleh di sekitar Jedding dan timur Jedding ini, konon, bunyi gending dengan dilengkapi suara sinden.

Jadi jika bunyi saleh hanya gendhingan berarti yang sedang manggung penghuni Derik, Kalimanah Wetan.

Jika ada gendhingan diiringi sinden berarti saleh dari wilayah Jedding, Sidakangen, sampai Karangpetir.

Sekali lagi, bagi orang-orang jaman kuno, saleh adalah hal yang wajar, disadari keberadaannya dan setiap kali, jika terdengar, maka bunyi-bunyian tersebut dinikmati juga iramanya.

Tak kasat mata, namun keberadaan bunyian yang hadir, irama yang disuguhkan, sungguh bikin suasana menjadi terasa meriah, ceria dan menyenangkan.

 

Toa

Seiring dengan waktu, sekitar tahun 1970 an, orang mengenal pelantang suara, atau sering disebut sebagai toa.

Toa dengan sumber listrik DC dari aki, plus piringan hitam atau tape recorder, alat pemutar kaset, akhirnya menggantikan suara saleh.

Suara Titiek Sandhora, terdengar mendayu-dayu, di siang terik.

Sumber suara jelas dari desa tetangga yang mungkin punya khajat, mbarang gawe, dan pasti orang mampu. Terbukti mampu mendatangkan penyanyi terkenal untuk manggung di desa terpencil.

Titiek Sandhora terus menyanyi tiada henti: Cintamu tiada seindah kata, pada saat pertama kali kita bertemu uuu, Kau lukis dan kau pupuk kata cinta, aaaaa, … dan seterusnya. Mengesankan.

Hehe, begitulah bayangan saat itu, karena belum kenal yang namanya alat rekam suara semacam tape recorder maupun piringan hitam.

Tahunya hanya radio, yang setiap kali ada orang ngomong, ada iklan dsb.
Nah, yang di toa, Titiek Sandhora nyanyi tiada henti, berarti dia datang di desa tertentu itu dan terus bernyanyi.

Begitulah seiring berjalannya waktu si saleh, perannya digantikan oleh si Toa. Indahnya jaman kuno.

Sebuah cerita yang mungkin menjadi barang langka, sebuah kisah unik di jamannya.

***

Hehe!

“Pak, saleh nyanyi lagune Koes Plus, nate wonten, napa mboten?”
“Mbuh, urung tahu krungu!”
“Kadose, saleh mboten saged gitaran, mboten saged ngedram!”
“Iya, ndean ya? Ko ngerti, deneng!?”
“Inggih. Sagede namung gendhingan kalih kothekan!”
“Soale, saleh ndean, sekang Jawa asli!”
“Kadose, nggih Pak!”
Hehehe!

Maturnuwun
Sedang kepengin crita
Semoga bermanfaat
Nuwun.

=====

totoendargo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *